Politik energi menjadi hangat diperbincangan, pascainvasi Rusia ke Ukrainai pada 24 Februari 2022. Isu krisis pangan dan energi menjadi topik serius bagi negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik politik dan ekonomi dengan kedua negara tersebut. Ukraina merupakan salah satu negara eksportir gandum terbesar di dunia, sementara Rusia menjadi pemain kunci dalam pasokan energi melalui minyak bumi dan gas ke Eropa.
Konflik antara Rusia dan Ukraina telah melahirkan dampak krisis energi beberapa negara maju yang berafiliasi dengan Ukraina; Jerman, Austria, Hungaria, Swedia, Denmark, dan Netherland. Mereka “dihukum” oleh Rusia karena getol mendukung pemberian sanksi terhadap negara Beruang Merah itu.
Baca juga: Rusia Gunakan Cryptocurrency Lawan Embargo Barat
Terhentinya pasokan energi ke Eropa semakin membuat laju kenaikan harga minyak bumi, gas, dan batubara di berbagai belahan dunia, termasuk dampaknya bagi Indonesia. Bahkan batubara mencatatkan rekor harga tertinggi dalam sejarah, yaitu menyentuh angka USD 463 per ton pada September 2022, dan kesempatan ini dimanfaatkan oleh perusahaan produksi batubara. Pada 4 Maret 2022, harga minyak dunia berjangka West Texas Intermediate diperdagangkan setinggi USD 116,57 per barel. Harga ini terakhir terlihat pada 22 September 2008. Sementara gas alam berkisar di angka USD 8-9/mmbtu pada September 2022.
Politik Energi dan Resesi
Kelangkaan pasokan energi adalah akar dari terjadinya resesi. Hal ini berkaitan erat dengan industri yang membutuhkan energi agar mampu beroperasi untuk menghasilkan barang.
Kurangnya industri yang aktif menjadi faktor produktivitas menurun, di mana pemberhentian tenaga kerja, serta terhambatnya pasokan barang/jasa antar industri. Perdagangan menjadi produk akhir akibat krisis energi dengan produktivitas industri yang menurun, sehingga menyebabkan harga barang naik, serta nilai mata uang di beberapa negara turun.
Baca juga: Sumur Timpan-1 dan Potensi Super Hub Migas di KEK Arun
Lantas bagaimana dengan krisis pangan? Hal ini disebabkan karena bahan baku pembuatan pupuk membutuhkan suplai minyak dan gas bumi untuk industri petrokimia. Mahalnya harga minyak dan gas bumi, berakibat harga produksi naik, dan berimbas pada harga jual produk pupuk yang sangat dibutuhkan oleh para petani.
Kenaikan harga pupuk, membuat daya beli petani menurun, terutama bagi petani miskin. Pada akhirnya, lahan-lahan tidak dapat ditingkatkan produktivitas dan menyebab kelangkaan produksi pangan, sehingga menimbulkan krisis yang parah bagi suatu negara yang tidak memiliki sumberdaya alam terutama energi.
Oleh karena itu, negara-negara di dunia berusaha untuk menjaga ketahanan energi dan pangan, agar tetap mampu berdiri kokoh dan membangun peradaban.
Krisis energi benar-benar menjadi malapetaka bagi banyak negara, termasuk Republik Indonesia, khususnya Provinsi Aceh. Kenaikan harga BBM oleh Pemerintah, kemudian diiringi naiknya harga kebutuhan pokok membuat masyarakat mengeluh, dan kesulitan. Situasi yang dapat membuat banyak pihak panik dan suram, karena baru saja mengalami masa sulit saat wabah COVID-19 selama lebih dari 2 tahun.
Sebagai contoh, massa pekerja yang tergabung dalam Aliansi Buruh Aceh (ABA) menuntut kenaikan upah minimum provinsi (UMP) Aceh tahun 2023 sebesar 20 hingga 25 persen di tengah demo harga BBM (8/9/2022).
Mereka menuntut kenaikan UMP itu merespons naiknya harga. BBM. Sebelumnya tahun 2022 UMP Aceh yang ditetapkan Rp3,16 juta hanya naik Rp1.400. Kenaikan itu dinilai tidak sesuai ekspektasi para buruh yang sudah melakukan survey kebutuhan hidup layak (KHL).
Politik Energi Aceh
Lantas sudah sejauh mana kebijakan politik energi Aceh saat ini demi menyikapi berbagai persoalan yang telah penulis urai di atas?
Akhir-akhir ini di media sosial viral unggahan video yang menampilkan argumen H. Rafly Kande–anggota DPR RI yang sedang mengikuti rapat di Gedung Kura-Kura. H. Rafly mengungkapkan bahwa semua pihak harus menghormati Undang-Undang Pemerintah Aceh No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh dan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi Aceh.
Menurutnya bahwa 12 Mil dari bibir pantai itu merupakan wewenang Aceh melalui BPMA, bukan SKK Migas. Perusahaan negara seperit Pertamina memiliki blok di Rantau Peureulak,ladang minyak yang ditambang secara ilegal oleh masyarakat.
Aktivitas pengeboran tersebut dilindungi oleh oknum-oknum, menimbulkan korban jiwa para penambang, serta lebih parahnya adalah minyak tersebut ditampung oleh Koperasi Pertamina yang berada di Sumatera Utara.
Sebuah pernyataan yang membuat para pihak tersentak, dan berfikir ulang tentang menjunjung tinggi UUPA yang dihasilkan dari perang yang memakan korban rakyat Aceh selama puluhan tahun.
Kewenangan pengelolaan sumberdaya alam Aceh harus menerapkan prinsip keadilan dan kesejahteraan sebagai wujud cita-cita perdamaian. Segenap kekayaan sumberdaya alam Aceh harus dikelola secara transparan, akuntabel, dan terbuka, sehingga sejengkal kandungan isi perut bumi rakyat Aceh harus diketahui.
Karena sektor ini menyangkut kedaulatan Aceh yang sangat vital dan menjadi alat tawar diplomasi Aceh baik di level nasional maupun dunia internasional, ia ibarat underlaying asset untuk bisa diperdagangkan
Itu baru satu kasus yang diungkapkan oleh seorang Rafly, mungkin masih ada kasus-kasus lain yang selama ini tak terungkap ke publik terkait transparansi pengelolaan sektor pertambangan dan energi. Apakah rakyat Aceh paham soal neraca sumberdaya dan cadangan, biaya operasional, ketenagakerjaan, serta program kebijakan yang adil terkait tambang dan energi sesuai kekhususan Aceh? Bagaimana proses negosiasi dan transparansi transaksi kepemilikan pengusahaan dan bursa saham? Bukankah itu sebuah keadilan yang diperjuangkan dari sebuah perang dan konsesus perdamaian? Segelintir pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan hati nurani yang menjerit melihat sebuah krisis energi dan pangan yang sedang berlangsung di dunia global.
Terlepas menimbulkan polemik atau tidak, Rafly mencoba mengajak semua pihak untuk memperkuat kebijakan Politik Energi Aceh baik di level daerah, nasional, maupun internasional. Situasi yang tidak bisa dianggap main-main oleh siapapun, karena sumberdaya alam merupakan titipan Tuhan yang harus dikelola bijaksana dan mendatangkan manfaat sebesarnya-besarnya bagi manusia. Jika tidak, maka konflik dan kekacauan yang akan terjadi. Jargon kesejahteraan dan cinta negara hanya sebuah utopis. Karena pada faktanya, perdamaian justru dimanfaatkan sebagai jalan untuk mengelola sumberdaya alam yang tidak berkeadilan.
Bencana COVID-19 dan Perang Ukraina-Russia menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara manapun, termasuk Provinsi Aceh yang kaya akan energi. Tidak boleh menganggap krisis global dengan sepele, karena secara langsung maupun tidak langsung, dampaknya akan dirasakan oleh siapapun.
Traumatik konflik Aceh, bencana tsunami, virus Covid-19, serta krisis energi dan pangan, mesti melahirkan sikap paranoid alias takut gagal bagi Pemimpin Aceh dalam menjalankan kebijakan politiknya. Sebuah senses of crisis harus tercipta, agar senantisasi memiliki kesadaran dan kepekaan bahwa kehancuran bukan sesuatu yang dikehendaki. Karena pada hakikatnya, krisis membentuk dua arah masa depan, yaitu kebangkitan atau kejatuhan.
Pemimpin politik di Aceh wajib untuk melaksanakan due diligence baik dari sisi teknis maupun regulasi untuk memperkuat posisi tawar politik Aceh di bidang pengelolaan energi, dengan tujuan utama berpihak pada kepentingan rakyat Aceh dalam bingkai keutuhan Republik Indonesia. Dengan adanya kekuatan politik ini, maka menjadi peluang untuk hadirnya investasi yang transparan, berkeadilan, serta diharapkan mampu mewujudkan cita-cita kesejahteraan rakyat Aceh.
Segenap unsur politik di Aceh harus melakukan negosiasi hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan politik energi Aceh, baik yang berada di wilayah 12 Mil maupun sampai Zona Ekonomi Ekslusif. Karena ini menyangkut kedaulatan energi agar Aceh tidak mengalami krisis energi baik saat ini maupun di masa depan di tengah geopolitik dan geoekonomi global.