12 Oktober 2024 merupakan ulang tahun ke 25 Kabupaten Bireuen. Sebuah titimangsa yang masih terlalu muda untuk bicara usia sebuah daerah. Usia yang identik dengan bersiap, berbenah, merencanakan, dan meniti langkah awal.
Sebagai sebuah daerah administrasi pemerintahan, 25 tahun tidak boleh dilihat sebagai usia yang muda. Tapi sebagai penanda (patok) untuk mengukur selama bergonta-ganti kepemimpinan setiap lima tahun sekali, sudah sejauh mana cita-cita para pendiri Bireuen diwujudkan dalam bentuk kerja nyata.
Sudahkah Bireuen menjadi rumah yang melindungi segenap rakyat? Sudahkah Bireuen menjadi rumah untuk seluruh masyarakat? Sudahkah Bireuen menjadi wahana yang melindungi semua orang? Ataukah Bireuen telah menjadi tempat segelintir orang berpesta pora, dan mayoritas rakyat berduka?
Bireuen lahir seiring dengan runtuhnya Orde Baru yang dipimpin Soeharto dengan tangan besi. Bireuen lahir di tengah transisi menuju era Reformasi. Reformasi mengubah banyak hal. Kebijakan pemerintah ikut berubah seiring tuntutan zaman sehingga terbuka peluang untuk pemekaran daerah baik tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa/gampong.
Beberapa tokoh Bireuen memanfaatkan momentum tersebut. Para intelektual Bireuen pada waktu itu membentuk tim inti (panitia 9) untuk mempersiapkan data dan mengajak para pengusaha untuk mendukung secara finansial.
Kemudian tim inti membentuk struktur lengkap Panitia Pemekaran Kabupaten Bireuen. Ketua umum Drs. H. Syahbuddin AR, Sekretaris umum M. Yusuf Adam (Yusadi ), dan Bendahara Umum H. Subarni A. Gani. Struktur tersebut merupakan salah satu syarat pengusulan pemekaran Bireuen yang memekar diri dari kabupaten asal Aceh utara.
Baca juga: Bireuen & Segelas Kopi: Refleksi Perjalanan 25 Tahun Kota Juang
Mengapa Bireuen diperjuangkan menjadi kabupaten yang terpisah dari Aceh Utara? Banyak alasan yang mendukung rencana tersebut. Baik secara sejarah, budaya, maupun ekonomi.
Usia Bireuen telah sangat lama sebagai daerah budaya dan politik. Bireuen merupakan daerah perbatasan antara dua kebudayaan besar; Samudera Pasai dan Aceh Darussalam. Sebagai border budaya, Bireuen memiliki keunikan tersendiri. Bila ditilik dari tarikh yang ada di pusara Yuhan Min di Meunasah Capa, usia Bireuen sampai saat ini telah mencapai 600 tahun lebih.
Di masa kolonial Belanda, status Bireuen diangkat menjadi Kewedanaan Bireuen. Membawahi beberapa nanggroe, antara lain Nanggroe Peusangan, dan Nanggroe Samalanga. Nanggroe merupakan struktur pemerintahan Aceh di masa Kesultanan Aceh Darussalam.
Bireuen merupakan pusat pemerintahan militer di era perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Divisi X Gadjah Putih Komandemen Sumatera, yang dipimpin Kolonel Husin Yusuf bermarkas di Bireuen.
Pusat propaganda dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia juga dibangun di Bireuen untuk pertama kali. Radio Rimba Raya yang kita kenal saat ini, pertama kali beroperasi di Bireuen.
Sejak lama Bireuen merupakan pusat pendidikan. Dayah Cot Meurak, Dayah Mesjid Raya Samalanga, Normal Institute, Perguruan Almuslim, merupakan lembaga pendidikan yang sudah ada sejak lama di Bireuen. Bahkan beberapa di antaranya lahir di zaman Kesultanan Aceh.
Bireuen memiliki sumber daya alam beragam, dan didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni. Sejak dulu hasil alam Bireuen terkenal. Demikian juga SDM-nya, sejak dulu telah menyumbang putra-putri terbaik untuk Aceh dan Republik.
Tujuan pemekaran menjadi kabupaten yang terpisah dari Aceh Utara, adalah untuk mempersingkat proses administrasi dan birokrasi pemerintah, dapat mengelola aset dan sumber potensi daerah, membuka lapangan kerja di segala sektor serta menggali sumber ekonomi baru dengan harapan Bireuen cepat berkembang, mandiri dan bermartabat.
Perihal tujuan tersebut, sebagian sudah dilakukan, sebagian sudah dan sedang berlangsung. Sebagian lagi masih sebatas angan.