Perang Waterloo: Kejatuhan & Pertempuran Terakhir Napoleon

Sebuah lukisan yang menggambarkan Pertempuran Waterloo antara Napoleon Bonaparte dan Koalisi Tujuh karya Robinson. Foto: Wikipedia.
Sebuah lukisan yang menggambarkan Pertempuran Waterloo antara Napoleon Bonaparte dan Koalisi Tujuh karya Robinson. Foto: Wikipedia.

Pada tanggal 18 Juni 1815, medan perang di Waterloo, sebuah desa di Belgia, menjadi saksi dari pertempuran yang akan mengakhiri dominasi militer dan politik Napoleon Bonaparte serta menandai akhir dari era Kekaisaran Prancis.

Pertempuran Waterloo tidak hanya merupakan peristiwa penting dalam sejarah Eropa, tetapi juga menjadi titik balik yang mengakhiri ambisi Napoleon untuk menguasai benua biru itu. Pertempuran ini merupakan puncak dari serangkaian konflik yang melibatkan Napoleon Bonaparte, seorang jenderal dan kaisar Prancis yang telah mengguncang tatanan politik dan militer Eropa pada awal abad ke-19.

Pertempuran Waterloo juga secara efektif mengakhiri pemerintahan Napoleon, pembentukan “aturan main” baru negara-negara Eropa, dan menandai akhir dari periode yang dikenal sebagai Era Napoleon.

Langkah Pertama Kekalahan Napoleon

Setelah berkuasa sebagai Konsul Pertama dan Kaisar Prancis, Napoleon memimpin serangkaian perang dan kampanye yang memperluas wilayah kekaisarannya di seluruh Eropa. Namun, upayanya untuk menguasai benua ini menghadapi perlawanan dari banyak negara, termasuk koalisi anti-Prancis yang terdiri dari Inggris, Austria, Rusia, dan Prusia.

Namun rangkaian kemenangan demi kemenangan harus terhenti di hadapan pasukan Rusia pada 1813. Dalam pertempuran Leipzig, Napoleon harus menelan pil pahit kekalahan karena pasukannya tidak mampu melawan cuaca dingin.

Kekalahan itu menyebabkan Napoleon dilengserkan. Koalisi anti-Prancis melancarkan serangan balasan ke Paris pada akhir Maret 1814 dan berhasil mengusir Napoleon dari istana. Untuk mencabut pengaruh Napoleon secara paripurna, mereka ingin penjahat perang ini diasingkan ke pulau Saint Helena, di tengah samudera Atlantik. Namun atas usul Tsar Alexander I dari Rusia, sang Jenderal “hanya” diasingkan ke pulau Elba dekat lepas pantai Italia.

Meski telah diasingkan, hasrat Napoleon untuk merebut kembali kekuasaan masih tetap membara. Bersama Neil Campbell –pengawas Napoleon di Elbaf asal Inggris yang ditugaskan Tsar Rusia, mantan Konsul Pertama Prancis berhasil kabur. Ia turut membawa 1.150 prajurit bersamanya menuju selatan Prancis menggunakan kapal yang dicat berwarna serupa dengan kapal-kapal Inggris.

Setelah berhasil kabur pada 26 Februari 1815, sebulan berselang tepatnya pada 19 Maret 1916 Napoleon berhasil mendarat di pelabuhan Paris tanpa perlawanan. Penguasa baru, Raja Perancis Louis XVIII dibuat kalang kabut. Prajurit kerajaan justru membelot dan berpihak pada Napoleon.

Esoknya, Napoleon memasuki kota Paris, dan memulai kembali pemerintahnya yang akan dikenal sebagai periode seratus hari.

Baca juga: Bung Karno Tukang Kawin

Periode Seratus Hari

Napoleon segera mengambil alih kekuasaan di Prancis, menciptakan pemerintahan yang dikenal sebagai “Periode Seratus Hari.” Meskipun waktu yang singkat, ia melakukan sejumlah reformasi dan upaya untuk mengembalikan kejayaan Prancis. Namun, tujuan utamanya adalah untuk mempersiapkan negara dan tentara untuk menghadapi serangan dari sekutu-sekutunya.

Pada tanggal 13 Maret 1815, tepat enam hari sebelum Napoléon Bonaparte tiba di Paris dalam upayanya untuk merebut kembali kekuasaan, Kongres Wina dengan tegas menyebutnya sebagai seorang penjahat berbahaya. Namun, tidak gentar dengan keputusan itu, Napoléon terus berusaha merekrut dukungan dan mengkonsolidasikan pasukannya.

Empat hari setelahnya, negara-negara besar seperti Britania Raya, Rusia, Austria, dan Prusia memobilisasi pasukan mereka untuk menghadapi ancaman Napoléon yang kembali muncul di panggung Eropa. Kesadaran akan pentingnya menghentikan pasukan Koalisi Ketujuh ini mendorong Napoléon untuk merencanakan serangan cepat sebelum mereka bisa bersatu.

Pasukan koalisi gabungan di bawah komando Duke Wellington direncanakan awalnya untuk menghindari ancaman Napoléon dengan bergerak melewati Mons menuju barat-daya Brussels. Meskipun rencana ini bisa memutus komunikasi dengan pangkalan Wellington di Oostende, namun juga mendekatkan mereka pada pasukan Prusia yang dipimpin oleh Gebhard Leberecht von Blücher.

Namun, Napoléon dengan cerdik memanfaatkan informasi palsu untuk mengelabui Wellington dan memecah pasukannya. Ia membagi pasukannya menjadi sayap kiri yang dikomandoi oleh Michell Ney, sayap kanan dengan pimpinan Emmanuel de Grouchy, sementara pasukan cadangan di bawah komando Napoléon sendiri. Pada fajar 15 Juni 1815, mereka melintasi perbatasan di dekat Charleroi dan berhasil mengamankan posisi di tengah-tengah pasukan Wellington dan Blücher.

Keesokan harinya, Wellington menerima laporan dari Willem II tentang gerakan cepat pasukan Napoléon dan terkejut dengan kecepatan pergerakan musuhnya. Secara cepat, Wellington mengatur pasukannya untuk berkumpul di Quatre Bras, sementara pasukan Willem II berusaha mempertahankan posisi mereka melawan serangan Ney.

Sementara itu, Napoléon terus bergerak dan berhasil mengalahkan pasukan Blücher dalam Pertempuran Ligny. Di Quatre Bras, Wellington berhasil memukul mundur Ney, namun kemenangan Napoléon di Ligny memaksa Wellington untuk mundur ke posisi defensif yang lebih kuat.

Dalam suasana yang mendebarkan, pasukan Prusia bergerak mundur dari Ligny tanpa terdeteksi oleh pasukan Prancis, sehingga mereka dapat berkumpul kembali di Korps IV Friedrich Wilhelm Freiherr von Bülow yang berada di selatan Waver. Napoléon kemudian bergabung dengan pasukan Ney, dan pada 17 Juni, mereka melancarkan serangan terhadap pasukan Wellington. Namun, para komandan Prancis ini terkejut mendapati bahwa Wellington telah meninggalkan posisinya.

Upaya mereka mengejar pasukan Inggris hanya berujung pada pertempuran kecil di Genepiën. Sebelum Napoléon meninggalkan Ligny, ia memerintahkan Grouchy untuk mengejar pasukan Prusia yang mundur, namun keterlambatan dan kebingungan dalam arah pergerakan pasukan Prusia mencegah Grouchy untuk menghalangi mereka mencapai Waver, di mana mereka bisa bergabung dengan pasukan Wellington.

Pada 18 Juni, Wellington sudah siap di posisinya di Waterloo, disusul oleh pasukan utama Napoléon. Di sisi lain, pasukan Blücher berkumpul di sekitar Waver, sekitar 13 km di timur Waterloo.

Pertempuran Waterloo pun menjadi titik balik dalam perjalanan Napoléon. Ia tanpa sadar berjalan menuju arena pertempuran terakhirnya. Tempat kekalahannya akan dicatat sejarah sebagai hari paling memilukan dalam hidupnya.

Baca juga: Inggit Garnasih,Cinta & Luka Karena Sukarno

Kekalahan di Waterloo

Pada 18 Juni 1815, pasukan Napoleon berhadapan dengan pasukan koalisi Inggris, Belanda, dan Prusia di medan perang Waterloo, Belgia. Pertempuran ini menjadi titik balik dalam Periode Seratus Hari dan dalam sejarah Napoleon. Meskipun pasukannya memperlihatkan keterampilan dan keberanian yang hebat, mereka akhirnya kalah. Kekalahan ini mengakhiri pemerintahan keduanya dan menandai akhir karir politik dan militer Napoleon.

Pertempuran utama terjadi pada tanggal 18 Juni di Waterloo. Pasukan Napoleon berhadapan dengan pasukan koalisi Inggris dan Prusia di medan yang dipenuhi bukit, sungai, dan desa. Meskipun awalnya Prancis berhasil merebut Château Hougoumont, mereka gagal mendapatkan kendali atas garis pertahanan Wellington. Pasukan Prusia juga tiba di medan perang untuk membantu pasukan koalisi, memberikan tekanan tambahan pada pasukan Napoleon.

Pertempuran berlangsung sepanjang hari dengan serangan balik dan berbagai taktik dari kedua belah pihak. Namun, pada akhirnya, pasukan koalisi mampu mempertahankan posisinya dan melancarkan serangan balik yang menghancurkan garis pertahanan Prancis. Pada malam hari, Napoleon dipaksa untuk mengakui kekalahan dan melarikan diri dari medan perang.

Pengasingan dan Akhir Hidup

Kekalahan Napoleon di Waterloo adalah pukulan besar bagi ambisinya untuk memulihkan kejayaan Kekaisaran Prancis. Ia dipaksa turun tahta dan diasingkan ke Pulau Saint Helena di Samudra Atlantik, di mana ia akhirnya meninggal pada tahun 1821.

Pertempuran Waterloo sendiri bukanlah satu-satunya faktor yang mengakhiri kekuasaan Napoleon. Kekuatan ekonomi, politik, dan perlawanan dari berbagai negara juga berkontribusi pada akhir kekuasaannya. Namun, pertempuran ini secara simbolis melambangkan kejatuhan Napoleon dan mengakhiri era kekaisarannya yang mempengaruhi Eropa selama lebih dari satu dekade.

Warisan Periode Seratus Hari

Periode Seratus Hari dan kepulangan Napoleon dari Elba mencerminkan daya tarik dan pengaruh besar yang dimilikinya terhadap masyarakat Prancis dan sejarah Eropa secara keseluruhan. Meskipun pemerintahannya yang singkat, Napoleon tetap menjadi tokoh yang kontroversial dan inspiratif. Pengaruhnya dalam bidang hukum, administrasi, dan militer masih terasa hingga hari ini.

Dalam retrospeksi, Periode Seratus Hari adalah episode dramatis dalam kisah hidup Napoleon Bonaparte. Kepulangannya, upaya untuk menggabungkan kembali kekuatan, dan akhirnya kekalahan di Waterloo mencerminkan kekuatan tekad individu dalam menghadapi tantangan politik dan militer, serta kompleksitas dinamika kekuasaan di Eropa pada awal abad ke-19.

Kemenangan sekutu di Waterloo mengakhiri pemerintahan Napoleon Bonaparte dan mengirimkannya dalam pengasingan terakhirnya di Pulau Saint Helena, di mana ia akhirnya meninggal pada tahun 1821. Perang Waterloo juga mengakhiri upaya Napoleon untuk membangun kembali kekaisaran Prancis dan mewujudkan cita-citanya untuk mendominasi Eropa.

Pertempuran ini memiliki dampak yang luas terhadap politik Eropa. Munculnya Kongres Wina dan pendirian Persemakmuran Serikat Eropa bertujuan untuk mencegah bangkitnya kekuasaan tunggal seperti yang telah dilakukan oleh Napoleon. Berbagai perubahan politik dan perbatasan di Eropa juga terjadi sebagai hasil dari perang ini.

Artikel SebelumnyaDitlantas Polda Aceh Gelar Uji Sirkuit SIM Model Baru
Artikel SelanjutnyaCurhat Seorang Anggota Dewan (1)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here