Minggu lalu saya mengunjungi kolega yang sedang sakit, saya biasa memanggilnya bang Emir, beliau adalah penyandang disabilitas fisik karena kakinya lumpuh layuh akibat kecelakaan motor setahun silam.
Dalam obrolan dengannya, ternyata dia kapok ke tempat pemungutan suara (TPS) karena tempat pemungutan suara dibuat di gedung desa beranak tangga. TPS tersebut tidak ramah disabilitas. Kalau TPS Pilkada juga dibuat di gedung yang sama, ia telah putuskan tidak akan mencoblos.
Saya terkejut karena masih ada penyelenggara pemilu yang tidak memiliki kesadaran prinsip aksesibel dalam pemilihan umum.
Dalam konstitusi kita, terdapat banyak pengaturan mengenai hak warga negara, dari sekian
banyak hak tersebut, menurut saya, hak yang paling mudah dipenuhi oleh negara adalah hak pilih. Namun dari percakapan saya dengan Emir, saya menemukan hal yang berbeda dari pandangan saya selama ini.
Ketentuan yang ada mungkin sudah memihak kaum marginal seperti Emir, akan tetapi kesadaran pengambil kebijakan tidak demikian. Apa penyelenggara harus disimulasikan naik kursi roda, supaya mampu merasakan bahwa TPS yang dibuat di gedung desa yang banyak tangganya itu sangat menyusahkan penyandang disabilitas.
KPU dan Bawaslu beserta jajarannya hingga di tingkat TPS diharapkan memiliki kesadaran bahwa kaum disabilitas dan rentan perlu diperhatikan.
Lokasi TPS haruslah aksesibel bagi semua pihak, selain penyandang disabilitas, terdapat kaum rentan seperti ibu hamil dan orangtua usia lanjut yang harus didahulukan untuk masuk ke bilik suara, tanpa harus mengantri. Begitu juga dengan ibu menyusui, bukan mudah meninggalkan bayi di rumah untuk datang ke TPS.
Baca juga: Pendidikan Bermutu Dapat Menggerus Kemiskinan
Asas kerahasiaan pilihan juga sangat rentan tidak terjaga bagi penyandang disabilitas sensorik mata. Penyelenggara pemilihan baiknya secara khusus mendatangi keluarga dari disabilitas sensorik mata untuk memberitahu bahwa mereka memiliki hak untuk membawa pendamping pemilih sampai ke bilik suara untuk membantu memilih yang mana pendamping harus menjaga kerahasiaan pilihan.
Jika yang bersangkutan tidak memiliki pendamping, maka petugas KPPS yang mendampingi harus memiliki kesadaran bahwa jika membocorkan pilihan penyandang disabilitas merupakan tindak pidana pemilihan.
Prinsip keterbukaan informasi juga belum maksimal diberikan kepada pemilih yang ada dalam lembaga pemasyarakatan. Seharusnya mereka mendapatkan informasi yang lengkap terkait visi, misi dan program dari para calon kepala daerah yang akan mereka pilih.
Jika informasi ini tidak mereka dapatkan, maka pada hari pemungutan suara di TPS, mereka seperti sedang membeli kucing dalam karung. Padahal pemilih dari narapidana berhak tahu, apakah calon pemimpin memiliki kebijakan yang berpihak pada pembinaan narapidana agar mampu memperbaiki diri dan kembali menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Pada era modern ini tentunya terasa sangat aneh jika hak penyandang disabilitas, kaum rentan dan marginal masih saja belum diperhatikan oleh pengambil kebijakan. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang juga memberi kontribusi besar bagi kehidupan bernegara.