“Sebagai Pj Bupati Aceh Utara, Azwardi ingin membenahi Aceh Utara. Cara kerja Azwardi membuat elit lokal tidak nyaman. Azwardi diganggu. Beda dengan Mahyuzar, diterima elit lokal meski kerjanya hanya bagi-bagi sajadah. Mahyuzar diterima karena dia kompromis dan melakukan sharing power.”
Ketika mengajar mata kuliah resolusi konflik, saya sering gambarkan kepada mahasiswa bahwa kelompok masyarakat tempat mereka berasal, tentu sangat bangga ketika ada putra-putri dari gampong mereka yang bisa masuk dan kuliah di perguruan tinggi.
Bahkan ada pula gampong yang melepaskan mahasiswa berangkat kuliah pertama kali dengan upacara peusijuek, atau sekurang-kurangnya diberikan kata selamat oleh para elit dan perangkat gampong.
Elit gampong bangga karena anak dari desa mereka telah mampu bersaing untuk masuk ke perguruan tinggi dan secara tidak langsung telah mengharumkan nama gampong di tingkat lebih tinggi.
Kemudian saya memberikan sedikit gambaran bahwa suasana tersebut tidak akan pernah terulang, malah akan terjadi sebaliknya. Ketika para sarjana pulang kampung dan mereka menetap di sana, maka konflik-konflik kecil akan terjadi.
Geuchik dan perangkatnya akan merasa was-was karena sudah ada saingan baru dengan level pendidikan yang lebih baik.
Ibu geuchik juga harap-harap cemas, kalau-kalau para sarjana terlalu aktif di gampong, bisa-bisa nanti pak geuchik akan berpindah ke lain hati.
Kalau sang sarjana lulusan perguruan tinggi Islam, besar kemungkinan teungku imum juga akan was-was karena kandidat pengganti sudah ada.
Gesekan-gesekan pikiran seperti ini akan lebih cepat menjadi api kalau ada yang “peuch’oep”. Padahal tukang peuch’oep ini hanya ingin mendapatkan keuntungan dari mengelola situasi yang ada.
Itu semua adalah persoalan rasa. Hal yang tumbuh ketika zona nyaman sudah lama dinikmati dan sudah menjadi kenikmatan kelompok tertentu yang tidak tergoyahkan dalam kurun waktu tertentu.
Untuk mengelola rasa yang sudah tumbuh berakar tunggal di dalam masyarakat, maka para sarjana kembali ke kampung perlu dibekali dengan kemampuan resolusi konflik, khususnya bagaimana berinteraksi dengan masyarakat tanpa menimbulkan konflik baru.
Namun kalau dipikir-pikir dunia ini memang aneh, di setiap momen selalu ada kelompok yang diuntungkan dan pada saat yang sama ada pula kelompok yang dirugikan. Tidak sedikit orang kaya baru ketika konflik melanda Aceh, di samping ramai rakyat Aceh yang menderita. Bagi yang untung di tengah konflik, tentunya dalam benak mereka menginginkan agar konflik tidak cepat berakhir.
Begitu juga dengan bencana gempabumi yang disusul dengan gelombang tsunami Aceh pada tahun 2004. Ramai orang kaya menjadi miskin bahkan ramai yang kehilangan harta dan nyawanya. Namun bencana tersebut tidak sedikit mencetak orang kaya baru di Aceh dengan berbagai proses.
Dalam sebuah organisasi, pergantian pemimpin merupakan momen yang sangat menentukan tidak hanya terhadap perubahan kebijakan organisasi, tetapi juga perubahan struktur kekuasaan. Berbeda dengan bencana alam yang sangat kental campur tangan Tuhan, perubahan organisasi bersifat permainan politik manusia sehingga ramai yang ingin campur tangan, khususnya yang tidak puas dengan kondisi yang baru atau karena ingin mempertahankan status quo yang sudah lama dinikmatinya.
Dalam kondisi ini sangat rawan timbul konflik karena berkaitan dengan posisi, kekuasaan, marwah, bahkan penghasilan. Berbagai Cara akan ditempuh untuk memastikan bahwa posisi mereka tetap aman, walaupun kebijakan dan kekuasaan berganti.
Tak ubahnya seperti Aceh Utara, ketika penunjukan Pejabat Bupati pertama, Azwardi, AP, M.Si, banyak gebrakan yang ingin dilakukan tanpa memperhatikan zona nyaman kelompok tertentu. Sehingga ramai yang terusik dan memberontak, maka timbullah berbagai polemik yang menyebar menjadi konsumsi publik.
Menurut Azwardi, banyak sekali persoalan yang menimpa Aceh Utara, di antaranya BPR Aceh Utara yang mengalami permasalahan serius karena dinilai tidak sehat untuk beroperasi.
Alih-alih setuju dengan langkah kebijakan PJ Bupati, petinggi Aceh Utara lebih memilih BPR tersebut dicabut izin operasionalnya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tanggal 4 maret 2024 (Kompas, 5/3/2024). Sebuah prestasi sebagai mana peunutôh indatu, “leubèh göt meuhambô daripada mencret-cret”
Persoalan lain seperti PDAM yang terus menerus harus disubsidi, padahal hanya mengelola air ciptaan Tuhan dengan sedikit modal untuk pengoperasian mesin. BUMD yang hanya menjadi benalu dalam anggaran, tetapi tidak menghasilkan Pendapatan Asli Daerah untuk membantu pendanaan pembangunan Aceh Utara. Juga pembangunan bendungan yang tidak kunjung jelas kelanjutannya.
Sebagai orang luar pemerintahan yang hanya bisa mengamati melalui gosip yang berkembang dan dibantu oleh berita di beberapa media, saya melihat sekelumit persoalan ini telah menyebabkan PJ Bupati Azwardi menjadi duri dalam daging para elit Aceh Utara, karena telah mengobrak-abrik zona nyaman yang telah lama dibangun.
Langkah Azwardi yang lebih mementingkan rakyat Aceh Utara ketimbang elit, telah melahirkan perlawanan. Apa pun target Azwardi menjadi tidak penting. Para elit menciptakan kondisi supaya Azwardi tidak boleh nyaman.
Aceh Utara yang memiliki sumberdaya yang luar biasa, namun tidak diimbangi dengan sumberdaya para elit dalam mengelola sehingga menimbulkan berbagai kesenjangan sosial akut.
Ramai para pemuda-pemudi yang putus asa sehingga ramai di antara mereka yang memutuskan untuk mencari kerja di negeri jiran yang kemudian tidak sedikit yang terjerumus ke dalam berbagai persoalan, atau menjadi kurir barang haram.
Di mana fungsi pemerintah Aceh Utara dalam membangun daerah dan menciptakan stabilitas serta menjamin distribusi ekonomi? Sepertinya Aceh Utara lebih mencerminkan rumah yang tidak bertuan.
Ketika Pemerintah Pusat menunjukkan Pejabat Bupati baru, Dr. Drs. Mahyuzar, M.Si, untuk menggantikan Azwardi, AP, MSi. Kondisi Aceh Utara kelihatan normal dan nyaman kembali. Tidak ada gejolak, tidak ada perang opini publik, tidak ada protes memprotes, bahkan hingga menjelang masa jabatan berakhir. Sehingga menarik untuk dipertanyakan, Apakah Aceh Utara baik-baik saja?
Selain BPR yang telah dicabut izin operasionalnya, bagaimana dengan BUMD, Apakah PDAM sudah tidak disubsidi lagi? Bagaimana perkembangan pembangunan Waduk Keureuto? Mengamati dua kondisi yang berbeda antara Azwardi dan Mahyuzar, mungkinkah sesuai dengan teori yang diutarakan oleh Stoner dan Freeman di mana salah satu penyebab konflik di dalam sebuah organisasi dikarenakan pembagian sumber daya yang terbatas atau mulai terganggu?
Kalau Aceh Utara sudah menganut teori Stoner dan Freeman, maka Pemerintah Aceh Utara merupakan kelompok penguasa zalim yang yang hanya ingin mempertahankan statusnya dan bukan mengatur hajat hidup rakyat Aceh Utara agar memiliki hidup yang lebih baik.
Di sisi lain, Mahyuzar telah mampu menjinakkan berbagai kepentingan elit Aceh Utara sehingga tidak menimbulkan gejolak. Walaupun prestasi Mahyuzar selama menjabat PJ Bupati Aceh Utara hanya bagi-bagi sajadah ke masjid-mesjid dan amplop kepada beberapa anak yatim, bukanlah persoalan besar karena semua elit merasa puas dengan power sharing yang dia praktekkan.
Lantas apakah rakyat Aceh Utara telah makmur selama Mahyuzar menjadi Pejabat Bupati Aceh Utara? Persoalan hajat rakyat Aceh Utara bukanlah persoalan besar yang harus diperhatikan, toh mereka tidak akan protes. Kalaupun mereka protes, gaungnya tentu akan lebih kecil bila dibandingkan dengan protes yang dilakukan oleh para elit.
Semoga ini hanya rasa yang ada pada penulis imajinasi yang terlalu berlebihan melihat kondisi Aceh Utara. Semoga setelah menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh mampu membuat kita semua berfikir ekstra untuk pembangunan dan kesejahteraan Aceh Utara.
*Teuku Murdani adalah dosen pada jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.