Komparatif.ID, Banda Aceh— 70 persen minyak nilam dunia merupakan hasil produksi Aceh. Angka tersebut menggenapi 80-90 persen minyak nilam dunia yang berasal dari Indonesia. Dengan persentase demikian, Indonesia memimpin produksi patchouli oil dunia.
Demikian disampaikan Direktur ILO untuk Indonesia dan Timor-Leste, Simrin Singh, Selasa (15/10/2024) pada acara Perjanjian Kerja Sama antara Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Universitas Syiah Kuala, di Kampus USK, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Simrin Singh menyebutkan kolaborasi antara ILO dan Universitas Syiah Kuala bukan semata difokuskan pada peningkatan produktivitas, tetapi juga menekankan praktik pertanian dan produksi berkelanjutan serta penciptaan lapangan kerja yang layak dalam sektor ini.
“Dengan ditandatanganinya perjanjian kemitraan ini akan meningkatkan kapasitas literasi keuangan petani kecil dalam ekosistem rantai nilai Atsiri Research Center (ARC) di Universitas Syiah Kuala, melalui pelatihan komprehensif, perangkat digital inovatif, dan peningkatan akses terhadap pembiayaan untuk meningkatkan pertumbuhan dan akses pasar,” sebutnya.
Ia juga menjelaskan, lebih dari 64,2 juta UMKM berkontribusi terhadap 60,5% PDB Indonesia dan mempekerjakan 97% tenaga kerja. Pelaku UMKM telah menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan ekonomi negara. Sektor pertanian, segmen signifikan dari UMKM ini menghadapi tantangan unik, termasuk akses terbatas ke kredit, akses terbatas ke pasar, kapasitas yang lemah, dan hambatan regulasi yang menghambat daya saing.
Khusus sektor minyak nilam, Indonesia memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berpusat pada manusia, serta penciptaan lapangan kerja sangat besar.
Tonggak penting yang dicapai hari ini, kata Direktur ILO Indonesia-Timor Leste Simrin Singh, adalah peluncuran sistem Enterprise Resource Planning (ERP) yang memungkinkan petani nilam menyimpan catatan proses produksi,dan memastikan kepatuhan terhadap standar dan peraturan industri.
Sistem ERP berbasis web ini, yang dinamakan ‘MyNilam’, merupakan ERP yang dirancang khusus untuk komoditas nilam yang akan meningkatkan efisiensi operasional, data terpusat untuk pengambilan keputusan yang tepat, mengelola inventaris dan rantai pasokan secara efektif, serta meningkatkan pengelolaan dan perencanaan tanaman nilam dalam ekosistem rantai nilai ARC.
Dipimpin oleh Djauhari Sitorus, Manajer Proyek ILO bertajuk Promise II Impact, Jonas Grunder, Manajer Program SECO, dan Dr. Syaifullah Muhammad, Kepala ARC, peluncuran MyNilam tidak hanya akan membantu petani lokal mendapatkan kredibilitas di mata konsumen tetapi juga akan membuat sektor nilam lebih menarik bagi lembaga keuangan.
Hasilnya, petani akan memiliki akses yang lebih baik ke modal yang sangat dibutuhkan, yang penting untuk memastikan keberlanjutan produksi nilam dan meningkatkan penghidupan mereka.
Baca juga: Menggali Potensi Ekonomi Aceh Melalui Minyak Nilam
MyNilam menyediakan fitur-fitur penting bagi petani, termasuk manajemen profil, pelacakan produksi, keterlacakan komoditas, dan pemantauan penjualan. Peningkatan efisiensi operasional memberdayakan petani untuk mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan dan mendorong pertumbuhan jangka panjang di sektor nilam, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup mereka.
Prof. Dr. Ir. Marwan, Rektor Universitas Syiah Kuala menambahkan, “Dengan MyNilam, kami tidak hanya menyediakan teknologi, kami membekali petani dengan sumber daya untuk membangun masa depan yang berkelanjutan. Ini tentang menciptakan komunitas pertanian yang berkembang yang dapat bersaing di pasar global.”
Acara hari ini turut merayakan ekspor minyak nilam pertama Aceh dari Desa Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI) naungan Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK), yang memamerkan hasil nyata dari kolaborasi dan inovasi di wilayah tersebut.
Berdasarkan data terbaru, secara historis, hanya 0,01% dari kredit Aceh yang dialokasikan untuk sektor Nilam, yang menyoroti perlunya ekosistem keuangan yang lebih mendukung petani.
Selain itu, acara ini merayakan ekspor minyak nilam pertama Aceh dari Desa Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI) Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK), yang memamerkan hasil nyata dari kolaborasi dan inovasi di wilayah tersebut. Secara historis, hanya 0,01% dari kredit Aceh yang dialokasikan untuk sektor Nilam, yang menyoroti perlunya ekosistem keuangan yang lebih mendukung petani.
“Kolaborasi OJK dan ILO di desa EKI sangat memajukan sektor nilam karena dirancang untuk membuka potensi penuh daerah pedesaan—alam, budaya, sosial, dan keuangan—dengan memperluas akses ke perbankan, asuransi, dan pasar modal,” kata Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Inisiatif ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Dr. Erdiriyo, Asisten Deputi Bidang Inklusi Keuangan & Keuangan Islam dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga menambahkan bahwa kolaborasi ini sejalan dengan Strategi Nasional Inklusi Keuangan Indonesia, yang memberdayakan petani lokal dengan sumber daya dan pelatihan penting untuk meningkatkan produktivitas dan mengintegrasikan masyarakat pedesaan ke dalam ekosistem keuangan nasional.
Proyek ILO Promise II Impact yang kini memasuki fase kedua didukung oleh Pemerintah Konfederasi Swiss melalui Sekretariat Negara untuk Urusan Ekonomi (SECO) bertujuan untuk mengatasi tantangan ini secara langsung. Proyek ini berfokus pada peningkatan kapasitas penyedia layanan keuangan dan mempromosikan inklusi keuangan.
Saat ini, 200 petani di Atsiri Research Center telah memperoleh manfaat dari pelatihan literasi keuangan dan kewirausahaan, dengan 20% peserta adalah perempuan.
“Kolaborasi antara Swiss dan Indonesia ini merupakan contoh nyata bagaimana inklusi keuangan dan transformasi digital dapat mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Saya sangat senang dengan komitmen seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam rantai nilai nilam ini, dan saya yakin hal ini dapat menjadi model bagi sektor lain dan dapat ditiru di masa depan,” kata Olivier Zehnder, Duta Besar Swiss untuk Indonesia, Timor-Leste, dan ASEAN.