Komparatif.ID, Bireuen– Nurul (bukan nama sebenarnya) menerima uang dari sejumlah tim sukses caleg. Ia bisa mengumpulkan Rp500.000 dari sejumlah timses. Tapi pada Rabu (14/2/2024) ia hanya mencoblos satu caleg saja.
Nurul (35) sumringah tatkala menceritakan peristiwa aji mumpung jelang Pemilu 2024. Saat berkisah kepada Komparatif.ID, Kamis (15/2/2024) berkali-kali tawanya meledak.
“Setiap timses datang ke rumah, mereka meminta fotocopy KTP. Saya kasih saja. Karena tidak ada yang bertanya apakah KTP saya sudah diberikan kepada siapa saja. Setiap KTP dihargai Rp100 ribu,” kata Nurul, ibu dua anak yang bekerja sebagai buruh tani.
Baca: Berbeda Dengan Nasional, Anies Menang Telak di Aceh
Perempuan yang menetap di Peusangan itu menceritakan sebulan sebelum pemilihan umum, beberapa orang yang dikenal olehnya, datang ke rumah. Menawarkan peluang dapat uang, asalkan menyerahkan fotocopy KTP untuk mendukung caleg.
Dengan suka rela Nurul menyerahkan KTP. “Saya dimintai KTP oleh timses caleg dari partai. Saya kasih saja. Kan lumayan dapat Rp100 ribu,” katanya, lagi-lagi sembari ketawa.
Nurul mengatakan tidak mengalami hambatan saat menentukan pilihan di bilik suara. Dia mencoblos salah satu caleg yang uangnya ia terima. Ia sadar kalau mencoblos semua, kertas suara masuk kategori tidak sah.
“Total saya dapat Rp500 ribu dari lima timses,” sebut Nurul.
Lain lagi hal yang dialami oleh Bokir (nama samaran). Lajang berusia 36 tahun itu bukan siapa-siapa di kampungnya. Ia hanya rakyat biasa yang sehari-hari bekerja serabutan. Karena belum punya istri, bila malam hari tiba, ia ngalong sampai jelang Subuh.
Dua minggu sebelum Pemilu 2024 tiba, ia mulai ketiban durian runtuh. Banyak timses yang mendatanginya untuk diambil fotocopy KTP dan memberikan uang minum.
Karena jarang bicara dan sering menyendiri bila berada di warung kopi, banyak yang mengira bila Bokir belum didekati oleh timses.
Tapi ia menolak menyebut angka pasti berapa rupiah telah ia kumpulkan dari hasil fotocopy KTP. “Hehehe, saya tidak ingat lagi. Tapi lumayanlah untuk saya yang masih sendiri,” sebut Bokir sembari terkekeh.
Bokir menjelaskan di kampungnya yang kecil di Peusangan, banyak orang yang bekerja untuk caleg. Bahkan satu partai sampai dua caleg yang masuk ke kampung Bokir.
“Dua caleg DPRA dari partai lokal memasang timnya di kampung saya. Dari mereka saya hanya ambil satu. Takut ketahuan. Hahaha,” kata Bokir sembari tertawa lepas.
Lain lagi di Kecamatan Juli dan Jeumpa. Seorang caleg dibuat sakit kepala. Meskipun telah menghabiskan Rp400 juta, tapi suara yang ia peroleh tidak mencapai 600. Padahal setiap target telah dibekali Rp200 ribu.
Setiap membagikan “oleh-oleh” dirinya sendiri yang menyerahkan. Bila tidak mungkin, dititipkan kepada timsesnya. Tapi dua hari setelah Pemilu 2024, dia langsung mendapatkan kabar bila belanja politik yang ia keluarkan, hasilnya sangat jauh dari harapan.
Dalam hal bagi-bagi uang, pada pemilu kali ini memang lebih intens. Para caleg dihadapkan dengan target partai untuk menang besar.
Bagi incumbent, pembangunan dapil yang telah dilakukan tidak sebanding dengan jor joran uang para kandidat. “Kami dihadapkan juga dengan caleg yang disebut-sebut sebagai juragan tramadol, ataupun caleg yang didukung oleh jejaring narkoba dan obat-obatan terlarang,” sebut seorang petahana DPRK Bireuen.
Ia menyebutkan kali ini hanya para kontestan miskin yang tidak “belanja”. Mereka sekadar berharap aji mumpung. Tapi siapa yang peduli dengan mereka? Apalagi kelasnya hanya level tokoh dusun di kampungnya. “Orang yang dikenal luas saja, harus mengeluarkan ratusan juta untuk bertarung,” sebut incumbent salah satu partai nasional, Sabtu (19/2/2024).
Para kandidat level dusun hanya pelengkap penderita. Sekadar ada untuk memenuhi kuota. “Sumbangan suara dari mereka hanya sampai 20 saja. Itu pasti keluarga dekat mereka. Tapi efektif merusak suara kandidat dominan level DPRK,” sebut petahana tersebut.
Badrun (sebut saja demikian) seorang timses partai nasional mengatakan satu malam jelang hari H, mereka bergerilya, mengamankan calon pemilihnya. Cara yang ditempuh, membagikan uang di kantong-kantong kecil yang tidak digarap oleh caleg lain.
“Kami menargetkan 30 suara per gampong. Misalnya, bila uang yang kami bagikan untuk 50 orang, maka yang tidak memilih caleg kami sekitar 20 orang,” sebut Badrun.
Cara Badrun kerja ternyata efektif. Kandidat DPRA yang mereka dukungan, masuk lima besar dapil III (Bireuen).
Caleg Ditipu Timses
Pengalaman yang didapatkan oleh Badrun, ada beberapa penyebab uang caleg terkuras banyak. Di antaranya, uang yang diberikan kepada timses tidak seluruhnya dibagikan kepada calon pemilih.
“Ada yang menyimpan sekitar 30 persen. Tergantung berapa banyak orang yang bertugas membagikan uang. Semakin banyak, maka semakin aman melakukan upaya itu.”
Peristiwa paling banyak, tumpang tindih kerja antar timses lintas partai. Semua kasih uang kepada calon pemilih. Ternyata, mereka menggarap ceruk yang sama.
Beberapa timses mengaku banyaknya partai peserta pemilu, serta persaingan antar kandidat legislatif di internal partai, membuat anggaran politik semakin membengkak. Untuk mendapatkan 1 kursi DPRK Bireuen, paling kecil uang yang dihabiskan Rp400 juta. Bahkan ada yang mencapai 1 miliar rupiah.
Tapi kisah mahalnya kursi demokrasi bukan hanya di Bireuen saja. Menurut laporan yang diterima Komparatif ID, jual beli suara merata di seluruh Aceh.