Komparatif.ID, Jakarta—Direktur Imparsial Gufron Mabruri mendesak proses hukum terhadap Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi, dan Koordinator Staf Administrasi Kabasarnas RI Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, harus melalui proses pengadilan tindak pidana korupsi.
Dalam siaran persnya yang diterima Komparatif.ID, Minggu (30/7/2023) Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan penetapan kedua perwira militer itu sebagai tersangka melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) sudah tepat. Justru, permintaan maaf pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas penetapan tersangka terhadap kedua perwira itu, merupakan sebuah langkah keliru.
Gufron Mabruri menjelaskan, tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus. Apa yang dilakukan oleh KPK pada tindakan pertama sudah tepat yaitu menangkap kedua perwira yang “sedang dikaryakan” di institusi sipil. Sungguh sebuah kekeliruan serius, justru kala KPK minta maaf kepada TNI karena menganggap dirinya [KPK] telah melakukan kekhilafan.
Baca: Ambil Alih Pradi Hanya Rp200 Juta, Tindakan Aminullah Dinilai Tak Pantas
Undang-Undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi merupakan UU khusus yang dalam strata hukum dapat mengenyampingkan UU yang lebih umum. Dalam konteks tindak pidana korupsi, UU Tipikor dapat mengabaikan UU TNI.
Menurut Direktur Imparsial, dalam konteks korupsi di Basarnas, UU Tipikor berlaku khusus, yang dalam istilah hukum disebut lex specialist derogate lex generalis, UU yang khusus dapat mengalahkan UU yang umum.
Alasan lainnya mengapa kepala Basarnas dan Koorsmin harus disidang di pengadilan tipikor? Karena pada pasal 65 ayat (2) Undang-Undang TNI disebutkan prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dalam undang-undang.
Terkait penetapan tersangka Kepala Basarnas dan seorang Koorsmin Basarnas dalam kasus suap proyek pengadaan barang dan jasa di Basarnas, merupakan tindakan yang sudah tepat dilakukan oleh KPK karena merupakan tindak lanjut dari OTT terhadap dua perwira dan beberapa sipil lainnya.
Akan tetapi, setelah penetapan Kepala Basarnas dan Koorsmin Basarnas, Rabu (26/7/2023) KPK menganulir keputusannya, dan meminta maaf kepada TNI serta mengaku khilaf. Perilaku pimpinan KPK membuat Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK Brigjen Asep Guntur mundur dari jabatannya. Ia yang kini juga Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, merasa pimpinan cuci tangan.
Tindakan pimpinan KPK yang mengaku khilaf, setelah Mabes TNI menggelar konferensi pers, menyatakan bahwa Kepala Basarnas dan Koorsmin Basarnas tidak dapat ditangkap oleh KPK karena keduanya perwira militer aktif. Kepala Basarnas dan Koorsmin tersebut hanya dapat diperiksa melalui pengadilan militer.
Penolakan penetapan tersangka terhadap keduanya disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro, saat menyampaikan penolakan di Mabes TNI, Cilangkap, Jumat (28/7/2023). Ia menyebutkan anggota TNI hanya dapat diperiksa di pengadilan militer sesuai UU TNI.
Kasus Kepala Basarnas, Imparsial: Kembalikan TNI ke Barak Militer
Dalam kasus tersebut, Imparsial mendesak Presiden Indonesia Ir. Joko Widodo sudah waktunya mengevaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di instansi sipil. Terutama di lembaga-lembaga sipil yang jelas-jelas bertentangan dengan UU TNI. Keberadaan prajurit TNI di lembaga sipil hanya menimbulkan polemik hukum bila mereka melakukan pelanggaran.
Kasus penangkapan Kepala Basarnas yang berujung “perlawanan” dari TNI, merupakan contoh paling terang-benderang bagi pemerintah untuk mengevaluasi keberadaan TNI di instansi sipil.
Selain itu, Pemerintah dan DPR harus secepatnya merevisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, karena sudah seringkali dipergunakan untuk “memberikan impunitas” untuk menghindari prajurit TNI di peradilan umum. Sehingga banyak di antara mereka mendapatkan impunitas, tidak dihukum.
Imparsial menilai revisi UU Peradilan Militer merupakan salah satu agenda yang dijanjikan Jokowi di dalam Nawacita periode pertama yang belum dilakukan sampai saat ini.
Imparsial memberikan dukungan moral kepada KPK untuk tetap melakukan pengusutan secara tuntas dan akuntabel kasus dugaan korupsi di Basarnas RI.
Kasus tersebut harus menjadi pintu masuk untuk mengungkapkan kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan prajurit TNI baik di internal maupun eksternal TNI.
“Jangan sampai UU Peradilan Militer dan UU TNI menjadi penghalang proses hukum pencurian uang negara. KPK tidak boleh mundur, karena korupsi merupakan ranahnya pengadilan tipikor,” sebut aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) itu.