Tak Mengenal Kata Menyerah

Bustami tidak kenal menyerah, Minta Investor Migas di Aceh Jangan Setor Pajak ke Pemprov Jakarta Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah. Foto: HO for Komparatif.ID.
NasDem usung Bustami Hamzah sebagai calon Gubernur pada Pilkada Aceh 2024. Foto: HO for Komparatif.ID.

Menyerah? Tidak ada dalam kamus Bustami Hamzah. Ia pernah kalah, tapi ia tak pernah bersedia menyerah.

Indatu orang Aceh tidak pernah mengenal kata menyerah. Dalam kosakata Aceh juga tidak ada kata menyerah. Beu-et jaroe dalam konteks Aceh, biasanya bersifat sementara.

Bustami seperti Eka Tjipta, pendiri Group Sinar Mas. Pengusaha tersebut sejak kecil telah bertarung dengan dunia bisnis. Dari penjual kembang gula, pedagang kue –yang tidak laku– pedagang kelontong, kopra, hingga menjadi salah seorang pengusaha besar Tanah Air.

Berapa kali Eka Tjipta Widjaja kalah, terpelanting, dan terpuruk? Tapi ia tak surut. Eka Tjipta selalu belajar dari apa yang membuatnya terpuruk. Ia bangkit, berjuang, dan tak pernah tahu kapan akan menuai sukses.

Dalam konteks lain, Bustami Hamzah juga demikian. Berapa kali ia terjungkal? Kita tidak tahu secara detail. Pengetahuan umum, bahwa ia pernah “masuk kotak” kala menjabat Sekda Aceh di era Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki.

Tapi apa yang terjadi kemudian? Ia comeback sebagai “pemenang” dan dilantik sebagai Pj Gubernur Aceh.

Muslim Arma, seorang pengusaha asal Aceh yang bermukim di Jakarta, dalam sebuah videonya menyebutkan bahwa di dalam kamus Aceh tidak ada kata menyerah. Aceh mengenal talô –kalah– tapi Aceh tidak pernah mengenal menyerah.

Kita tentu pernah membaca sejarah Aceh. Setidaknya kala penjajah Belanda berhasil menguasai kota-kota besar di Aceh. Mulai Bandar Aceh Darussalam, dan daerah-daerah lain yang sebelumnya menjadi pusat pemerintahan di bawah Kesultanan.

Dalam konteks itu Aceh telah talô, tapi tidak menyerah. Sepanjang pendudukan terhadap Aceh, Belanda tak pernah nyaman. Perlawanan rakyat yang dipimpin ulama dan hulubalang, terus berlangsung.

Bahkan, saking tidak mengenal kata menyerah, orang Aceh rela terjun ke Perang Medan Area, membantu Republik Indonesia yang sedang apôh-apah diamuk NICA. Aceh datang sebagai superhero untuk Indonesia. Padahal saat itu, Aceh bisa mendeklarasikan diri kembali sebagai sebuah entitas negara-bangsa.

Baca jugaDitanya Soal Kepastian Maju, Bustami: Bismillah!

Kembali ke perihal Bustami. Siapa sangka ia yang terlihat tenang, ternyata juga punya mental besar menyongsong Pilkada Aceh 2024. Apa yang membuatnya “bismillah”? Tentu saja soal momentum.

Perihal momentum, orang-orang bisnis selalu melihatnya sebagai opportunity. Orang-orang di bursa saham sangat lihai memanfaatkan momentum. Orang-orang politik sangat cerdik memanfaatkan momentum.

Bustami adalah pembaca tanda. Langgam gerak tarinya selalu diawali dari kemampuan melihat opportunity, dan kesabarannya dalam merintis peluang.

Hidup diakuinya sebagai misteri yang tidak berkesudahan. Tapi di tiap tikungan hidup selalu saja menghasilkan hikmah. Setiap hikmah harus menjadi ruang kontemplasi. Kontemplasi harus melahirkan rencana, dan rencana harus dieksekusi. Tidak boleh mengendap dan kemudian menguap.

Dalam beberapa diskusi dia mengatakan tidak takut terhadap badai. Ia akan menghadapi tiap tantangan. Ia tidak lari dari persoalan.

Nah, dalam konteks ini ia menganut penuh tipikal orang Aceh yaitu tidak mengenal kata menyerah. Dalam tiap kompetisi, talô dan menang merupakan hasil akhir. Tapi berjuang untuk mendapatkan kemenangan merupakan tipikal jiwa orang Aceh yang sesungguhnya.

Well, orang Aceh sedang menanti. Siapa yang akan menjadi calon Gubernur Aceh selain Muzakir Manaf alias Mualem. Tapi penantian kali ini bukan sekadar penantian biasa. Rakyat juga sedang menanti janji-janji baru dari peserta pemilu pemilihan kepala daerah.

Kita telah jauh dari perang yang berakhir pada 15 Agustus 2005. Kita juga telah jauh dari gempabumi dan tsunami 26 Desember 2004.

Setelah hampir dua dasawarsa, Aceh telah berdiri di persimpangan baru. Di depan, dunia sedang menuju era energi baru dan terbarukan. Indonesia juga sedang menuju Indonesia Emas 2045.

Aceh harus bergerak cepat. Narasi penguatan perdamaian sudah harus berganti menjadi narasi penguatan pembangunan ekonomi. Aceh kaya sumber daya mineral. Saat ini sudah menjadi perhatian dunia. Jangan sampai ke depan kembali menjadi penonton di negerinya sendiri.

Artikel SebelumnyaKadis PK Lhokseumawe Lepas Kontingen O2SN & GSI
Artikel SelanjutnyaPA Resmikan Posko Pemenangan Mualem & Sarjani di Padang Tiji

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here