Komparatif.ID, Banda Aceh—13 LSM mengecam pengusiran pengungsi Rohingya yang mencoba mendarat di Bireuen dan Aceh Utara pada kamis (16/11/2023). Pemaksaan yang dilakukan terhadap pengungsi tersebut merupakan tindakan sistematis, serta melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Demikian pernyataan 13 LSM yang fokus pada isu pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.
Dalam pernyataannya yang disampaikan pada Jumat (17/11/2023) 13 LSM menyebutkan apa yang terjadi di Bireuen dan Aceh Utara, tidak sesuai dengan implementasi Peraturan Presiden Nomor 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri.
Menurut Peraturan Presiden tersebut, pengungsi yang ditemukan di daratan harus diamankan oleh kepolisian, sementara jika mereka ditemukan di perairan, terutama dalam kondisi kedaruratan, maka tanggung jawab koordinasi ada pada Basarnas.
Baca: Pengungsi Rohingya Ditolak Mendarat di Bireuen dan Aceh Utara
Pasal-pasal berikutnya mewajibkan kepolisian untuk menyerahkan pengungsi yang ditemukan kepada instansi keimigrasian dan pemerintah daerah yang memiliki kewajiban menentukan tempat penampungannya. Peraturan Presiden ini berlaku nasional, tak terkecuali Aceh.
Perpres tersebut memberi amanat kepemimpinan pada Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk memastikan tahap-tahap tersebut dipenuhi.
Direktur Asia Justice and Rights (AJAR) Galuh Wandita, bersama 12 direktur LSM kemanusiaan lainnya, menyebutkan penolakan mendaratnya ratusan pengungsi yang diduga dari Bangladesh, merupakan bentuk pelanggaran prinsip non-refoulement, yaitu pengungsi tidak boleh dikembalikan atau ditolak di negara tempat dia mencari perlindungan. Pembiaran terhadap penolakan ini akan menjadi catatan buruk dalam penghormatan terhadap prinsip ini.
Menurut Galuh Wandita, kondisi para pengungsi sangat memprihatinkan. Sebagian diserang hipotermia, kapal rusak, dan mereka butuh pertolongan dan perlindungan. Menurut AJAR dan sejumlah LSM lainnya, pola penolakan terhadap pengungsi itu sangat sistematis. Bertentangan dengan janji Indonesia yang sering disampaikan di forum-forum global termasuk G-20, ASEAN, maupun Global Refugee Forum, yang akan diadakan pada Desember 2023. Indonesia barangkali perlu menjawab mengenai kejadian hari ini. Terlebih diperpanjangnya posisi Indonesia sebagai Anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Argumentasi usang mengenai Indonesia yang tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 masih kerap didengungkan. Padahal, Indonesia memiliki beragam instrumen HAM lain, prinsip non-refoulement, ketentuan-ketentuan penyelamatan nyawa pada hukum laut atau UNCLOS, ketentuan-ketentuan pada Bali Process dan konvensi-konvensi HAM yang melindungi perempuan, anak-anak, kelompok disabilitas, dan sebagainya. Belum lagi mengenai pernyataan-pernyataan internasional yang disampaikan.
Sampai saat ini, kondisi Myanmar tak kunjung membaik, meskipun Indonesia sudah berkontribusi dengan lima poin konsensusnya saat menjadi ketua ASEAN. Kondisi Bangladesh, tempat pengungsi ditampung juga setali tiga uang. Mereka sangat kesulitan memberikan dukungan di tengah semakin minimnya pasokan bantuan. Hunian penampungan buruk, sanitasi buruk, serta lainnya juga sangat tidak nyaman.
Pernyataan Sikap 13 LSM
Oleh karena itu, 13 LSM tersebut menyatakan sikap, antara lain; mendukung penerapan pemenuhan prinsip sipil HAM termasuk menghormati prinsip non refoulement.
Mendesak pemerintah Indonesia mengimplementasikan Perpres Nomor 125 tahun 2016; Mendesak Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan untuk meminta Satgas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri segera mengambil tindakan ketika koordinasi tidak berjalan maksimal.
Mengajak masyarakat, yang juga disebut dalam Perpres pada bagian penemuan untuk berkoordinasi dan mendesak pemerintah untuk menjalankan tanggung jawabnya; mengapresiasi dan mengajak warga masyarakat di Bireuen dan di Aceh Utara menunjukkan kepada publik bahwa nilai-nilai adat Aceh masih dipegang dengan wujud memberi bantuan makan dan pakaian.
13 LSM mendesak lahirnya penetapan dan memfasilitasi lokasi penampungan sementara yang ditentukan, khususnya di Bireuen dan Aceh Utara.
Pernyataan sikap tersebut disampaikan oleh 13 LSM yaitu KontraS Aceh, SUAKA, KontraS, RDI Urban Refugee Research Group (RDI-UREF), Yayasan Jesuit Refugee Service Indonesia (JRS Indonesia), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI Nasional), Dompet Dhuafa, Sahabat Insan, Human Rights Working Group (HRWG), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Sandya Institute, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, dan Asia Justice and Rights (AJAR).