Inisialnya Boh Limeng, ia seorang mahasiswi sebuah kampus di Aceh. Ia tidak sengaja jatuh ke dunia pelacuran. Ia terperdaya fasilitas dan hadiah yang diberikan oleh seorang lelaki hidung belang. Ia yang tak pernah melihat barang mewah, tenggelam dalam dunia penuh kegelapan itu. Beruntung hingga saat ini ia belum pernah hamil.
Kisah ini diceritakan oleh seorang teman Boh Limeng kepada redaksi Komparatif.id, Jumat malam (28/7/2023). Berikut ceritanya:
Boh Limeng lahir dari keluarga miskin. Sebagai perempuan yang lahir dari keluarga abangan, ia tidak mendapatkan pendidikan agama yang mumpuni. Dirinya hanya belajar agama ketika kecil. Itupun sebatas membaca Quran dan belajar hukum fiqh dasar di balai pengajian di kampungnya.
Baca: Perempuan Muda di Bisnis Esek-esek di Serambi Mekkah
Baca: Fakta Prostitusi Online di Banda Aceh
Sejak menempuh pendidikan di SMA, ia sudah tertarik dengan barang-barang branded yang sering dilihatnya di media sosial. Mulai dari telepon genggam, baju, celana, sepatu, tas jinjing, alat kosmetik, hingga kendaraan.
Ia juga mulai membayangkan suatu saat dapat berlibur ke tempat-tempat yang sedang viral. Objek-objek wisata yang dikunjungi oleh orang-orang berkantong tebal.
Tanpa sadar apa yang ia bayangkan, menjadi tujuan di alam bawah sadarnya. Ketika kuliah, keinginan untuk mendapatkan semua yang ia idamkan, semakin menggebu-gebu. Dia melihat teman-temannya memakai baju bagus, tas branded, alat kosmetik mahal, punya uang jajan ratusan ribu, hingga kendaraan yang dikendarai saat kuliah, wuihh, membuat ia juga ingin memilikinya.
Hingga suatu ketika, ia berkenalan dengan seorang pria berusia 50 tahun, berpenampilan necis, ramah, dan royal. Pria yang ia panggil abang di awal-awal perkenalan, seringkali memberikannya hadiah. Ia dibelikan baju, perhiasan, dan sebagainya.
Mulailah ia berpetualang. Hubungan mereka bertambah meningkat kadar persentasenya. Dari sebatas kawan, tidak lama kemudian berubah menjadi teman lebih intim. Si pria hidung belang memanfaatkan “keluguan” Boh Limeng, sedangkan Boh Limeng memanfaatkan “keroyalan” si pria yang telah beranak bini itu. Dalam hadih maja, hubungan keduanya disebut asee deuk ngon ureueng ciret.
Hubungan mereka seperti lingkar setan pasar bebas, saling memanfaatkan, dan saling termanfaatkan.
Si pria hidung belang pada akhirnya berhasil menjadikan Boh Limeng sebagai gundik tanpa dinikahi, sedangkan si wanita itu berhasil memanfaatkan kesempatan itu untuk mengeruk keuangan si pria. Mereka terlibat dalam hubungan simbiosis mutualisme, sekaligus simbiosis parasitisme.
Kian hari, Boh Limeng terlihat semakin bersih dan mewah. Bila ia ingin liburan, si pria memfasilitasinya. Diberikan mobil rental, diberikan uang jajan, serta disediakan akomodasi.
Bila ia butuh uang, diberikan uang. Bila dia butuh pakaian, dibelikan pakaian. Bila ia butuh apa pun, maka apa pun itu akan dibelikan. Demikian juga setiap kali diberikan hadiah, maka setiap kali pula mereka akan bobok bareng. Baik di hotel, di dalam kabin mobil, maupun di tempat-tempat yang dianggap cocok untuk bercocok tanam.
Boh Limeng tidak membuka jasa kehangatan untuk konsumen lebih luas. Ia merasa cukup dengan hanya memiliki satu orang pria bonafit. Karena hanya dengan satu pria saja, segala kebutuhannya terpenuhi.
Sesekali ia mengingat dosa. Tapi setiap kali si pria hidung belang mengajak kencan, dia tak kuasa menolak. Karena selalu ada hadiah ikutan tiap kali mereka bercocok tanam.
Dia tidak mau berpikir terlalu jauh. Bilakah kelak hubungan mereka terkuak,bagaimana dengan nama baik dia, ayah dan ibunya. Boh Limeng tidak mau menghabiskan energi terlalu besar untuk memikirkan dampak di masa depan. Baginya hidup yang ia jalani adalah pilihan. Bila kelak terbongkar, maka itu risiko yang harus dihadapi.
Boh Limeng tidak mau disebut pelacur. Karena menurutnya ia tidak melacurkan diri. Dia hanya menginvestasikan apa yang ia miliki untuk satu orang pria yang dapat memenuhi segenap yang ia impikan. Dia hanya mau disebut sebagai simpanan. Karena menurutnya, kalau pelacur sistemnya bayar putus. Sekali transaksi sekali bayar. Sedangkan dia tidak melakukan transaksi. Ia melayani pria paruh baya itu, karena si pria memenuhi segenap keinginannya.
Dalam menjalani hubungan gelapnya, ia belum pernah hamil. Boh Limeng dan sang abang selalu menggunakan alat kontrasepsi setiap kali berhubungan.
Perempuan muda itu tak tahu kapan akan mengakhiri semuanya. Ia tidak tahu harus berhenti di tikungan yang mana. Ia tidak cinta kepada lelaki yang telah menidurinya berkali-kali—ia tak dapat mengingat jumlah “internal meeting” antara mereka—tapi ia membutuhkan lelaki itu. karena sang abanglah yang dapat memenuhi segenap fantasinya tentang penampilan duniawi.
Bagaimana ia menjelaskan tentang perubahan keuangannya kepada ayah dan ibunya di rumah? Dia mengatakan telah memiliki bisnis di internet. Orang tuanya tidak banyak tanya. Mereka hanya mengangguk-angguk, karena tidak memahami dunia internet. Setiap ditanya oleh orang kampung dia kerja apa sembari kuliah, dia hanya menjawab bisnis online.
Catatan redaksi: Kisah ini diceritakan oleh teman si Boh Limeng, sebagai bagian dari liputan tentang Perempuan Muda di Bisnis Esek-esek di Serambi Mekkah.