Tantangan Pengendalian Tembakau di Aceh

Pemimpin Abai & Tantangan Pengendalian Tembakau di Aceh Pemimpin dan Kebijakan Pengendalian Tembakau di Aceh Diskusi publik Generasi Aceh Lebih Sehat yang digelar AI dan Koalisi NGO HAM di Escape Green Bistro Banda Aceh, Sabtu (17/8/2024). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.
Diskusi publik Generasi Aceh Lebih Sehat yang digelar AI dan Koalisi NGO HAM di Escape Green Bistro Banda Aceh, Sabtu (17/8/2024). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Dalam konteks kebijakan pengendalian tembakau, perokok sering kali dilihat bukan sebagai pelaku kejahatan, melainkan sebagai korban.

Mereka adalah korban dari kebijakan yang belum ditegakkan dengan baik dan juga korban dari pengaruh iklan yang masif. Penelitian yang dilakukan oleh The Aceh Institute (AI) menunjukkan bahwa hampir 50 persen siswa SMA di Aceh adalah perokok.

Pimpinan Dayah Babul Maghfirah Ustadz Masrul Aidi Lc menyampaikan dalam kehidupan bermasyarakat, pemimpin itu ibarat seorang supir yang harus memiliki haluan, visi, dan misi yang jelas.

Pemimpin harus memiliki visi dan misi yang jelas, serta harus mampu mengambil tindakan cepat ketika ada indikasi masalah, serta harus tanggap terhadap tantangan yang dihadapi, khususnya dalam mengatasi bahaya yang ditimbulkan oleh perilaku merokok.

“Pemimpin itu harus mengetahui tantangan apa yang akan dihadapi, dengan parahnya tingkat bahaya perokok sekarang, jangan jadi pemimpin kudet (kurang update),” ujarnya pada diskusi publik Generasi Aceh Lebih Sehat yang digelar AI dan Koalisi NGO HAM di Escape Green Bistro Banda Aceh, Sabtu (17/8/2024).

Masrul juga menyoroti bahwa banyak pemimpin yang hanya fokus pada masalah yang terlihat, seperti asap rokok, tetapi tidak menyadari bahaya lain yang tidak terlihat, seperti dampak buruk orang yang terpapar asap rokok.

Baca jugaBea Cukai Aceh Musnahkan Rokok Ilegal Bernilai Rp14 Miliar

Ia mengutip sebuah hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad melarang orang yang mulutnya berbau untuk mendekati tempat shalat. Menurutnya, ini menunjukkan betapa seriusnya masalah bau dan kesehatan dalam ajaran Islam.

Menurut Masrul, masalah yang dihadapi oleh perokok adalah ketidaksadaran bahwa napas mereka berbau tidak sedap, yang bisa berdampak buruk bagi orang lain di sekitar mereka.

“Persoalan asap saja yang dia lihat tidak bisa dia merespon bagaimana napas yang tidak bisa terlihat? Makanya dalam islam jangankan asap, bahkan napas yang bau saja menjadi masalah,” lanjut.

Sebagai solusi, Masrul menyarankan agar pendekatan yang lebih persuasif diterapkan dalam menangani siswa yang merokok di sekolah. Ia mengusulkan agar guru-guru mendata siswa yang merokok dan mengizinkan mereka merokok di bawah kontrol ketat.

Setiap kali siswa ingin merokok, mereka harus meminta izin dan melakukannya di ruangan khusus yang telah disediakan. Dengan pendekatan ini, diharapkan intensitas merokok di kalangan siswa dapat berkurang secara drastis. Namun, jika siswa tersebut merokok secara sembarangan tanpa izin, Masrul menyarankan agar diberikan sanksi berupa denda.

Sementara itu, Direktur Koalisi NGO HAM mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi kepemimpinan saat ini yang dianggap hanya sebagai “lips service”. Ia menyebutkan kepercayaan terhadap pemimpin tidak terbentuk karena ketidaksesuaian antara kata dan tindakan mereka.

Menurut Khairil, pemimpin yang ideal saat ini sulit ditemukan, karena jarang ada yang mampu menepati janji dan menjalankan tugasnya dengan baik. Ia juga menyoroti kontradiksi yang ada di Aceh, di mana meskipun provinsi ini mencatat angka kemiskinan tertinggi di Sumatra, masyarakatnya masih memiliki uang untuk membeli rokok.

Khairil menyarankan agar ada komitmen yang jelas dari calon kepala daerah terkait dengan area bebas rokok. Ia juga menekankan pentingnya menguji komitmen para kandidat Bupati, Wali Kota, dan Gubernur mengenai kebijakan ini sebelum mereka terpilih.

Jika tidak ada upaya yang nyata untuk mengatasi masalah ini, Khairil pesimis bahwa permasalahan pengendalian tembakau di Aceh bisa diselesaikan dalam lima tahun ke depan.

“Mungkin AI bisa memberikan ide kepada KIP Aceh, bagaimana komitmen calon kepala kandidat terkait dengan area bebas rokok. Kalau kita tidak membuat dan menguji itu, mustahil menyelesaikan permasalahan ini di lima tahun mendatang,” bebernya.

Aceh sebenarnya sudah memiliki regulasi terkait dengan pengendalian tembakau, yaitu Qanun Nomor 4 Tahun 2020. Namun, Khairil mempertanyakan apakah regulasi ini mampu dijalankan dengan efektif.

Ia meragukan keberanian para pemimpin untuk menegakkan area khusus untuk perokok atau menentukan daerah-daerah mana saja yang boleh dan tidak boleh merokok. Oleh karena itu,

Khairil menyarankan agar masyarakat Aceh menguji siapa kandidat yang benar-benar layak memimpin, sehingga dapat memberikan solusi nyata bagi permasalahan yang ada saat ini.

Artikel SebelumnyaDr. Nurlis: Saya Tidak Bilang Dek Fad Sudah Dapatkan Dukungan Gerindra
Artikel SelanjutnyaAbu Paya Pasi Mundur dari Partai Aceh, Ketua Alumni: Kami Ikut Langkah Abu

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here