
Komparatif.ID, Manokwari—Nun di tengah lebatnya rimba hujan tropis Papua Barat, Mama Siti dan sejumlah perempuan lainnya, merawat pala dengan penuh cinta. Kini, pala yang dihasilkan petani di Pangdawar, telah dilirik industri parfum dunia.
Perempuan berhijab itu sering disapa Mama Siti. Usianya telah mencapai 52 tahun. Ia merupakan perempuan yang sejak kecil hidup harmoni dengan belantara di Kampung Pangdawar, Kecamatan Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat.
Hubungan masyarakat di sana dengan pala telah turun temurun bergenerasi. Bahkan saking dekatnya, nama dusun tempat Mama Siti menetap diberi nama Dusun Pala.
Orang Fakfak telah sejak lama akrab dengan pala. Menurut catatan sejarah, pala sudah dikenal di Fakfak sejak abad ke-15. Hal itulah yang membuat Fakfak di masa lalu menjadi salah satu sentra rempah-rempah di Timur. Pedagang Maluku berbondong-bondong datang kesana, berdagang pala yang dihasilkan dari tanah Fakfak.
Bagi orang Fakfak, pala bukanlah tanaman yang murni industri. Pala merupakan tumbuhan budaya sekaligus ekonomi. Sehingga rimba dan pala bersanding harmoni dalam hijaunya negeri.
Baca: Keharuman Minyak Nilam Aceh Kini Kian Semerbak
Menurut catatan Jurnal Terapan Pemerintahan Minangkabau Vol. 2, No. 2, Edisi Juli–Desember 2022, Ichlazul Amal Suaery1 dan Bayu Akbar dalam tulisan ilmiahnya berjudul Pemberdayaan Petani Pala dalam Meningkatkan Produktivitas Hasil Tanaman Pala di Distrik Pariwari Kabupaten Fakfak, menulis luas areal yang ditumbuhi tanaman pala adalah sebesar 17.792 hektar dengan hasil produksi yang mencapai 1.462.
Dalam jurnal tersebut kedua peneliti tersebut menyebutkan, meskipun jumlah pala sangat banyak di Fakfak yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tumbuhan rempah tersebut tidak dapat disebut sebagai tanaman perkebunan. Karena pada kenyataannya tanaman pala yang tumbuh di hutan Kabupaten Fakfak ini tumbuh dan menyebar di hutan secara alami dan sudah menjadi warisan turun-temurun dari nenek moyang terdahulu.
Demikianlah Mama Siti. Ia mewarisi tradisi hutan pala peninggalan leluhurnya. Pala yang menjadi komoditas andalan masyarakat, tumbuh besar di tengah lebatnya rimba. Mama Siti tetap memegang teguh tradisi, bahwa pala harus tumbuh lestari di dalam hutan. Hutan harus memberikan kesejahteraan.

Mama Siti, Rabu (23/4/2025) mengatakan dalam merawat dan memanen, laki-laki dan perempuan berbagi tugas. Tugas laki-laki hanya memanjat dan memetik buah yang sudah matang. Pengolahan dilakukan oleh 118 perempuan. Mulai dari memisahkan daging dengan biji, melepas fuli dari biji, lalu menjemurnya di bawah terik matahari.
Di kelompok perempuan, Mama Siti bukan sekadar petani, tapi juga dewan pengawas anggota koperasi. Sebagai pemimpin, ia harus menjadi teladan, tempat anggotanya belajar kepemimpinan dan konsistensi dalam menjaga kualitas produk.
Mama Siti menerangkan bagi masyarakat Fakfak dan Papua Barat secara umum, pohon pala bukan sekadar tumbuhan yang memberikan dampak positif ekonomi. Pohon tersebut tidak dipandang sebatas sebagai sarana ekonomi. Tapi juga dilihat sebagai lambang kehidupan.
Di masyarakat Papua Barat, pala dianggap sebagai jelmaan perempuan. Kedudukannya sangat istimewa. Karena kedudukannya yang istimewa, tabu bila ada yang menebang pohon tersebut.
“Menebang pohon pala sangat dilarang. Sangat tabu. Pala memainkan peranan penting dalam menopang ekonomi masyarakat. Kami memiliki rasa hormat sangat dalam terhadap pohon pala. Rasa hormat tersebut bukan omong kosong, tapi berupa tindakan.
Tidak boleh sembarangan memanen pala di tengah rimba. Dua bulan sebelum musim panen tiba, masyarakat adat duduk bersama. Dalam bahasa lokal disebut wewowo. Digelar sejumlah ritual, antara lain mengenakan baju kebaya pada batang pala. Kebaya tersebut dilepas dari batang simbolis pada hari panen dimulai. Pala muda sangat dilarang untuk dipetik.
Setelah panen selesai, masyarakat meninggalkan pala di tengah rimba. Mereka akan kembali lagi kala musim panen mendatang tiba.
Tantangan yang dihadapi Mama Siti dan petani lainnya bukan pada perawatan. Tapi persoalan harga di pasar. Harga pala seringkali fluktuatif. Dengan panen yang hanya dua kali setahun, banyak masyarakat yang harus berhadapan dengan fakta, pala tidak mampu lagi menjadi penyandang utama kestabilan ekonomi.
“Bila harga pala sedang turun, begitu musim panen selesai, kami harus beralih pekerjaan, supaya ekonomi keluarga tetap dapat berjalan,” kata perempuan tersebut.
Beralih dari pala bukanlah pilihan.Bagi Mama Siti, pala tomadin yang menjadi rempah populer, bukan sekadar pohon. Tapi telah menjadi warisan kebudayaan dari moyangnya. “Tomadin telah memberikan dukungan kehidupan untuk manusia Fakfak bergenerasi. Pohon ini bagi kami merupakan keajaiban,” katanya.
Mama Siti Didukung Kaleka
Sebuah organisasi nirlaba bernama Kaleka, turut membantu petani pala di Fakfak. Di lingkungan Mama Siti, mereka mendorong dibentuknya Wewowo Lestari. Tujuannya untuk meningkatkan nilai tambah pala Papua Barat, sekaligus menyandingkannya dengan kelestarian hutan.
Petani seperti Mama Siti dibekali pengetahuan teknik pengolahan yang lebih baik. Organisasi tersebut juga membantu menemukan pasar pala di luar Papua. Bekerja sama dengan laboratorium Association Francaise des Dieteticiens Nutritionnistes (AFDN) asal Prancis, Kaleka melakukan riset lanjutan terhadap hasil olah pala dalam mengembangkan prototipe produk parfum yang akan diajukan kepada perusahaan-perusahaan ternama di dunia parfum, seperti Hermes dan Chanel.
Asisten Badan Eksekutif Kaleka, Venticia Hukom mengungkapkan, hasil dari pendampingan, petani telah mulai bekerja sesuai standar kerja yang terukur. Mulai dari proses panen yang dilakukan dengan baik, pengumpulan hingga pengeringan pala menggunakan solar dryer, yang pada akhirnya berhasil meningkatkan 13-40% pendapatan penjualan pala.
Pala Papua dikenal dengan rendahnya oil extraction rate yang hanya 1 persen. Tapi berkat penanganan yang memiliki standar, kini meningkat menjadi 3,5 persen. Dengan demikian bisa dikembangkan menjadi produk turunan seperti parfum dan kosmetik.
Keberhasilan dari penemuan penelitian lanjut tersebut membuktikan bahwa dengan pengelolaan yang tepat, pala Papua memiliki potensi yang sangat besar untuk bersaing di pasar internasional.
Inisiatif Wewowo Lestari juga berdampak pada peningkatan pendapatan petani, serta memberikan kontribusi positif bagi lingkungan. Melalui Koperasi Mery Tora Qpohi, badan usaha yang didirikan dari dan untuk petani pala, petani mendapatkan tambahan pendapatan sebesar 11-40% sesuai dengan jenis dan kualitas pala dijualbelikan. Jumlah ini lebih tinggi dibanding pendapatan yang didapatkan petani jika menjual pala ke pengepul atau tengkulak lokal.
Menurut data yang disampaikan Kaleka, Fakfak merupakan rumah bagi 908.850 hektar hutan di mana sekitar 26.927 masyarakat adat bergantung pada 56 pohon pala per hektar hutan untuk mata pencaharian mereka. Kaleka telah bekerja untuk keberlanjutan pala selama sekitar delapan tahun. Pala bukan sekadar komoditas; bagi masyarakat adat, pala adalah kehidupan.
Kini, Mama Siti dan masyarakat lainnya telah berdaya, memiliki kemampuan mengolah pala dengan cara yang lebih baik. Mereka telah mampu memanfaatkan seluruh bagian buah pala, mulai daging dan biji. Hasilnya, terciptalah produk turunan berupa sirup, manisan, yang dijual di supermarket, dan kafe di kabupaten itu.
Mereka juga memproduksi minyak atsiri dan produk kosmetik.
“Saat ini, kami sudah menjual kurang lebih 500 botol sari buah yang berbahan dasar daging buah pala yang selama ini hanya ditinggalkan di bawah pohon pala sampai membusuk,” tutur Mama Siti.