Aku diselimuti kebahagiaan menyambut kelahiran anak kedua setelah mengalami keguguran sebelumnya. Bersama suami, kami berjuang menjaga kesehatan janin selama kehamilan. Namun, di masa Postpartum aku divonis mengidap penyakit peripartum cardiomyopathy (PPCM) atau gagal jantung.
******
Tidak ada hal terindah yang dapat dideskripsikan kala itu selain rasa bahagia menyambut lahirnya buah hati yang telah dinanti. Sejak awal meyakini bahwa aku kembali hamil untuk kedua kalinya, setelah dua bulan pasca keguguran, aku begitu sangat trauma dengan perdarahan.
Hari-hari yang kujalani selama kehamilan benar-benar momen yang begitu berarti, begitupun suami, selalu memberi yang terbaik dan berusaha untuk menjaga ketat tentang jenis makanan apa saja yang mendukung tumbuh kembang janin di kandunganku, “tidak ada micin, tidak boleh terlalu banyak manis-manis dan selalu makan sayur-sayuran, titahnya” dan pastinya asam folat dan vitamin harus selalu ditelan.
Saking bahagianya kami tidak pernah melewatkan datang untuk USG setiap bulan bersama Dr. Cut Syeira Elnita, Sp. OG di klinik Cempala House, kadang-kadang bisa sebulan dua kali kalau merasa badan sedang aneh sedikit “dari pada kamu parno tidak jelas, dan ujung-ujungnya suka googling dan stres sendiri mending kita cek saja” kata suamiku.
Namun sebenarnya memeriksa ke kandungan memang jadi secandu itu, karena selalu disambut dengan ramah oleh dokter Syeira.
Finally, we dit, kami berhasil untuk menjaga kandungan selama 9 bulan, semuanya tampak sehat dan normal setelah melewati tindakan SC dengan metode eracs, bayi laki-lakiku dengan bobot 3,4 kg lahir dengan selamat tanpa kekurangan sedikitpun.
Begitupun aku, sehari operasi langsung bisa jalan sendiri ke kamar mandi, seminggu kemudian nyeri operasi berkurang banyak, dan aku pun mulai merasa normal kembali menjalankan aktivitas-aktivitas ringan dirumah. Hatiku bergumam, “Eracs benar-benar canggih, bekas jahitan ini benar-benar rapi dan kering”.
Baca juga: Rawan Sakit, Ini Kiat Jaga Kesehatan Saat Musim Hujan
Menjalani hari baru menjadi seorang Ibu
Tentu ini hal yang begitu baru untukku pun suamiku. Setelah Ibu mertua kembali pulang ke kampung setelah dua minggu bersama kami di Banda Aceh dan berkontribusi banyak membantu kami selama masa nifas di awal-awal dan merawat bayi newborn.
Di bulan pertama aku dan suami menyesuaikan diri dengan pola tidur, dan begadang. Terlebih untuk aku sendiri yang masih sulit untuk DBF (Direct Breastfeeding) atau menyusui langsung, aku masih mengandalkan pompa ASI untuk kebutuhan menyusu bayi. Apalagi dengan siklus tidur bayi dua jam sekali, bagiku cukup menguras energi, dan mental.
Pasalnya aku harus selalu standby ASI yang sudah diperah, jika tidak bayiku pasti akan menangis keras saat sedang haus, dan tangisannya yang benar-benar melengking membuat kami terkadang kewalahan dan panik.
Hari demi hari berlalu, pola tidur bayiku sedikit berubah, tidurnya jadi lebih tenang begitupun tangisnya, karena ia semakin besar. Namun sayangnya rasa letih di tubuhku bukan malah berkurang, setiap saat aku merasa seperti hoyong, aku juga mulai merasakan batuk batuk ringan, terasa begitu mengganjal, aku berpikir apa ini efek begadang karena harus memompa asi setiap dua jam sekali.
Aku pun berinisiatif kepada suamiku untuk menjaga bayi secara bergantian, untungnya suamiku bekerja secara WFH di kantornya, jadi kami bisa membagi jam istirahat saat pagi-ke sore hari aku merawat bayi, malamnya aku istirahat full dan suami yang jaga bayi.
ASI perah selalu aku stok di kulkas, dan ready untuk dihangatkan saat bayi ingin minum.
Setelah kurang lebih 2 bulan, aku merasa tidak ada perbaikan pada kondisi tubuhku, malah aku merasa semakin hari tubuhku makin melemah, batuk-batuk di tenggorokan tak kunjung hilang walaupun sudah banyak jenis obat batuk yang kuminum yang aman dikonsumsi selama mengasihi.
Hingga pada suatu hari, aku tidak boleh mentolerir lagi batuk ini, aku mulai kesulitan saat berbicara panjang, merasa seperti ada yang menggelitik keras di jalur nafas, pernah suatu hari aku merasa nafasku benar-benar pendek dan sesak. Bahkan saat batuk, aku merasa menelan dahak yang berdarah.
Aku terus berpikir, “Ya Allah ada apa denganku? Apakah keluhan seperti ini yang dirasakan setelah melahirkan?”
Aku lagi-lagi merasa aneh, ketika sedang berjalan ke toilet aku merasa ngos-ngosan seperti habis lari maraton, jantungku juga berdebar debar, saat shalat pun aku tidak dapat menekuk lagi pergelangan kaki karena aku baru menyadari kakiku bengkak seperti saat aku hamil dulu.
Saat aku bercermin lama, aku juga baru menyadari bahwa sepertinya aku mengalami kenaikan berat badan yang tidak biasa. Hal itu ditandai dengan perutku yang kian membuncit seperti sedang hamil 6 bulan, “Ya Allah kenapa lagi ini, gumamku. Apa aku tidak kontrol makan selama mengasihi sehingga aku semakin gemuk, dan membuatku sesak nafas karena keadaan ini?”
Baca juga: Nyeri Haid Akan Semakin Sakit Bila Konsumsi Kopi
Suatu hari pernah suamiku terbangun dimalam hari dan menemukan keadaanku yang tidak sadarkan diri (pingsan) di dapur sambil menggenggam pompa asi di tangan. Begitu paniknya hingga ia pun menangis sambil menepuk-nepuk pipiku sampai aku terbangun kembali.
“Ya Allah, sayang kamu kenapa? Sambil menangis dan memelukku.” Karena situasi tidak memungkinkan untuk ke rumah sakit kala itu, suamiku memutuskan untuk memeriksakan kondisiku keesokan harinya ke Rumah Sakit.
Diperjalanan kami berdebat tentang keadaanku, aku merasa mungkin ada sesuatu yang mengganjal dan membuat paru-paruku bermasalah. Di awal pernikahan aku dan suami memang mengadopsi seekor kucing jantan ras Persia-Norwegia, saat ini usianya sudah 2 tahun, bulunya begitu lebat, sampai membuat tubuhnya kelihatan sangat besar. Sejenak aku menerka, “apa ini karena bulu kucing ya bang?”
Suami pun sejenak berpikir tanpa menyimpulkan, “Hm… Sebaiknya kita periksakan dulu apa kata dokter nanti, apa memang karena bulu kucing.”
Aku mengendus dada, “Kan sudah ifa bilang abang tidak percaya, kita selalu tinggal dengan kucing, itu sebabnya, Ifa jadi batuk-batuk begini kan barangkali bulunya tuh nyangkut di paru-paru jadi infeksi.”
Kamipun saling menyalahkan, namun akhirnya suamiku memilih untuk tetap tenang menunggu hasil pemeriksaan saja.
Kami awalnya memeriksa kondisiku di dokter spesialis penyakit dalam di klinik Cempaka Lima, Banda Aceh. Saat diperiksa, memang kondisi nafasku begitu berat disertai dengan detak jantungku yang sangat cepat yakni diatas 110 bpm per menit. Kala itu dokter sebenarnya sudah menyuruhku untuk langsung dirujuk ke IGD, namun karena faktor bayi tidak ada yang menjaga saat penanganan saat itu dokter memberi resep obat.
Obat-obatan yang diresepkan sejenis obat untuk paru-paru dan gejala batuk, beliau mengatakan jika sudah mendingan tidak apa apa jika rawat jalan saja dengan mengkonsumsi obat, nggak perlu ke rumah sakit, pantau sampai sembuh, ujarnya.
Benar saja dalam seminggu mengkonsumsi obat-obatan tersebut, batukku mulai berkurang. Namun setelah berhenti minum obat, seminggu kemudian batukku kambuh lagi bahkan semakin parah, sampai kesulitan bernafas, dan aku merasa tidak seimbang lagi saat berjalan, ditambah bobot badanku yang semakin membengkak, baik di perut maupun di kaki.
Mungkin sekarang aku harus periksa benar-benar keadaanku di dokter spesialis paru-paru saja, karena kejanggalannya memang di pernapasan yang berhubungan dengan paru-paru.
Keesokan harinya kami pun kembali datang ke klinik yang sama namun ditangani oleh dokter yang berbeda, kali ini dokter spesialis Paru, Dokter Dewi namanya.
Setelah menjelaskan panjang lebar tentang gejala awal tentang keadaanku, Dokter dewi menyarankanku untuk menjalankan pemeriksaan rontgen setengah badan untuk melihat keluhan yang terjadi di paru-paruku.
Berselang beberapa hari, setelah hasilnya keluar aku pun langsung mendatangi Dokter Dewi dan memperlihatkan hasil rontgen nya. “Sepertinya, kondisi paru-paru-nya bagus, tidak ada infeksi dan semacamnya, hanya saya curiga ini jantungnya, membengkak bu,” ujar sang Dokter.
Seketika aku berdebar mendengarkan penjelasan itu. “Hah jantungnya membengkak dok?” jawabku.
“Benar, jantungnya bengkak sekali ini bahkan hampir menyentuh dinding tulang disampingnya, begini saja, bagaimana kalau saya rujuk ibu ke dokter jantung, karena jika ada masalah di jantung kinerja paru-paru juga pasti terganggu,” ucap Dokter Dewi.
Dalam hatiku sejenak berkata, “Ya Allah kenapa harus jantung?” Mendengar kata sakit jantung saja menjadi realita yang begitu menyeramkan bagi semua orang, karena jantunglah yang menjadi titik pusat dan fungsi kerja semua organ tubuh manusia.
Akupun mulai menjernihkan dan menenangkan hati kecil ini. Okey, okey ayo tetap tenang tetap berpikir positif.
Berlanjut ke bagian 2 (Baca di sini)