Lagu Lama MoU Helsinki: Refleksi 18 Tahun Damai Aceh

MoU Helsinki, Suhaimi. Foto: Ho for Komparatif.ID.
Suhaimi. Foto: Ho for Komparatif.ID.

Apakah Anda tahu tentang urban legend Candyman yang diadaptasi menjadi sebuah film horor populer pada tahun 1992? Berdasarkan ceritanya, jika seseorang mengucapkan nama Candyman sebanyak lima kali sambil menatap cermin, maka sosok menyeramkan Candyman dengan tangan berpengaitnya akan muncul dan seketika membunuh dengan tangan tersebut.

Namun, muncul pertanyaan, siapa yang akan muncul jika Candyman sendiri menatap cermin dan mengucapkan namanya sendiri lima kali? Jawabannya: Aceh!

Aceh tidak memanggil nama Candyman pasca MoU Helsinki 18 tahun silam, tapi Aceh sendiri yang mencari gara-gara perihal mandeknya kemajuan di segala aspek bahkan setelah MoU Helsinki berumur 18 tahun. Aceh menolak maju dan berkembang dengan tidak memaksimalkan segala poin-poin yang ada di dalam MoU Helsinki.

Sehingga, wajah Aceh pascadamai, ya, begitu-begitu saja. Sebuah fakta yang cukup wajar untuk daerah yang legislatif dan eksekutifnya lebih sering berselisih daripada bersinergi untuk melangkah lebih jauh.

Jika sebelumnya masih ada orang yang bertanya-tanya mengapa Aceh selalu gagal memaksimalkan segala potensi yang ada, baik itu anggaran, limpahan hasil alam, dan lainnya, sekarang anda tahu alasannya.

Tidaklah mengherankan dengan posisi Aceh saat ini. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa situasi seperti ini pasti akan muncul suatu saat. Setelah berhasil menguasai parlemen dengan legislator dari partai lokal dalam beberapa periode, Aceh telah mencapai titik di mana perubahan seakan-akan terhenti.

Tidak ada perkembangan yang signifikan yang dapat dijadikan indikator bahwa Aceh telah mengalami kemajuan yang jauh lebih baik setelah perjanjian MoU Helsinki, selain dari suara-suara senjata yang sudah tidak lagi terdengar. Namun, hal tersebut tidak cukup untuk mendorong Aceh ke arah kemajuan yang lebih baik dan memadai.

Kita memang patut bersyukur atas konflik bersenjata yang telah berakhir di Aceh. Namun, kita juga harus menyadari bahwa Aceh kini terlibat dalam pertempuran baru yang tak kalah serius: kesenjangan sosial yang tidak bisa diabaikan.

Baca juga: Wali Nanggroe Sesalkan Pembangunan Aceh Belum Merata

Walaupun kita merasa bersyukur atas perdamaian yang telah berlangsung selama 18 tahun, kenyataan bahwa Aceh tetap menjadi salah satu daerah termiskin di Sumatera dan bahkan secara nasional tetap berada di peringkat 10 terbawah, berhasil menggugah perhatian terhadap keadaan Aceh dan menunjukkan kepada kita bahwa kinerja pemerintahan Aceh tidaklah sesuai dengan ekspektasi seperti yang diharapkan.

Masalah yang dihadapi Aceh sungguh rumit karena situasinya seperti penyakit kronis yang telah menyebar ke berbagai sektor. Kondisi yang paling kritis terdapat pada para anggota parlemen, yang jika berada di Korea Utara, kemungkinan besar akan dihukum mati oleh Kim Jong Un.

Para legislator ini tidak menunjukkan kecakapan dalam merencanakan serta mengawal peraturan-peraturan (qanun) yang bisa memberikan kesejahteraan bagi Aceh. Mereka tampaknya seperti orang yang sakit gigi yang dipaksa mengunyah kerupuk kulit.
Mereka seolah-olah menganggap Aceh dalam keadaan baik-baik saja.

Padahal, di berbagai daerah di Aceh, banyak orang hidup dalam kemiskinan yang bahkan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Kini, para legislator Aceh tampaknya lebih tumpul daripada pensil 2B yang sudah digunakan selama 2 jam untuk menjawab ujian nasional.

Baca juga: JK: Perundingan Helsinki Jadi Contoh Perdamaian Dunia

MoU Helsinki Hanya Untuk Putar Dua Lagu

Rasa kecewa juga timbul karena peran pemerintah (Pj Gubernur) yang lebih fokus pada hal-hal sepele seperti mengatur jam operasional warung kopi, ketimbang berusaha menemukan solusi untuk mengurangi tingkat pengangguran di Aceh dengan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah. Bergantung begitu besar pada langkah-langkah pemerintah membuat masyarakat Aceh terlihat kelimpungan. Tidak terlihat usaha yang nyata dan cepat dari pihak pemerintah dalam mencari solusi atas masalah-masalah serius yang sedang dihadapi oleh Aceh.

Semua situasi ini semakin memburuk saat melihat hubungan antara anggota dewan dengan Pj Gubernur. Keterkaitan antara dua bagian pemerintahan Aceh ini menghilang seperti seperti teman yang tak membalas pesan Whatsapp ketika ditagih utang.

Meskipun MoU Helsinki memberikan harapan baru bagi Aceh, banyak yang menganggap bahwa implementasinya masih terkendala oleh sejumlah tantangan. Salah satu aspek penting adalah pemberian otonomi yang seharusnya meningkatkan kemampuan daerah untuk mengatur urusan internalnya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu, masih ada banyak kebijakan pusat yang mendominasi, membatasi potensi otonomi yang sebenarnya.

Barangkali kita semua telah lupa, bahwa, salah satu tujuan utama MoU Helsinki adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh. Meskipun beberapa langkah positif telah diambil dalam bidang infrastruktur dan pendidikan, masih terdapat ketimpangan sosial-ekonomi yang signifikan di Aceh. Banyak wilayah yang belum merasakan manfaat dari potensi alam yang melimpah, dan tingkat kemiskinan serta pengangguran tetap menjadi masalah serius.

Dengan berlalunya 18 tahun usia MoU Helsinki, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah Aceh telah mengalami perubahan yang signifikan seiring berjalannya waktu?

Kita semua tahu jawabannya dengan melihat Aceh hari ini. Seumpama MoU Helsinki adalah sebuah musik yang ada di era digital, pemerintah Aceh adalah walkman yang cuma bisa memutar kaset dengan judul lagu “pilih kami agar memperjuangkan semua butir-butir MoU” sebagai side A, lalu di side B hanya akan memutar lagu berjudul “jika kami terpilih, bintang bulan akan berkibar di Aceh”.

Jika Aceh tak menemukan peranti musik yang baru pada pemilu yang akan datang, maka sepanjang masa Aceh hanya sanggup memutar 2 lagu itu saja berulang-ulang.

Artikel Sebelumnya78 tahun Indonesia Merdeka, Beutong Ateuh Belum Punya SMA
Artikel SelanjutnyaFilm Cina Mengubah Pandangan Rakyat Indonesia Terhadap Tiongkok
Suhaimi
Alumni Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Magister Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Simalungun Pematangsiantar. Penyuka Cryptocurrency.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here