Namanya Nurdin Abdullah. Di Teupin Mane, Juli, Bireuen, ia lebih dikenal dengan panggilan Bang Din Brôk-Brôk. Lakap itu disemat karena ia bekerja sebagai pengepul barang rongsokan. Dengan pendapatan tersebut ia menyekolahkan anak-anaknya.
Bang Din–saya menyebutnya Apa Din– merupakan generasi lawas di Teupin Mane. Bila tidak keliru, ia tutup usia pada umur kepala tujuh.
Baca: Fiona Zakaria, Ilmuwan Aceh di Panggung Internasional
Bang Din Brôk-Brôk–panggilan masyur di Teupin Mane– dikenal baik dan santun sejak muda. Ia pria yang ramah dan penyayang. Meski sekolahnya tidak tinggi, ia memiliki antusias terhadap dunia pendidikan.
Saya memiliki hubungan khusus dengan pria baik hati itu. Saat STM, pernah berkali-kali makan di rumahnya karena berkawan dengan anaknya; Juliadi dan Azhari. Istrinya juga sangat baik. Meski keadaan sedang perang, ia tetap mempersilahkan teman putranya makan siang di rumah mereka.
Ketika tahun-tahun pertama kuliah, saya sering pulang terlambat. Tiba di Simpang Empat Bireuen setengah jam sebelum Magrib. Menunggu kendaraan umum tentu saja mudah. Tapi karena uang di kantong yang terbatas, menyetop bus L-300 bukan perkara yang asyik.
Suatu ketika Bang Din melintas. Ia memandang ke arah kiri Simpang Empat. Begitu ia melihat saya, motor bebeknya yang dipasang keranjang di belakang, dihentikan olehnya. Ia memanggil dengan senyum manis.
“Muhajir lagi tunggu bus ya?”
“Iya, Pak Cik,”
“Mau pulang bareng?” ajaknya.
Sebuah tawaran menarik. Saya langsung mengangguk.
Dalam hitungan detik, saya sudah duduk di jok belakang. Kaki saya masukkan ke dalam keranjang kiri dan kanan. Ia pun melaju; agak kencang karena dia targetkan Salat Magrib di Masjid Baitul Huda Teupin Mane.
Dalam perjalanan, ia mengatakan bila memang pulang terlambat, tunggu saja dirinya. Sebuah tawaran yang tak kalah menarik. Saya mengangguk. Dan ia membuktikan. Setiap kali saya terlambat pulang, ia selalu berhenti di sana. Kami pulang bareng.
Cukup lama kami tidak bertemu. Akhirnya, beberapa tahun lalu, kala selesai Salat Subuh, saya bertemu dengannya di warung kopi. Kami menyeruput kopi dan mengudap nasi bungkus.
Asyiknya, Bang Din selalu mengajukan pertanyaan ringan. Tentang jumlah anak, keadaan istri, dan lain-lainnya yang template orang tua. Ia juga memberikan nasihat tentang pentingnya bekerja dengan ikhlas dan rezeki yang halal.
Ia juga mengingatkan tentang betapa pentingnya salat. Sesibuk apa pun, salat jangan pernah ditinggalkan.
Pesan-pesannya disampaikan dengan kalimat sederhana. Mudah dicerna, dan tidak menggurui.
Tiga tahun lalu kami bertemu di Meunasah Teupin Mane. Saat itu digelar Maulid Nabi. Setelah basa-basi khas orang tua, Bang Din meminta saya pulang dan menetap di Teupin Mane.
Dia meminta saya maju sebagai keuchik. Saya tertawa, dia tidak tertawa. Wajahnya serius. Sorot matanya menunjukkan kesungguhan.
Karena melihat dia serius, saya hentikan tawa. Saya bergumam bila Muhajir tidak sepintar yang ia kira. Tidak sebaik yang ia sangka, serta tidak sesabar yang ia tafsir.
Ia bergeming. Tetap dengan pendapatnya. Ia keukeuh dengan penilaiannya.
“Apa Din, saya bercita-cita menjadi orang kaya. Kalau jadi keuchik, tak bisa menjadi orang kaya. Gajinya kecil, tugasnya besar. Dari orang kawin, orang bertengkar, hingga orang mati jadi urusan keuchik,” kata saya.
Kini giliran Apa Din yang tertawa. Ia mencubit paha saya. Kami tergelak bersama.
Dalam beberapa pertemuan terakhir, ia sudah terlihat kurang sehat. Ia menyampaikan lututnya tidak kuat lagi. Sudah agak lama berhenti bekerja. Ekonominya ditopang oleh istri dan anak-anak.
Seperti biasa, bila kami bertemu, selalu menikmati nasi bungkus di warkop. Kadang kami nongkrong di warkop Apa Do, kadang di kedai kopi Bang Wan.
Pada Selasa, 22 Oktober 2024, saya mendapatkan kabar bila Bang Din sedang dirawat di RSUD dr. Fauziah. Ia menderita bocor lambung.
Sehari setelahnya, Rabu, 23 Oktober, ia pamit dari dunia fana. Pria baik hati itu mengembuskan nafas terakhir di RS Fauziah.
Kini ia telah dimakamkan di Pekuburan Umum Teupin Mane. Ia telah menjadi penduduk Alam Barzah yang penuh misteri.
Saya merasa sangat kehilangan. Seorang pria teramat baik, taat kepada Tuhan, telah pergi untuk selamanya. Kini tidak ada lagi cerita-cerita setelah Subuh dari pria periang itu.
Selamat jalan, Apa Din. Saya bersaksi, engkau salah seorang hamba Allah yang memiliki sifat baik. Allahummaghfirlahu.