Komparatif.ID, Banda Aceh—Upaya merevisi Qanun Jinayat mendapatkan batu sandungan. Kerja keras elemen sipil Aceh memperjuangkan revisi Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat belum membuahkan hasil.
Direktur LBH Banda Aceh Aulianda Wafisa, dalam sebuah podcast yang disitat Komparatif.ID, Kamis (22/8/2024) mengatakan keberadaan Qanun Jinayat yang seperti saat ini merugikan korban pemerkosaan dan sodomi.
Di akar rumput, khususnya keluarga korban pemerkosaan dan sodomi, seringkali harus mendapatkan kekecewaan kala pengadilan memutuskan hukuman yang sangat ringan, dan sangat tidak adil terhadap korban dan keluarga korban.
Elemen sipil Aceh seperti LBH Banda Aceh yang seringkali diminta bantu mendampingi korban kekerasan seksual, berinisiatif melakukan advokasi revisi Qanun Jinayat. Usaha tersebut dilakukan sejak 2019.
Baca: Pemilik Dayah di Langsa Diduga Setubuhi 2 Santrinya
Gerakan revisi Qanun Jinayat dilakukan setelah peristiwa sodomi yang dilakukan oleh seorang pemilik pondok pesantren di Kota Lhokseumawe, bersama seorang ustad. Keduanya melakukan hubungan badan melalui dubur secara paksa terhadap 15 santri yang mondok di pesantren itu.
Saat itu, dengan Qanun Jinayat yang berlaku, korban dipastikan tidak akan mendapatkan keadilan. Para pelaku hanya akan dihukum cambuk. LBH Banda Aceh saat itu bersuara bahwa untuk kasus pemerkosaan dan sodomi, seharusnya pelaku bukan hanya dicambuk, tapi juga dipenjara.
Menurut LBH Banda Aceh, pemerkosaan dan sodomi harus dibedakan dari jarimah lainnya seperti maisir, zina, dan khamar.
“Terlalu tidak adil terhadap korban bila pelakunya hanya dicambuk,” kata Aulianda Wafisa.
Berawal dari kasus tersebut, elemen sipil Aceh bergerak. Mereka melakukan sejumlah advokasi. Tahun 2021 draft revisi Qanun Jinayat masuk dalam program legislasi DPR Aceh.
Proses pembahasan termasuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) berjalan alot, memakan waktu hampir satu tahun. Akhirnya, pada November 2022 Qanun Jinayat hasil revisi disahkan oleh DPR Aceh.
Akan tetapi, jalan terjal kembali membentang. Sejumlah orang berupaya keras membendung Qanun Jinayat hasil revisi supaya tidak dapat diundangkan, sehingga tidak bisa dimasukkan ke dalam lembaran daerah.
Dari awal upaya membendung revisi sudah terjadi. Gelombang pertama dilakukan oleh orang-orang dan kelompok organisasi yang mencurigai revisi tersebut sebagai upaya melemahkan penerapan syariat Islam di Aceh.
“Saat upaya kami coba diadang, kami bangun diskusi dengan mereka. Menjelaskan urgensi demi mencapai keadilan bagi korban pemerkosaan dan sodomi. Revisi justru untuk memperkuat penerapan syariat Islam,” terang pria penggemar musik metal tersebut.
Gelombang kedua dilakukan oleh kelompok dan perseorangan yang sejatinya mengetahui bahwa Qanun Jinayah memiliki sejumlah kelemahan. Grup ini berada di luar jejaring LBH Banda Aceh dan tim elemen sipilnya.
Sebagai upaya perjuangan bersama, mereka ikut diajak. Akan tetapi mereka tidak pernah bersedia menghadiri proses advokasi revisi.
Ketidakhadiran mereka tentu saja membuat narasi menjadi lebih sempit. LBH Banda Aceh menyadari itu. Dengan berbagai dinamikanya, itulah yang dapat dihasilkan.
“Apakah materi revisi sempurna? Tentu tidak, orang orang ini berpikir fatalis, kalau tidak semua usulan kita masuk, kita harus tolak semua. Nah di situlah mulai kelihatan perbedaan. Bagi kami apa pun yang bisa kita capai untuk saat ini itu harus kita terima dulu sebagai sebuah kemenangan kecil. Ini juga menjadi kemenangan orang Aceh,”
Alasan para penghambat, Qanun Jinayat tidak perlu direvisi. Mereka beralasan justru yang harus diterapkan yaitu UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Mereka mengabaikan fakta, dengan kekhususan Aceh, UU TPKS sampai sekarang tidak dapat dipakai di Aceh.
“Mereka mengabaikan fakta bahwa saat ini untuk mencapai keadilan bagi korban kekerasan seksual di Aceh hanya dapat diwujudkan melalui Qanun Hukum Jinayat. kelompok yang menolak revisi Qanun Hukum Jinayat justru tidak melakukan apa pun untuk memberikan perlindungan dan keadilan lebih ideal kepada para korban,” katanya.
Pada saat bersamaan, korban terus berjatuhan. Siapa yang akan bertanggung jawab? Sampai saat ini penerapan hukum cambuk bagi pelaku pemerkosaan itu masih terjadi.
Selain itu juga ada masalah di tingkat kementerian yang masih melihat Aceh dari Jakarta. Kementerian Dalam Negeri dalam konteks revisi qanun tersebut meminta masukan dari lembaga yang lain, seperti;Komnas Perempuan, Komnas HAM, dan KPAI.
Mereka justru melihat Aceh dari sudut pandang keliru. Dilihat dari label ekstrimis kanan, intoleran, ketinggalan dan terbelakang. Cara pandang tersebut sangat keliru. Mereka tidak berusaha melihat persoalan dari sudut pandang orang Aceh.
“Masukan-masukan yang diterima Kemendagri justru ada yang melihat hukuman cambuk sebagai pelanggaran HAM. Kritik tersebut bukan barang baru. Sudah terjadi sejak awal penyusunan qanun tersebut, jauh sebelum upaya revisi dilakukan,” katanya.
Aulianda menegaskan, semakin lama hasil revisi dapat dilaksanakan, semakin menderita korban pemerkosaan dan sodomi. Cambuk yang ditambah dengan penjara terhadap pelaku, memberikan waktu yang cukup bagi korban dan keluarganya melakukan upaya pemulihan trauma.
Bila yang digugat soal kesempurnaan, jangankan qanun tersebut, UU TPKS juga tidak sempurna. Tapi mengapa semua pihak berselebrasi? Di sinilah letak standar ganda.