Bustami Harus Jadi Katalisator Atas Stagnasi Pembangunan Aceh

Bustami Harus Jadi Katalisator Atas Stagnasi Pembangunan Aceh, Diskusi publik Pj Gubernur Aceh Berganti, Ditunggu Gerak Cepatnya yang digelar Aceh Resource & Development (ARD) di Moorden Cafe, Banda Aceh, Senin (1/4/2024). Foto: Komparatif.ID.
Diskusi publik Pj Gubernur Aceh Berganti, Ditunggu Gerak Cepatnya yang digelar Aceh Resource & Development (ARD) di Moorden Cafe, Banda Aceh, Senin (1/4/2024). Foto: Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Ketua Komisi V DPRA, M Rizal Falevi Kirani, menekankan urgensi Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, untuk bertindak cepat dalam menyelesaikan berbagai masalah yang tengah mendera Aceh.

Dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh Aceh Resource & Development (ARD) dengan tema “Pj Gubernur Aceh Berganti, Ditunggu Gerak Cepatnya,” Falevi Kirani menyampaikan ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh Pj Gubernur, sebagaimana instruksi dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) setelah melantik Bustami beberapa waktu lalu.

Falevi menegaskan bahwa penting bagi Pj Bustami untuk keluar dari zona nyaman dan menunjukkan kemampuannya dalam mengambil kebijakan, terutama kebijakan strategis yang dapat membawa kemakmuran bagi masyarakat Aceh.

“Yang paling penting adalah bagaimana Pj Bustami dapat keluar dari zona nyaman. Sejauh mana kemampuannya dalam mengambil kebijakan, termasuk kebijakan strategis, sehingga dapat melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh,” ujar Falevi di Moorden Cafe, Senin (1/4/2024).

Falevi juga menyoroti Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2024 yang sudah disahkan pada Desember 2023, namun hasil rekomendasi Kemendagri baru keluar pada Januari 2024, dimana tidak ada kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif Aceh.

“Setelah pergantian Pj Gubernur yang baru, masalah ini selesai. Namun, saat ini APBA sudah tiga bulan terlambat, lalu bagaimana mengejar realisasi APBA,” tambahnya.

Falevi berharap agar komunikasi antara eksekutif dan legislatif Aceh dapat berjalan dengan baik, bukan hanya terkait pembagian kekuasaan tetapi juga terkait dengan bagaimana masyarakat dapat menerima hasil pembangunan.

“Formulasi ini harus diatur sebaik mungkin. Sehingga harus dicari formulasi yang lebih baru dan lebih aman yang akan menguntungkan masyarakat, bukan segelintir pihak,” tuturnya.

Namun demikian, nasib Aceh tidak hanya terpaku pada masalah APBA dan administratif semata. Pengamat Kebijakan Publik Aceh, Nasrul Zaman, menyoroti bahwa stagnasi pembangunan di Aceh juga disebabkan oleh kepemimpinan yang kurang profesional.

Menurutnya, jika pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPA) profesional, maka tidak akan ada konflik, karena semuanya telah diatur dengan baik. “Masalahnya muncul ketika Pj tidak fokus dan kedua lembaga, baik eksekutif maupun legislatif, ikut tidak fokus,” terangnya.

Baca juga: Energi Baru [dari] Bustami

Nasrul juga menyoroti tentang masalah stunting di Aceh yang merupakan masalah serius ketika Aceh menghadapi bonus demografi 20 tahun ke depan, dimana generasi muda tidak memiliki kecakapan intelegensi yang memadai.

“Dalam hal kesehatan kita benar-benar terabaikan, sebab kita memilih orang yang tidak paham kesehatan dalam memimpin,” paparnya.

Ia menegaskan bahwa kesehatan harus menjadi prioritas utama dalam kepemimpinan, terutama mengingat Aceh akan menghadapi bonus demografi dalam 20 tahun ke depan.

Selain itu, Nasrul juga menyoroti permasalahan ekonomi di Aceh, yang kini menempati peringkat 8 dari 8 provinsi di Sumatera. Menurutnya, hal ini menunjukkan perlunya perhatian serius terhadap pembangunan ekonomi di daerah tersebut.

Sementara itu, akademisi dari Universitas Abulyatama (UNAYA) Usman Lamreung menuturkan kisruh antara Pj Gubernur Achmad Marzuki dengan DPRA telah menghambat program pembangunan dan ekonomi masyarakat.

“Ketika terjadi macet anggaran selama tiga bulan, berdampak besar bagi birokrasi dan masyarakat Aceh. Saat honor tidak bisa direalisasikan, persoalan tata kelola birokrasi hingga lemahnya implementasi kebijakan dan program pemerintah,” ucap Usman.

Usman juga menyoroti pergeseran anggaran dinas untuk mengakomodasi PON, dimana beberapa dinas yang melaksanakan kegiatan regular tidak memiliki program karena anggaran dialihkan untuk PON.

“Walaupun eksekutif dan legislatif sudah berdamai, tapi hingga kini DPRA belum mengetahui penggunaan dana PON dari mana saja,” ungkapnya.

Hal serupa juga diungkapkan Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian. Ia menekankan perlunya kebijakan yang substansial terkait dengan instruksi Mendagri terkait PON.

Alfian menjelaskan, bahwa dalam dokumen evaluasi Mendagri ada Rp550 miliar dari APBA untuk penyelenggaraan PON di Aceh. “Ini jumlahnya sangat besar. Apalagi Aceh secara fiskal tidak sehat, inflasi dan segala macam. Harusnya ini sebagai event nasional, kontribusi APBN lebih besar,” pungkasnya.

Artikel Sebelumnya7 Ruko di Samalanga Terbakar Saat Buka Puasa
Artikel SelanjutnyaAtasi Stunting, Pj Ketua PKK Aceh Pimpin Rakor TPPS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here