Sejak runtuhnya orde baru melalui reformasi 1998, lanskap perpolitikan Indonesia berubah. Mekanisme peralihan kekuasaan eksekutif dan legislatif diserahkan kembali pada rakyat melalui pemilihan umum. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi bila Soeharto masih berkuasa.
Setelah empat kali pilpres, manuver dan intrik politik demi memenangi pilpres 2024 menarik untuk dicermati sebagaimana disindir oleh Presiden Jokowi sebagai “proses dengan drama-drama”.
Selain dipenuhi dengan drama, lakon politik pilpres 2024 menjadi menarik untuk dicermati adalah formasi pemainnya berubah total dengan kontestasi pilpres tahun-tahun sebelumnya. Partai-partai yang berseberangan pada pilpres 2019 kini bersatu dalam satu kubu koalisi, misalnya Nasdem dengan PKS yang kini kompak mengusung pasangan Anies-Muhaimin.
Kemudian Nasdem dengan PDI-Perjuangan yang pada pilpres 2014 dan 2019 mengusung Jokowi kini berseberangan. Yang lebih menarik lagi adalah Jokowi dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, bersatu dalam satu gerbong pada kontestasi pilpres 2024 setelah bertarung pada pilpres 2014 dan 2019.
Koalisi Gado-gado
Guna memenangi pilpres dan berebut kuasa, elit-elit parpol bergerilya kesana kemari membangun koalisi. Nasdem mencuri start dengan mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bacapres.
Langkah Nasdem yang dinahkodai oleh Surya Paloh mendeklarasikan Anies sebagai bacapres secara mandiri (sebelum ada koalisi) patut diacungi jempol, dan merupakan langkah berani. Karena Nasdem bukanlah partai yang memenuhi parliamentary threshold untuk mengusung capres tanpa bantuan suara atau kursi DPR RI dari partai lain.
Secara regulasi, hanya PDIP yang dapat mengusung capres secara mandiri tanpa perlu berkoalisi dengan partai lain berdasarkan perolehan suara pada pemilu 2019.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Permulus Gibran Jadi Cawapres
Setelah pendeklarasian Anies sebagai bacapres tensi politik memanas, bahkan hubungan Surya Paloh dengan Jokowi dikabarkan memburuk. Kunjungan Anies ke berbagai daerah sebagai bacapres diisukan dihadang dengan berbagai cara.
Diluar itu, partai-partai lain terus mencari format koalisi sehingga terbentuklah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diisi oleh Golkar, PAN, dan PPP yang akhirnya bubar tanpa klimaks, usai PAN dan Golkar malah memilih mendukung Ketum Gerindra Prabowo sebagai bacapres.
Disisi lain Gerindra yang sudah mendapuk Prabowo sebagai capres sejak 2014 dan 2019, kembali mencoba mengusung mantan Danjen Kopassus bersama PKB melalui Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
Senasib KIB, KKIR juga gugur di tengah jalan karena tidak ada kesepakatan mengenai cawapres pendamping capres Prabowo. Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dibeberapa kesempatan mengaku gerah karena tidak kunjung diumumkan sebagai pendamping Prabowo. Akhirnya, partai yang didirikan kalangan NU itu memilih hengkang kemudian bergabung ke koalisi perubahan.
Kubu Anies juga bukan tanpa gejolak. Demokrat menarik dukungan dan keluar dari koalisi usai Nasdem yang secara sepihak mendeklarasikan Muhaimin (Cak Imin) sebagai bacawapres mendampingi Anies.
Merasa dikhianati dan tidak mau menjadi gelandangan politik, Demokrat akhirnya melabuhkan dukungan ke Prabowo dan bergabung bersama Koalisi Indonesia Maju (KIM). Sedangkan PDIP sebagai pemenang pemilu 2019 mengusung Ganjar Pranowo sebagai bacapres. PPP dan Perindo juga turut bergabung dalam koalisi ini.
Setelah dipenuhi intrik dan dinamika panjang dan penuh ketidakpastian serta isu cawe-cawe dari Jokowi, akhirnya format koalisi menemukan jalannya juga. Koalisi Perubahan yang diisi Nasdem, PKB, dan PKS. Koalisi Indonesia Maju (KIM) Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat, PSI. Dan koalisi PDIP yang didukung PPP dan Perindo.
Mencermati peta koalisi yang sudah terbangun ada beberapa catatan penting yang perlu dikemukakan. Pertama, koalisi politik yang dibangun sama sekali tidak mencerminkan preferensi politik parpol-parpol pengusung, apalagi orientasi ideologi.
Sebab koalisi yang dibangun menghimpun partai-partai dengan basis ideologi yang berbeda. Misalnya Nasdem (nasionalis) dengan PKS (islamis), PDIP (nasionalis) dengan PPP (islamis), atau PBB (islamis) dan PSI (sosialis/nasionalis).
Kedua, dengan format koalisi yang demikian, motif utama yang mendasari jalinan koalisi adalah kekuasaan. Dalam konteks ini, kesamaan visi dan ideologi yang diangkat pada tataran wacana tak lebih hanya retorika politik saja. Sehingga tak berlebihan rasanya disebut sebagai koalisi gado-gado.
Baca juga: Anwar Usman Diberhentikan, Keputusan [Tentang Gibran] Tidak Dibatalkan
Lakon Politik Absurd
Sama seperti koalisi gado-gado, lakon politik absurd juga turut mewarnai kontestasi pilpres 2024. Setelah dua kali gagal memenangi pilpres, Prabowo dinilai kehabisan akal untuk tidak kalah ketiga kalinya.
Ia akhirnya memutuskan Gibran, putra sulung Jokowi sebagai cawapres yang mendampinginya. Banyak pihak menilai penentuan Gibran terkesan dipaksakan. Karena secara umur Gibran belum memenuhi syarat.
Namun Gibran tetap lolos melenggang sebagai cawapres setelah MK, yang diketuai oleh pamannya sendiri “merevisi” undang-undang pemilu. Tak ayal, isu nepotisme, politik dinasti, dan putusan inkonstitusional merebak dan menjadi perbincangan hangat, bahkan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyebut putusan MK itu mengandung cacat hukum.
Buntut dari putusan MK tersebut, sang paman Anwar Usman diberhentikan oleh MKMK sebagai Ketua MK karena dinilai bersalah melanggar kode etik berat. Walau putusan MK mengandung cacat hukum dan Anwar terbukti melanggar kode etik berat, jalan Gibran mendampingi Prabowo tetap tanpa kendala.
Belum lagi adiknya, putra bontot Jokowi Kaesang Pangarep didapuk sebagai Ketum PSI hanya dua hari usai bergabung tanpa proses kaderisasi melalui Kopi Darat Nasional. Lalu bila ini bukan politik absurd, nalar politik mana yang bisa menjelaskannya?