Mengurai Jejak Rempah di Barsela

Seminar kebudayaan Sejarah Jalur Rempah Aceh Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 di Auditorium Ali Hasymi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Senin (7/11/2023). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.
Seminar kebudayaan Sejarah Jalur Rempah Aceh Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 di Auditorium Ali Hasymi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Senin (7/11/2023). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Bandar Susoh, yang terletak di pesisir Barat Selatan Aceh (Barsela), memiliki sejarah yang kaya sebagai jejak perdagangan rempah. Keberadaan kota ini sudah dikenal sejak abad ke-17 (1601-1700) dan menjadi tempat singgah penting bagi bangsa-bangsa Eropa.

Dalam seminar kebudayaan Sejarah Jalur Rempah Aceh yang diselenggarakan dalam rangkaian Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8, sejarawan Arif Faisal Djamin mengungkapkan Bandar Susoh pernah menjadi tempat singgah bagi negara-negara seperti Arab, India, Eritrea, serta bangsa pedagang dan penjajah lainnya pada masa lalu.

Sebutan untuk Bandar Susoh berbeda-beda dalam berbagai tulisan sejarah, seperti Susu atau Susum dalam tulisan Portugis, Soesoe, Soeesoh, Sosoeh dalam tulisan Belanda, dan Soosoo dalam tulisan Inggris.

Secara garis besar, Barsela memiliki lima bandar besar pada masa silam, yaitu Bandar Meulaboh, Bandar Susoh, Bandar Meukek, Bandar Trumon, dan Bandar Singkil.

Bandar Susoh memiliki perdagangan yang kuat dengan bangsa luar, terutama dengan Kerajaan Susoh. Arif menjelaskan pada 1787, Syahbandar Susoh Leubee Dapa menjalin perjanjian dengan Inggris untuk menyediakan lada dan berdagang bersama. Perjanjian ini sangat penting karena Amerika saat itu telah menjajaki pantai barat Aceh.

Pada 1803, Bandar Susoh menghasilkan sekitar 5.000 ton lada, sebagian besar dikirim ke New England, sebutan wilayah koloni Inggris di pantai timur Amerika Serikat yang terdiri dari Connecticut, Maine, Massachusetts, New Hampshire, Rhode Island, dan Vermont.

Selain perjanjian dengan Inggris, Leube Dapa juga bekerja sama dengan Amerika secara diam-diam untuk meningkatkan keuntungan perdagangan lada.

“Hal ini diantisipasi oleh Inggris karena Amerika sudah menjajaki pantai barat Aceh. Pada tahun 1803 Bandar Susoh menghasilkan sekitar 5.000 ton lada, dan sebagian besar lada tersebut dikirim ke New England,” ujar Arif.

Baca juga: Ini Dia Juara Lomba Pawai Budaya Jalan Kaki dan Perahu Hias PKA 8

Namun, perbuatan ilegal ini diketahui oleh Inggris, dan Sultan Jauhar Alam Syah diberitahu. Leube Dapa disebut melakukan perdagangan ilegal dengan Amerika dan menggelapkan pendapatan Kesultanan Aceh di Bandar Susoh.

Sebagai imbalannya, Inggris memberikan bantuan kepada Kesultanan Aceh dan meminta diadakannya perjanjian perdagangan yang adil.

Selain perdagangan dengan bangsa Eropa, Bandar Susoh juga disinggahi oleh pedagang dari pesisir Coromandel yang sering disebut “Orang Kleng” oleh orang Melayu. Pedagang Kleng menjual berbagai jenis kain dan mengisi kapal mereka dengan lada sebanyak 150 hingga 200 ton setiap tahun.

Mereka datang dari Porto Novo (Afrika Barat) dan Coringa (India) sekitar bulan Agustus dan kembali berlayar di bulan Februari dan Maret. Para pedagang Kleng telah mendapatkan izin berdagang dari Sultan Aceh, baik di pantai barat maupun pantai timur Aceh. Seminar

Sejarah Jalur Rempah Aceh juga menyoroti berbagai aspek jejak sejarah perdagangan rempah, termasuk topik-topik seperti jejak sejarah perdagangan rempah dunia, jejak Jalur Rempah Nusantara, rempah Aceh dalam tinjauan sosial budaya, politik, dan sejarah perdagangan rempah di Aceh, serta jejak arkeologis dan literasi rempah Aceh.

Artikel SebelumnyaOknum Paspampres Praka RM Sudah Sering Culik Pedagang Obat Ilegal
Artikel SelanjutnyaIni Juara Lomba Musik Kreasi & Kayoeh Jaloe PKA 8

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here