Komparatif.ID, Banda Aceh— Bulan Rabiul Awal dalam kalender Islam merupakan bulan yang sangat istimewa, karena pada bulan inilah lahirnya Rasulullah Muhammad SAW. Di Aceh, perayaan Maulid Nabi tidak hanya berlangsung satu hari, tetapi hingga tiga bulan lamanya. Tradisi ini telah berlangsung turun-temurun dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Aceh yang dikenal sangat menghormati sejarah dan budaya Islami.
Pj Gubernur Aceh, Safrizal ZA mengatakan mulai dari bulan Rabiul Awal setiap tahunnya, sekitar 5,3 juta rakyat Aceh akan menggelar kenduri Maulid yang berlangsung selama tiga bulan atau 100 hari.
Safrizal menyebut perayaan ini merupakan tradisi khas Aceh yang tidak ditemukan di daerah lain di Indonesia. Perayaan Maulid dalam jangka waktu panjang ini disebut sebagai cerminan rasa cinta masyarakat Aceh terhadap Rasulullah sekaligus upaya mengambil pelajaran dari teladan Nabi dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari
“Perayaan Maulid selama 100 hari di Aceh tidak ada di daerah lain. Ini jadi khas Aceh dalam memetik semangat Nabi Muhammad dalam mengamalkan teladan dalam kehidupan sehari-hari,” ajak Safrizal, Senin (16/9/2024) di Banda Aceh.
Masyarakat Aceh membagi perayaan ini menjadi tiga periode utama: Maulid Awal (Rabiul Awal) biasanya dilakukan di tingkat meunasah atau gampong, Maulid Tengah (Rabiul Akhir) untuk tingkat kemukiman atau masjid-masjid besar, dan Maulid Akhir (Jumadil Awal) dilaksanakan di tingkat yang lebih tinggi oleh para pemimpin masyarakat, seperti ulee balang dan tokoh adat,
Melansir Majelis Adat Aceh (MAA), budayawan dan ahli manuskrip Aceh, Tarmizi A. Hamid, yang akrab disapa Cek Midi, menjelaskan perayaan Maulid Nabi di Aceh merupakan momen sakral yang berlandaskan persaudaraan dan nilai-nilai Islam.
Sejak era Kesultanan Aceh, tradisi ini telah menjadi alat untuk meningkatkan pemahaman Islam bagi generasi muda dan masyarakat umum. Setiap tahun, masyarakat Aceh mengadakan kenduri besar dan spesial dalam perayaan Maulid, sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah SWT dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.
“Kenapa dilaksanakan tiga bulan, karena terkadang mempersiapkan maulid tergantung panen ikan di laut, di ladang serta tergantung panen di sawah. Jika dilaksanakan serentak maka tidak ada pengikat tali persaudaraan,” ucap Cek Midi.
Hal senada juga disampaikan tokoh NU Aceh, Tgk Muhammad Yasir, menurutnya perayaan Maulid tiga bulan ini telah ada sejak masa Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), ketika Kesultanan Aceh mengalami masa kejayaannya.
Baca juga: Berhenti Menodai Maulid Nabi
Dalam suasana kemakmuran dan semangat penyebaran Islam yang kuat, ulama-ulama di masa itu menganjurkan perayaan Maulid selama tiga bulan sebagai bentuk syiar Islam dan rasa cinta kepada Rasulullah. Budaya ini dilanjutkan hingga kini, menjadikannya salah satu tradisi khas masyarakat Aceh yang tidak ditemukan di tempat lain.
Mereka diundang untuk menikmati hidangan kenduri bersama, menciptakan suasana kebersamaan dan kepedulian yang menguatkan ikatan sosial dalam masyarakat. Kegiatan ini membangun solidaritas sosial, memperkokoh ikatan antara sesama warga, dan menghapuskan sekat-sekat perbedaan sosial.
Dalam prosesi Maulid di Aceh, terdapat pembacaan “dalail khairat,” yaitu pujian dalam bentuk syair yang diungkapkan dengan nada syahdu. Melalui syair ini, masyarakat Aceh mengekspresikan rasa cinta mereka kepada Nabi, serta keikhlasan dan pengorbanan dalam mempersiapkan kenduri dan perayaan.
Syair-syair tersebut memberikan suasana yang mendalam dan menyentuh hati, menggugah kecintaan dan keteladanan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Tradisi ini memiliki arti penting dalam memperkuat persaudaraan antarkampung. Dalam Maulid, masyarakat dari kampung-kampung tetangga saling berkunjung, bertukar hidangan, dan mempererat silaturahmi.
Maka, perayaan ini bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga sarana memperkokoh persatuan masyarakat. Maulid di Aceh juga memiliki sisi kuliner yang khas, di mana setiap perayaan disajikan hidangan-hidangan istimewa yang hanya dihadirkan dalam momen ini.
Beberapa hidangan khas Maulid di Aceh, seperti kuah beulangong (kari kambing dengan bumbu khas Aceh) dan bu kulah (nasi yang dibungkus daun pisang), menjadi simbol keberkahan dan kehangatan.
Hidangan-hidangan ini tidak hanya dinikmati oleh warga setempat, tetapi juga dibagikan kepada tamu dari kampung lain.
Dalam tradisi Aceh, hidangan-hidangan ini dibawa oleh masyarakat ke meunasah, tempat berkumpul untuk melaksanakan kenduri. Hidangan tersebut diletakkan dalam wadah khusus berbentuk silinder dan ditutup dengan kain berwarna khas Aceh, seperti kuning keemasan, hijau, atau merah tua.
Di dalam wadah ini tersusun rapi berbagai makanan yang disiapkan dengan penuh perhatian dan keikhlasan. Beberapa menu khas yang disajikan dalam kenduri Maulid di Aceh meliputi nasi beulekat atau bulukat (nasi ketan), kuah pacri nanas (semacam acar nanas dengan rempah), gulai ayam, gulai kambing, gulai ikan, telur bebek, sayur nangka, dan buah-buahan.
Dara Fatia, peneliti dari Universitas Padjadjaran, dalam penelitiannya yang berjudul Tradisi Maulid: Perkuat Solidaritas Sosial Masyarakat Aceh, mengungkapkan perayaan Maulid Nabi di Aceh adalah wadah silaturahmi masyarakat tanpa memandang status sosial.
Tradisi ini memungkinkan masyarakat untuk berkumpul, berbagi, dan merayakan kebesaran hari lahir Nabi Muhammad dengan penuh kedamaian dan kebersamaan.
Solidaritas mekanik atau hubungan kekeluargaan yang terjalin dalam perayaan ini menunjukkan bahwa tradisi ini mampu memperkuat ukhuwah Islamiah, menumbuhkan solidaritas sosial, serta meningkatkan kepedulian terhadap sesama.
Hal ini juga relevan dengan tujuan ajaran Islam yang mengedepankan sikap saling menghormati dan tolong-menolong di antara umat Muslim.
“Tradisi ini dilakukan sebagai momentum untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap Islam, memperkuat keimanan, serta memperkokoh ukhuwah Islamiah untuk menumbuhkan solidaritas sosial, memperkuat ikatan sosial dan kepekaan terhadap nasib sesama. Itulah tujuan dasar dari tradisi tersebut, dan tujuan ini relevan dengan tujuan Islam,” tulis Dara dalam artikel ilmiah yang diakses Komparatif.ID, Rabu (18/9/2024).
Melalui perayaan Maulid Nabi yang berlangsung selama tiga bulan, masyarakat Aceh tidak hanya meneladani sifat dan ajaran Rasulullah, tetapi juga membangun kembali hubungan sosial yang lebih erat di antara mereka.