Benteng Indra Patra, Bukti Tangguhnya Peradaban Aceh

Benteng Indra Patra, Bukti Tangguhnya Peradaban Aceh
Dibangun pada 604 M saat Lamura masih berkuasa, benteng Indra Patra tetap digunakan pada masa Kerajaan Aceh dan masih bertahan hingga kini. Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Aceh tidak hanya menyimpan catatan kejayaan peradaban Islam semasa Kesultanan Aceh, tetapi juga mengisahkan perjalanan panjang peradaban Hindu yang pernah eksis.

Salah satu saksi bisu dari masa keemasan kerajaan Hindu di Aceh adalah Benteng Indra Patra, yang terletak di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.

Benteng ini bukan sekadar bangunan tua; ia adalah saksi bisu dari perjalanan panjang peradaban, dari kejayaan kerajaan Hindu hingga kebangkitan Kesultanan Aceh yang melegenda.

Benteng Indra Patra dibangun sekitar tahun 604 M, oleh Putra Raja Harsya yang melarikan diri dari kejaran Bangsa Huna di India. Dengan luas mencapai 4.900 meter persegi, benteng ini tidak hanya merupakan bangunan pertahanan, tetapi juga menjadi simbol dari proses masuknya pengaruh Hindu dari India ke Aceh.

Saat itu, Kerajaan Hindu Lamuri mulai berkembang di daerah Pesisir Utara Aceh, dan Benteng Indra Patra menjadi salah satu dari tiga benteng yang menandai wilayah segitiga kerajaan Hindu di Aceh, bersanding dengan Indra Puri dan Indra Purwa.

Ketiga benteng ini menandai wilayah kekuasaan Kerajaan Lamuri yang dikenal aktif dalam perdagangan dengan berbagai bangsa, termasuk India dan Arab. Dalam upaya melindungi kekayaan dan kedaulatannya, benteng ini menjadi garis pertahanan yang vital saat Aceh mengalami transisi dari kerajaan Hindu menjadi kerajaan Islam.

Selama masa kejayaan Kesultanan Aceh, Benteng Indra Patra terus digunakan sebagai basis pertahanan. Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, benteng ini berfungsi ganda: sebagai tempat penyimpanan senjata dan sebagai titik pertahanan strategis melawan serangan Portugis yang berusaha menguasai kawasan tersebut.

Menurut catatan, luas benteng ini adalah 70 × 70 meter, dan pada awalnya terdapat tiga bangunan benteng, namun saat ini hanya tinggal dua bangunan dengan dua stupa. Selain bangunan utama, terdapat bangunan lain di sekitarnya yang digunakan sebagai tempat peletakan meriam dan amunisi.

Pakar arkeologi Repelita Wahyu Oetomo, dari Balai Arkeologi Medan, dalam makalahnya yang berjudul Lamuri Telah Islam Sebelum Pasai mengungkapkan secara arsitektur, beberapa bagian benteng memang masih memiliki motif bangunan berciri Pra-Islam.

Hal ini terlihat antara lain pada dua sumur di area benteng utama yang berbentuk menyerupai stupa. Dalam aspek fungsionalitas, benteng ini mengalami perkembangan sehingga masih dipergunakan hingga masa Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh.

Salah satu dari dua sumur yang bercorak hindu yang masih bertahan hingga kini di dalam Benteng Indra Patra. Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Sebagai bangunan pertahanan, Benteng Indra Patra memiliki ukuran yang cukup besar, dengan luas mencapai 4.900 meter persegi. Saat ini, dua dari tiga benteng yang pernah ada masih dapat dilihat, meski sebagian besar telah hancur seiring berjalannya waktu.

Baca jugaMenyelami Tradisi 100 Hari Maulid di Aceh

Struktur utama benteng ini dibangun dari batu gunung yang disusun dengan teknik yang sangat cermat, menggunakan adonan unik yang terbuat dari campuran kapur, tumbukan kulit kerang, tanah liat, dan putih telur.

Penggunaan putih telur sebagai perekat adalah teknik yang juga terlihat pada beberapa bangunan kuno lainnya di Indonesia, seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan.

Keberadaan Benteng Indra Patra tidak hanya menjadi tempat pertahanan pada masa Kerajaan Lamuri, tetapi juga terus digunakan dalam periode Kesultanan Aceh, yang dikenal sebagai monarki Islam terbesar di Asia Tenggara.

Selama masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), benteng ini menjadi salah satu garis pertahanan utama melawan serangan Portugis. Dengan posisinya yang strategis, benteng ini membantu mencegah armada musuh memasuki wilayah Aceh melalui Teluk Krueng Raya.

Selain nilai sejarahnya, Benteng Indra Patra juga menawarkan pesona alam yang menakjubkan. Dikelilingi oleh pepohonan cemara yang rindang dan perbukitan yang menghijau, benteng ini menjadi tempat yang ideal untuk menikmati keindahan alam.

Dari area belakang benteng, pengunjung dapat menikmati pemandangan hijau yang menyejukkan, sedangkan di bagian depan, laut berpasir putih membentang dengan ombak yang tenang dan air laut yang biru di bawah langit cerah. Keindahan ini menjadikan Benteng Indra Patra sebagai destinasi wisata yang menarik bagi pelancong.

Banyak pengunjung, seperti Azmi, yang mengatakan bahwa keindahan alam di sekitar benteng menambah nilai pengalaman wisata, di mana sejarah dan keindahan alam berpadu harmonis.

Selain keindahan alam, Benteng Indra Patra juga dikelola dengan baik oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Wisatawan hanya perlu membayar biaya masuk yang sangat terjangkau, yaitu Rp 5.000 untuk sepeda motor dan Rp 10.000 untuk mobil.

Fasilitas yang disediakan pun sudah cukup memadai, termasuk jembatan baru, mushola, dan toilet. Namun, Azmi mengungkapkan masih ada kebutuhan akan fasilitas tambahan, seperti tempat peristirahatan dan kios penjual makanan, agar para pengunjung dapat menikmati waktu mereka lebih lama di sana.

Meskipun Benteng Indra Patra merupakan situs yang sudah ada sejak lama, banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami sejarah di baliknya. Azmi mencatat pentingnya untuk meningkatkan kesadaran akan warisan budaya ini, terutama di kalangan generasi muda.

“Objek wisata ini harus dijaga dan dirawat dengan benar, Indra Patra jadi gerbang agar generasi muda tidak melupakan sejarah Aceh yang begitu masyhur,” ujarnya, Minggu (28/9/2024).

Dengan memperkenalkan sejarah dan budaya kepada mereka, diharapkan akan ada apresiasi yang lebih dalam terhadap situs-situs bersejarah di Aceh, yang tak kalah menarik dibandingkan dengan destinasi wisata lainnya.

Pembangunan fasilitas yang baik di sekitar benteng juga menjadi langkah positif untuk menarik lebih banyak wisatawan. Meski saat ini masih terjaga keasriannya, kehadiran fasilitas modern yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan akan membuat pengalaman berkunjung menjadi lebih menyenangkan.

“Kalau ada fasilitas tambahan tentu kita yang datang berkunjung akan betah lama-lama di sini,” imbuh Azmi.

Para pengunjung tidak hanya akan merasakan kekayaan sejarah, tetapi juga dapat menikmati waktu bersantai di tepi pantai, menjelajahi alam, atau sekadar bersantai sambil menikmati pemandangan.

Benteng Indra Patra bukan hanya sekadar bangunan sejarah, tetapi sebuah portal yang membawa pengunjung kembali ke masa lalu, ke saat di mana kerajaan Hindu menguasai Aceh dan peradaban Islam mulai memasuki wilayah ini.

Keberadaannya yang kokoh dan megah mengingatkan kita akan kekuatan serta kegigihan masyarakat Aceh dalam mempertahankan tanah airnya dari berbagai ancaman.

Mengunjungi benteng ini adalah sebuah perjalanan yang tidak hanya memuaskan rasa ingin tahu tentang sejarah, tetapi juga memberikan kesempatan untuk menikmati keindahan alam Aceh yang menakjubkan.

Artikel SebelumnyaBustami Kukuhkan Relawan Aneuk Kumuen Om Bus
Artikel SelanjutnyaKetika Gerilyawan GAM Melihat Merak Bercinta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here