Bersibuk Menjemput Kematian

Bersibuk menjemput kematian, merupakan tulisan Saifuddin Bantasyam hidup, mati dan kebutuhan menuju kematian. Foto: ist.
Bersibuk menjemput kematian, merupakan tulisan Saifuddin Bantasyam hidup, mati dan kebutuhan menuju kematian. Foto: ist.

Ini tulisan yang saya siapkan beberapa tahun lalu. Inspirasi datang dari kejadian meninggalnya Wartawan KOMPAS Djoko Poernomo. Beberapa hari sebelum kematian, dia menyelesaikan sebuah liputan yang diberinya judul “Liang Lahat untuk Hadiah” yang lantas dipublikasikan Harian KOMPAS edisi Sabtu.

Namun, saat membolak-balik halaman lainnya, tepatnya di halaman 11, saya menemukan sebuah tulisan lain, dengan judul “OBIATUARI Selamat Jalan, Mas Pom.” Rupanya, Djoko yang dipanggil Mas Pom oleh sesama rekan wartawan KOMPAS, lebih dulu menjemput kematian pada Jumat, sehari sebelum tulisannya tentang liang lahat, dimuat.

Kematian memang selalu “mencekam,” demikian yang saya baca dalam tulisan lain. Isak tangis bersahutan dari orang-orang yang selama ini begitu dekat dan saling berbagi rasa dengan kita, yang tidak mungkin lagi akan menggugah kita dalam “tidur” yang panjang.

Sementara di luar kamar orang banyak membicarakan sebab kematian kita, bernada kasihan atau kehilangan. Kebaikan-kebaikan kita selama dalam kebersamaan juga dibincangkan. Sebagian “musuh” kita mungkin mencibir dan “mensyukuri” kematian kita. Sebagian yang lain, tak ada sedih, tak juga gembira. Netral, karena kematian adalah hal biasa yang bisa menimpa diri siapa saja.

Kembali ke tulisan Djoko. Isinya menarik, mengenai karyawan Yayasan Wredatama yang bergerak di bidang properti dengan membangun kota mandiri Giri Katon serta mengelola taman pemakaman bukan umum Giri Tama di Desa Tonjong, Kecamatan Tajurhalang, Bogor, Jawa Barat. Karyawan yayasan tadi diganjar hadiah berupa liang lahat sebanyak satu orang per lubang dengan ukuran 1 x 2 meter oleh ketua yayasan.

Hadiah liang lahat itu bersyarat. “Hadiah tak boleh diuangkan. Harus digunakan untuk diri sendiri” kata Profesor Djokomoelyo, ketua umum Yayasan. Ini menimbulkan rasa sesak secara psikologis, “aku akan mati,” tetapi sebenarnya bersifat antisipatif. Misalnya karena berpikir masih muda dan umur masih panjang, maka liang lahat yang sudah dihadiahkan itu, dijual saja dulu. Namun, dalam perspektif religius, serasa sangat wajar. Kita semua akan menghadapi kematian. Tak dapat ditunda, tak juga dapat disegerakan.

Syarat di atas sebenarnya juga untuk membantu karyawan dan keluarganya. Harga tiap lubang makam itu mulai Rp 5 juta sampai Rp 7,5 juta, tergantung lokasi. Saat karyawan meninggal, keluarga tak perlu membayar untuk itu. Liang sudah disediakan oleh yayasan.
Ada benefit lainnya juga. Pihak keluarga masih menerima fasilitas berupa dua tenda untuk para pelayat, 20 kursi lipat, air mineral dua karton, pengeras suara, buku tamu, dokumentasi video acara pemakaman dan lampu penerangan seandainya acara pemakaman dilakukan pada malam hari.

Tentu saja, fasilitas-fasilitas ini terasa aneh dalam pandangan kita di Aceh, namun jangan lupa, tulisan di atas adalah mengenai pemakaman di Jawa Tengah.

Di Kampung Saya
Di Aceh, sederet kebiasaan sudah berlaku sekian lama dalam menghadapi kematian. Setiap kampung, pemandi jenazah sudah ditetapkan, penggali kuburan juga sudah ditentukan. Kain kafan dan papan keranda pun tersedia. Semuanya tinggal diambil saat diperlukan.

Untuk mengantisipasi kekurangan kain kafan dan papan keranda, maka di kampung saya, dikenakan kewajiban kepada setiap kepala keluarga untuk mengumpulkan uang Rp5.000,- pada saat ada kematian, yang dapat diserahkan pada malam tahlilan kesatu, kedua, ketiga, atau beberapa hari sesudahnya. Jadi, begitu segala keperluan sudah terpakai, maka segera dibelikan yang lain, untuk kebutuhan kematian berikutnya.

Awalnya areal pemakaman di kampung saya dimiliki bersama dengan dua kampung lain yang berbatasan. Lalu muncul pemikiran agar kampung saya sebaiknya mempersiapkan areal pemakaman tersendiri. Dengan demikian, kami para penduduk kampung, kelak, tak akan mengalami kesulitan mencari areal pemakaman.

Kami bersyukur di kampung ada lokasi yang dapat dijadikan areal pemakaman, sebab ada yang tidak lokasi sama sekali. Beberapa gampong di Banda Aceh, terpaksa membeli areal makam di kawasan Aceh Besar. Areal pemakaman penduduk Kampung Laksana dan Kampung Kramat, misalnya, berada di kawasan Lampeuneurut.

Mungkin saja, ada puluhan desa lain yang seperti itu, baik karena tidak tersedianya lahan di kampung sendiri, atau ada lahan terbuka tetapi tak cocok untuk pemakaman, atau areal pemakaman menjadi sempit dari tahun ke tahun.

Tentu saja halangan utama adalah bagaimana mencari dana untuk membeli tanah untuk dijadikan lokasi kuburan gampong. Di gampong saya, keuchik dan tuha peut dan warga membuat rapat tentang membeli tanah untuk makam.

Matematik untuk jemput kematian dijalankan. Harga tanah Rp56 juta, yang jika dibagi dengan jumlah KK, maka masing-masing KK harus membayar sekitar Rp 750.000, suatu jumlah yang mungkin sangat berat bagi KK tertentu. Tetapi, karena kematian adalah pasti, semua KK kemudian menyatakan setuju.

Ada yang memilih dengan mencicil tiap bulan, ada yang membayar saat panen padi. Ada juga yang memilih membayar langsung sekaligus. Karena harga tanah harus dibayar sangat besar, maka beberapa warga gampong bersedia meminjamkan uang sekian juta rupiah untuk menutupi kekurangan dana. Alhamdulillah, transaksi pembelian pun dilakukan.

Menjelang Ramadan, warga desa sangat antusias melakukan gotong pembersihan areal pemakaman baru itu. Bagi saya, ini adalah prosesi mempersiapkan kematian, entah diri kami sendiri, atau salah satu anggota keluarga kami. Ibunda kami tercinta, 4 Maret lalu, pun kemudian dikuburkan di situ.

“Wa laa tad`u ma`allahi `ilahan aakhara, laa `ilaha illa huwa, kullu syai`in halikun illa wajhah, lahulhukmu wa ilaihi turja`uuna” (Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” Di tengah kesibukan kita, mari kita siapkan diri untuk menjemput kematian itu, sesuatu yang sudah pasti.

Hidup hanyalah kesempatan untuk membuat pilihan/Segalanya digulirkan dan digilirkan/Setiap manusia lahir, hidup lalu mati/kecil, akhirnya membesar/Muda, lama-lama tua/muncul kesenangan terkadang berganti kesedihan/Sehat dan Sakit/Semua Fana Semua Pasti selalu berubah/Bergerak dan Berjalan/Tetapi semuanya akan berhenti dan berakhir/Ketika itulah kehidupan didunia akan berganti pada kehidupan akhirat/Ketika itulah semua dinamika dan gerak hidup seseorang berakhir….Saudaraku…apakah kita semua sudah siap untuk itu?

Kematian adalah sesuatu yang pasti. Kullu nafsin dza`iqatul mauti,wa nabluuwakum bisysyarri wal khairi fitnah. Wa ilainaa turja`uuna (Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan).

Tentu, hadiah itu terlihat pesimis di tengah-tengah kebanyakan kita yang berpikir tentang hidup, kok malah kemudian memikirkan soal kematian. Namun, juga sesungguhnya sangat logis, sebab “Tiap-tiap umat memiliki batas waktu. Maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat dan tidak pula memajukannya.” (QS. Al-isra:74).

Artikel SebelumnyaFaroe Islands, Negeri Ideal Bak Dongeng
Artikel SelanjutnyaRekor Baru Kekayaan Manusia Karena Cryptocurrency
Saifuddin Bantasyam
Akademisi Universitas Syiah Kuala.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here