Komparatif.ID, Banda Aceh— Juru bicara pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Aceh nomor urut 1 Bustami Hamzah-M. Fadhil Rahmi, Hendra Budian, melaporkan Muhammad Daud dan Yusri alias Pale ke Panwaslih Aceh, Jumat (22/11/2024).
Keduanya dilaporkan karena diduga provokator pemicu ricuhnya jalan debat Pilkada Aceh ronde ketiga di Ballroom The Pade Hotel, Darul Imarah, yang harus dihentikan sebelum sesi pertama selesai.
“Kami melaporkan Muhammad Daud dan Yusri alias Pale yang kami duga sebagai provokator pada saat debat publik ketiga pasangan calon gubernur-wakil gubernur Aceh di Pilkada 2024,” ungkap kepada awak media di Kantor Panwaslih Aceh.
Baca juga: Debat Ketiga Dihentikan, TPHD Sebut KIP Aceh Predator Demokrasi
Menurut Hendra, debat publik merupakan momen penting untuk menyampaikan gagasan terkait isu-isu krusial, termasuk perdamaian, integrasi, dan keamanan.
Namun, akibat insiden tersebut, masyarakat Aceh kehilangan kesempatan untuk mendengar paparan visi dan misi para calon.
Hendra menegaskan laporan ini diajukan karena tindakan kedua orang tersebut telah menghalangi jalannya debat yang disiarkan langsung ke seluruh Indonesia, sehingga mencoreng nama baik Aceh di mata nasional.
Jubir Om Bus-Syech Fadhil itu menilai insiden tersebut bukanlah kejadian spontan, melainkan diduga telah dirancang dengan sengaja.
Ia menyebutkan timnya tengah mengumpulkan bukti-bukti tambahan untuk menguatkan laporan mereka, termasuk kemungkinan adanya pelaku lain yang terlibat.
Hendra juga menyampaikan laporan ini tidak akan berhenti pada dua nama yang telah diajukan. Ia mendesak agar Panwaslih Aceh segera menyerahkan perkara ini ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk ditindaklanjuti secara hukum.
Menurutnya, tindakan yang dilakukan Muhammad Daud dan Yusri telah melanggar Pasal 187 Ayat 4 Undang-Undang Pemilu Tahun 2015, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang berisi ancaman pidana terhadap pelanggaran yang mengganggu jalannya proses demokrasi.
“Perbuatan mereka menurut kita yang menyebabkan terjadi kekacauan dan gangguan telah melanggar pasal 187 ayat 4 undang-undang 2015, jadi ada ancaman pidananya di situ,” terang Hendra.
Lebih lanjut, Hendra mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja KIP Aceh, yang dinilainya tidak kompeten dalam mengelola tahapan Pilkada.
Berdasarkan hasil audiensi sebelumnya, ia merasa ada cukup banyak bukti untuk menunjukkan bahwa KIP Aceh telah melakukan berbagai pelanggaran.
Hendra bahkan meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk segera mengambil alih tugas dan fungsi KIP Aceh demi memastikan kelancaran Pilkada yang demokratis.
Ia mengkhawatirkan bahwa jika pelanggaran-pelanggaran ini terus berlanjut, proses pungut dan hitung suara akan menjadi puncak dari serangkaian kekacauan yang lebih besar.
“Kami meminta KPU RI untuk mengambil alih dan membekukan KIP Aceh. Karena di tahapan ini saja sudah terlalu banyak pelanggaran dan kesalahan yang dilakukan oleh KIP. Kami khawatirkan ini akan berpuncak di pada proses pungut-hitung (suara) itu yang akan berdampak lebih luas,” imbuhnya.
Sementara itu, Kordiv Penanganan Pelanggaran, Data dan Informasi Panwaslih Aceh, Muhammad, mengatakan laporan tersebut telah diterima untuk dilakukan kajian.
Ia menjelaskan Panwaslih membutuhkan waktu dua hari untuk menilai apakah laporan tersebut memenuhi syarat formal dan materiil. Jika terbukti mengandung unsur tindak pidana Pemilu, maka laporan tersebut akan diteruskan ke Gakkumdu.