Sepenggal Kisah Postpartum; dari PPCM Aku Belajar Makna Syukur (Bag 2)

Sepenggal Kisah Postpartum; dari PPCM Aku Belajar Makna Syukur Ilustrasi peripartum cardiomyopathy (PPCM).
Ilustrasi peripartum cardiomyopathy (PPCM).

Aku diselimuti kebahagiaan menyambut kelahiran anak kedua setelah mengalami keguguran sebelumnya. Bersama suami, kami berjuang menjaga kesehatan janin selama kehamilan. Namun, di masa Postpartum aku divonis mengidap penyakit peripartum cardiomyopathy (PPCM) atau gagal jantung. (Baca bagian pertama di sini).

*****

Tangis yang Pecah

Suatu siang aku menerima pesan melalui Whatsapp dari asisten dokter jantung atas rujukan Dokter Dewi sebelumnya, 

“Bu hari ini Dokter Aris nya ada di klinik, ibu bisa datang sore ini ya.” Ya, kala itu aku hendak konsultasi bersama Dr. Aris Munandar ZI, Sp.JP-FIHA, spesialis Jantung dan Pembuluh Darah.

Aku ingat saat itu masuk sendiri ke klinik, dan suami menunggu sambil menjaga bayi kami di parkiran mobil. Dengan nafas yang terengah-engah, perut yang begah, sambil berjalan berusaha untuk mengontrol kesadaran karena waktu itu aku benar-benar dititik yang paling lemah untuk melangkah kaki ini berjalan. 

Begitu sampai di kursi antrian, Alhamdulillah gumamku akhirnya bisa duduk juga, namun masih terasa jantung berdebar cepat. Aku adalah pasien kedua beliau saat itu.

Seraya berdoa, aku terus berpikir positif tentang diagnosis apapun yang akan dijelaskan oleh dokter nantinya. Saat diruangan, aku mulai bercerita tentang keluhan yang aku alami mulai dari riwayat penyakit dan kehamilan, sampai tentang memelihara kucing dan juga pernah merasa kehirup bulu atau serpihan bubuk jamu pijat saat nifas. 

Namun dari keseluruhan cerita itu, seakan dari ekspresi wajahnya menunjukkan, dokter telah punya jawaban sendiri tentang gejala dan ciri-ciri penyakit yang sedang aku alami. Oleh asistennya aku diminta untuk EKG dan tensi darah terlebih dahulu sebelum dokter memberi kesimpulan diagnosis dari penyakit ini.

“Baik bu, ini sepertinya dari ciri-ciri yang saya lihat ibu mengalami PPCM atau biasa kita sebut dengan Periparthum Cardiomiophaty, atau gagal jantung setelah melahirkan, biasanya terjadi menjelang akhir kehamilan atau pasca melahirkan dan bisa bertahan sampai 6 bulan,” ucap Dokter Aris.

Mendengar diagnosis tersebut, sontak aku syok. “Saya kena gagal jantung dok?” jawabku dengan penuh cemas dan gusar. “Saya berpikir seperti itu bu, karena ciri-cirinya memang kalau saya tidak salah mengarah ke PPCM” jawabnya kembali. 

“Apakah saya bisa sembuh dok?”, tanyaku kembali sambil menahan air mata. “Semoga ini tidak terlambat ya bu, kita berdoa saja, setidaknya kita bisa upayakan untuk memulihkan fungsi jantungnya kembali normal lagi, tapi hari ini harus langsung ke IGD ya bu karena kondisinya sudah sangat buruk, denyut jantungnya juga sangat cepat ini,” ujar dokter Aris.

Mendengar hal itu aku terdiam sejenak dan berupaya untuk menjaga kewarasan berpikir. Bagaimana harus kuceritakan ini pada suamiku. Ya Allah, apakah hidupku tidak akan bertahan lama lagi, bagaimana nasib anakku nanti, siapa yang akan menjaganya. 

Kepada dokter Aris, aku menjelaskan bahwa aku harus menunggu sehari lagi ke IGD karena harus menunggu ibu mertua agar ada yang menjaga bayiku saat aku dan suami datang ke RS.

Dokter Aris pun meresepkan obat untuk dosis sehari sebelum aku datang ke IGD keesokan harinya agar kondisiku tidak makin buruk. Sambil bergetar aku beranjak keluar, nafasku yang pendek dan penglihatanku yang sedikit buram mulai mengacuhkan semua kejernihan dalam berpikir. 

Masih di dalam klinik, perlahan aku membuka tas dan mengambil handphone untuk memanggil suamiku, namun tanganku seperti tremor saat meraihnya dalam tas. “Gimana hasilnya sayang?” tanya suamiku di telpon. 

“Bang, kata dokternya Ifa gagal jantung” jawabku, sambil sejenak terdiam dan ingin menangis, berusaha untuk tetap tenang ditengah keramaian karena saat itu masih di dalam klinik untuk mengantri obat. 

“Astaghfirullah, gimana abang kesitu sekarang ya”, tukas suamiku. “Ngga usah bang, gak apa apa kasian Emir (bayi kami) nggak ada yang jaga dia di mobil nanti pas nangis”.

Ah, lamanya antrian ini. Ingin rasanya beranjak pergi untuk bisa langsung menangis dipelukan suami, menangis sejadi-jadinya. Begitu selesai antrian, aku bergegas jalan untuk menyapa suamiku dan anakku yang sedang menungguku. Tangis Pun pecah seketika, saat suamiku langsung memelukku seraya menepuk bahu belakang. “Yang sabar, ngga apa-apa, ayo kita ikhtiar berobat pasti bisa sembuh, Insya Allah,” ucapnya.

Baca juga: Sepenggal Kisah Postpartum; dari PPCM Aku Belajar Makna Syukur (Bag 1)

Ikhtiar Berobat PPCM

Singkat cerita, aku dirawat intensif selama empat hari di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh. Penanganan yang aku jalani adalah upaya mengeluarkan cairan di tubuh melalui urine yang kala itu sudah hampir 15 liter menumpuk, baik di paru-paru, perut hingga kaki. 

Aku ingat momen dimana hari pertama di RS, aku merasakan kram hebat di kaki, karena efek obat yang dimasukkan ke dalam tubuhku yang menguras banyak elektrolit. 

Suamiku bolak balik untuk melihat kondisiku di RS dan bayiku dirumah, ia terlihat begitu sangat lelah. Sesekali saat pulang ke rumah ia mengajakku video call bersama bayi kami untuk menyembuhkan rasa rinduku yang amat dalam kepada bayiku.

Keesokan harinya aku diminta untuk melakukan Echo dan USG jantung untuk melihat kondisi jantungku saat itu, benar saja jantungku sedang sangat tidak baik secara fungsi, awal pertama aku menjalankan echo, fungsi jantungku sangat menurun di angka 28%, disfungsi diastolik berada di grade III. Katup-katup jantung juga mengalami gangguan yang dikategorikan cukup berat kala itu.

Sejujurnya, sangat berat menerima kenyataan tentang semua itu, namun aku hanya bisa pasrah dan ikhtiar untuk bisa sembuh minimal seperti yang dikatakan dokter, berusaha untuk mengembalikan fungsi jantung secara normal kembali. 

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku dirawat di rumah sakit yang cukup besar dan menangani ribuan pasien-pasien di seluruh Aceh, kesan yang aku dapatkan adalah begitu mahalnya arti kesehatan untuk manusia agar bisa menjalani hidup yang berkualitas, tanpa sakit. 

Ada banyak orang sakit yang harus merelakan banyak hal dihidupnya, baik keluarga, materi hingga kesempatan menjalankan berbagai alur dalam kehidupan ini termasuk dalam beribadah kepada-Nya.

Selama masa treatment obat-obatan, aku terus memperkaya wawasan lagi tentang penyakit jantung, melalui referensi jurnal-jurnal yang ditulis oleh dokter dan orang-orang profesional di bidang Jantung itu sendiri. 

Sikap awareness adalah kunci untuk membuatku keep fight dan konsisten menjalankan pengobatan ini. Aku juga berkesempatan bergabung bersama para penyandang PPCM lainnya di seluruh Indonesia, bernama PPCM Survivor Indonesia, di Instagram dan Whatsapp. 

Disana aku belajar banyak hal tentang PPCM, dan sharing pengalaman perempuan-perempuan hebat yang mampu survive dengan PPCM dengan sederet kisah-kisah mereka bisa dibilang lebih down dibandingku. 

Bahkan beberapa dari mereka ada yang kehilangan buah hati tercinta saat hamil dalam kondisi PPCM, saat melahirkan dan bahkan ada juga beberapa yang berjuang namun harus berhenti untuk menghadap maha pencipta dikarenakan kondisi yang makin memburuk.

Memang semua adalah takdir yang telah diatur oleh Sang Maha Pencipta, namun tidak ada salah bagi setiap wanita untuk lebih aware tentang berbagai kondisi kesehatan maternal, khususnya PPCM ini. 

Menurut studi National Library of Medicine (NIH), PPCM berasal dari multifaktorial, dan tidak diketahui pasti penyebabnya yang menyerang tingkatan usia manapun bagi perempuan hamil dan melahirkan, PPCM juga diketahui menjadi sumbangsih terbesar dalam angka kematian dalam masa postpartum.

Aku juga menyadari, beberapa berita yang kadang-kadang memuat isu tentang postpartum, seperti ibu meninggal secara mendadak saat tengah menyusui anaknya, atau banyaknya ketidak tahuan para ibu ketika ia merasa tubuhnya sangat lemah pasca melahirkan bahkan batuk-batuk yang tak kunjung sembuh sampai salah mendiagnosis mengalami TBC.

Namun kenyataan penyebabnya adalah jantung. Menurutku sosialisasi perlu diupayakan bagi para keluarga tentang PPCM, agar pengamalan menjadi edukasi yang dapat menurunkan dampak buruk atau penyakit di dunia maternal itu sendiri.

Well, setelah menggantung treatment obat-obatan jantung yang dokter berikan seperti, bromocriptine, uperio, spironolakton, furosemid, dan bisoprolol dan dengan kuasa Allah dan secepat itu pula fungsi jantungku membaik dalam tiga bulan. 

Ejection fraction-ku pun meningkat sebanyak 57 persen, sungguh progres yang cukup cepat untuk tingkat keparahan yang dapat di flashback dan bandingkan dengan tiga bulan yang lalu, memang dilihat secara hasil menunjukkan masih adanya pembengkakan di jantung ini, namun secara fungsional ia mampu membuatku bertahan sejauh ini, dan membuatku lebih aktif dan kuat untuk menjalankan ragam aktivitas dan yang lebih penting untuk tetap sehat dan terus mendampingi keluarga dan membesarkan buah hatiku. 

Tentu orang bisa berbuat apa saja ketika ia sedang sehat, dan sebaliknya saat sakit ia akan merasa menjadi beban bagi semua orang yang menyayanginya. Dengan hadirnya PPCM di diriku, aku semakin belajar tentang makna syukur sesungguhnya, dimana jika saat ini kita merasa sehat poin terpenting adalah terus konsisten menjaganya karena kesehatan adalah tabungan emas di hari akan datang.

Artikel SebelumnyaSepenggal Kisah Postpartum; dari PPCM Aku Belajar Makna Syukur (Bag 1)
Artikel SelanjutnyaMencari “Politisi Burong Tujoh” di Aceh
Siti Arifa Diana, S,Sos, MA
Penikmat literasi. Pernah menempuh studi S2 di salah satu kota favoritnya, dimana salah satu tokoh literasi Islam lahir disana, yaitu Jalaluddin Rumi, di Konya, Turki.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here