Komparatif.ID, Jakarta— Anggota Komisi VI DPR RI Rafli Kande kritik monopoli Pemerintah Pusat terkait penerbitan izin tambang yang beroperasi di Aceh. Ia juga mengingatkan tentang kewenangan yang dimiliki Aceh sesuai isi MoU Helsinki, terkait pengelolaan sumber daya alam.
Menurutnya, Aceh seharusnya memiliki kewenangan penuh dalam mengelola segala bentuk sumber daya alamnya, namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Pemerintah Pusat justru mengendalikan penerbitan izin-izin investasi tambang tanpa melibatkan Pemerintah Aceh..
“Aceh memiliki kewenangan mengelola segala bentuk sumber daya alam sendiri. Namun fakta yang terjadi saat ini, Pemerintah Pusat masih memonopoli kebijakan perizinan melalui beberapa investasi pertambangan asing di Aceh,” ujar Rafli pada Rapat Kerja dengan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, di Jakarta, Senin (4/9/2023).
Rafli menyoroti kesenjangan antara kewenangan yang dimiliki Aceh dalam mengelola sumber daya alam, sebagaimana tercantum dalam MoU Helsinki, dengan kenyataan di lapangan.
Pemerintah Pusat dinilai masih mendominasi kebijakan perizinan melalui beberapa investasi pertambangan asing di Aceh, yang dinilai merugikan Aceh dari sisi kerjasama horizontal.
Politisi PKS itu mengatakan bila hal ini terus terjadi mengakibatkan perusahaan asing yang beroperasi di Aceh tidak berkewajiban melaporkan hasil eksplorasi dan eksploitasi kepada Pemerintah Aceh, sehingga pengawasan terhadap potensi sumber daya alam menjadi kurang objektif.
“Sehingga dalam prakteknya perusahaan asing tersebut tidak berkewajiban untuk melapor hasil eksplorasi, dan eksploitasinya secara horizontal kepada Pemerintah Aceh.” lanjutnya.
Baca juga: Rafli & Iskandar Al-Farlaky Minta Panglima TNI Hukum Oknum yang Bunuh Warga Aceh
Rafli Kande juga menekankan pentingnya memastikan kerjasama yang seimbang antara pemilik investasi, dengan Badan Usaha Milik Pemerintah Daerah (BUMD), seperti PT Pembangunan Aceh (PEMA).
Dalam konteks industri migas (minyak dan gas), Rafli mencontohkan Aceh telah memiliki regulator melalui BPMA (Badan Pengelola Migas Aceh). Ini menunjukkan komitmen Aceh untuk memberikan ruang yang sebesar-besarnya bagi investasi.
“Karena kalau bicara migas, di sana (Aceh) sudah ada regulator yang namanya BPMA (Badan Pengelola Migas Aceh). Kita memberikan ruang yang sebesar-besarnya kepada investasi, siapapun boleh jadi operator, tetapi wilayah pengawasan dan koordinasi tetap kembali ke BPMA. Itu khusus migas,” ujar Rafli.
Berkaca dari BPMA, Rafli meminta Menteri Bahlil agar menginstruksikan Pemerintah Aceh membangun perusahaan khusus sektor minerba (mineral dan batubara). Menurutnya, keberadaan perusahaan khusus tersebut dapat memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam, sekaligus mengatasi masalah tambang-tambang ilegal yang saat ini menyebabkan konflik sosial di tengah masyarakat.
“Mungkin pak Bahlil bisa menginstruksikan ke Pemerintah Aceh untuk membangun satu perusahaan pertambangan minerba (mineral dan batubara) seperti BPMA juga,” beber Rafli.
Rafli yakin, dengan dukungan dan inisiatif dari Menteri Investasi Bahlil, usulan ini dapat menjadi warisan monumental yang akan memungkinkan Aceh berkembang secara berkelanjutan, dan mengoptimalkan potensi sumber daya alamnya.
“Ini jadi legacy monumental untuk bersama, bagaimana Aceh bisa kita bangun dengan baik. Harapannya tidak ada lagi sebutan Aceh sebagai provinsi termiskin, padahal sumber daya alamnya sangat banyak,” pungkas Rafli.