Aceh butuh energi baru yang nyaris mustahil didapat. Banyak yang berharap Bustami Hamzah dapat menjadi oase di padang pasir. Rakyat Aceh–akar rumput dan kelas menengah yang centang perenang– menaruh harapan besar kepada pria yang dikenal lihai mengatur birokrasi dan keuangan.
Ada gegap gempita–bisa jadi semacam eforia kecil– yang dirayakan kalangan terbatas, atas pergantian pucuk pimpinan eksekutif di Aceh. Bustami Hamzah yang sekian waktu “terpasung” berhasil keluar dari kotak dan diberi tongkat komando.
Bustami bukan orang asing di tubuh Pemerintah Aceh. Ia birokrat yang telah lama melintang pukang di jajaran birokrasi Aceh. Meski birokrat, nama besarnya sangat dihargai oleh tokoh politik. Ia semacam Semar bagi punakawan.
Baca: Bustami Hamzah, Loyal dan Setia Kawan
Bang Bus, demikian banyak orang menyebut namanya. Pria penggemar rokok putih pahit merupakan birokrat dihormati oleh banyak orang. Ia kesohor sebagai birokrat pemberani. Banyak cerita yang menyebutkan bila Bustami selalu menjunjung tinggi papatah lama; banyak jalan ke Roma.
Tapi adalah Aceh, negeri para raja, rumah bagi banyak pemain, negeri tempat berhimpun banyak titisan bangsa yang telah menyatu dalam identitas Aceh. Ada keling, ada Champa, Rum, dan lainnya. Tidak mudah mengatur bangsa yang membawa banyak gen. Terlalu banyak warna, dan sering tak seirama, meski terlampau sering duduk bersama.
Ada masalah klasik yang terus mendera; bahwa Aceh selalu berada di nomor buncit di Pulau Sumatra dalam konteks kemiskinan. Tahun 2023, PDRB per kapita penduduk Aceh hanya 2.718 dolar Amerika Serikat. Sebuah angka yang terlampau sedikit.
Artinya banyak orang di Aceh yang pendapatannya belum dapat disebut aman. Ini PR besar bagi Bustami. Meski ia hanya seorang Penjabat Gubernur Aceh, tapi banyak orang berharap di sisa waktu yang ada, dengan energi baru, Bustami mampu meletakkan pondasi ekonomi Aceh.
Dalam sebuah diskusi dengan anggota DPRA H. Khalili,S.H, pria hitam agak manis itu menyebutkan bahwa kekuatan ekonomi Aceh yang sesungguhnya terletak pada sektor mikro; UMKM. Sektor tersebut belum digarap serius. Bila itu disentuh secara serius, maka akan lebih cepat membuka hijab kemiskinan yang telah sekian lama menyelimuti Aceh.
Bagaimana caranya supaya UMKM dapat menjadi pilar penting kebangkitan ekonomi Aceh? Jawabannya baru tersedia bila telah dibuatkan rencana matang untuk itu?
Saya teringat kalimat yang disampaikan CEO PT TransContinent Ismail Rasyid. Pria asal Matangkuli tersebut merupakan pengusaha multimoda lintas negara yang telah memiliki puluhan kantor cabang di Indonesia dan tiga oversea.
Ismail Rasyid mengatakan persoalan ekonomi di Aceh bukan karena tidak cukupnya bahan baku. Tapi rantai pasok yang bermasalah. Sejauh ini belum ada pihak yang benar-benar serius menyambungkan rantai pasok, dengan target menguntungkan Aceh. Semua yang telah dan sedang bekerja, bergerak masing-masing dan hampir seluruhnya memberikan keuntungan besar untuk luar Aceh.
Melibatkan pengusaha Aceh yang punya pengalaman dan jaringan luas di luar, kiranya merupakan salah satu yang dapat dilakukan oleh Bustami dalam waktu dekat. Pak Bus–demikian saya menyebutnya– dapat memainkan perannya sebagai pemimpin utama eksekutif di Aceh. Ajak para pengusaha itu berembuk. Bujuk mereka supaya bersedia pulang. Hubungi Ismail Rasyid yang telah membuka Pusat Logistik Berikat (PLB) di Meurandeh, Aceh Besar.
Bustami tentu tidak bisa mengubah Aceh simsalabim avra cadavra. Tidak mungkin. Tapi ia memiliki energi baru dan besar untuk memulai penataan yang lebih baik. Dengan energi baru yang ia miliki dapat menjadi pijakan utama yang dapat dilanjutkan oleh Gubernur Aceh hasil Pilkada 2024.
Semoga energi baru yang dibawa Bustami dapat menjadi danau yang dapat menyembuhkan dahaga rakyat Aceh yang telah sekian lama kehausan di tengah limpahan “air” yang terus-menerus membuat kaya raya orang-orang yang jumlahnya tidak banyak.