Pada suatu pagi di masa DOM, sekelompok tentara yang sedang melaksanakan Operasi Jaring Merah di pedalaman Aceh Utara, singgah pada sebuah rumah panggung milik seorang nenek berusia sekitar 70 tahun.
Di beranda, sang nenek duduk di atas sehelai tikar beunot, yang sudah lusuh. Tepi-tepinya sudah tidak menyatu dalam anyaman.
Si nenek senang mengunyah sirih sembari membaca nazam Aceh.
Baca: Pak Salam
Ketika melihat sekelompok tentara masuk ke beranda rumahnya, ia mengentikan membaca nazam. Ibu jari dan telunjuknya segera menjepit tembakau puta, yang diselipkan di gusi bawah. Tembakau yang telah dipilin sebesar tahi kambing tersebut, digeser ke gusi bawah sebelah kiri.
Tentara bertanya, “Ada sirih rupanya, Nek,”
Sembari tersenyum nenek tersebut menyawab, “Hana, si Rih ka dijak u blang,”
Seorang Prajurit yang kebingungan, bergumam, ”Apa,Nek”
“Itulah, apa-apanya ka dijak u blang.”
“Aneh nenek ini,” celetuk tentara lain lagi yang tak mengerti nenek itu sedang mengatakan apa.
“Nyan keuh hai, Pak. A si Nèh katrep that ka tan. Na jikubah aneuk yatim dua boh. Jinoe aneuk nyan ngón kudrah Po, ka rayek ban dua.”
Tentara itu kebingungan. Karena tidak nyambung, mereka pun pamit.
Ketika prajurit itu pergi, si nenek bergumam.
“Keupu jih teuman si Rih lé awak nyan? Puka jipeulaku le si Rih teuma? Nyoe ka susah kuh.” Katanya sembari berdoa supaya Idris cucunya tidak mengalami musibah.