Saya seringkali mendengar pernyataan bahwa orang Aceh malas. Bahkan pendapat itu diperkuat oleh beberapa orang [Aceh] yang mengunyah secara parsial kebudayaan keacehan. Mereka menyandarkan pendapatnya pada satu pendapat [memperkuat argumen]: Orang Aceh malas karena berasal dari keturunan raja. Para raja yang kalah perang kemudian lari dan menetap di negeri ujung barat Pulau Sumatera.
Benarkah orang Aceh malas? Saya pernah mendiskusikan ini dengan seorang petani dari Aceh Selatan yang juga eks kombatan GAM. Ia menyebutkan sejatinya orang Aceh bukan pemalas. Tapi rerata sudah bosan membangun mimpi karena semua program pembangunan yang dirancang untuk memperbaiki keadaan ekonomi, sekadar menyelesaikan tugas rutin pemerintah. Tidak benar-benar bertujuan melahirkan masyarakat mandiri dan berdaya saing.
Birokrasi yang digerakkan oleh elit politik plutokrasi menyelenggarakan pemerintahan dengan penuh wacana pembangunan, sekaligus mengkanibal semua bentuk program pembangunan demi menguntungkan diri dan kelompok, dengan terang-terangan merugikan rakyat sebagai penerima manfaat.
Baca juga: Memperkuat Politik Energi Aceh
Masyarakat digembar-gemborkan selalu diberdayakan melalui pelatihan, bantuan modal usaha, bantuan ini itu, dan ujung-ujungnya gagal berkembang.
Mengapa gagal berkembang? Banyak faktor? Hal paling utama karena faktor orang dalam (people inside). Mereka yang masuk daftar rakyat yang mendapatkan bantuan, mayoritas punya hubungan kekerabatan dengan si pelaksana kegiatan. Sehingga pelatihan maupun bantuan modal usaha didapatkan oleh ianya yang punya hubungan personal, bukan berdasarkan kebutuhan.
Kedua, bantuan pelatihan yang diberikan sebatas melaksanakan program/kegiatan. Pelatihan diadakan alakadar, jatah 3 hari dipadatkan 1,5 hari. Setengah hari dihabiskan untuk acara seremonial, dan 1 hari mendengar pemaparan materi yang “dipadatkan”.
Ketiga, bantuan modal usaha diberi setelah dipotong sana sini dengan berbagai alasan. Sehingga penerima manfaat kehabisan modal sebelum memulai usaha.
Keempat, kelompok-kelompok UMKM seringkali menghadapi kendala serius ketika memulai produksi. Bila bentuknya barang mentah, mereka harus berhadapan dengan sistem pasar yang menentukan harga beli, yang seringkali membuat pelaku usaha kecil merugi. Bila yang dihasilkan barang setengah jadi dan barang jadi, mereka dihadapkan pada birokrasi berbelit. Ada yang nekat melepas produknya ke pasar, tapi segera dirazia, dan pelaku usaha kecil ditangkap.
Akhirnya rakyat kecil putus asa. Mereka pun berinisiatif untuk tidak melakukan inisiasi apa pun. Memilih pasif dan berdiam diri, yang akhirnya menjadi masyarakat yang serba curiga dan tak percaya bahwa pemerintah mampu menghadirkan perubahan.
Berapa banyak orang Aceh yang awalnya memiliki semangat tinggi berubah menjadi lebih baik, tapi kemudian ditipu dan membuat mereka enggan berbuat? Angka pastinya belum ada yang meriset. Tapi dengan observasi kasar saja, kita dapat meraba bahwa jumlahnya tidak sedikit.
“Bila sudah demikian, apakah benar bahwa orang Aceh malas? Kalau orang kita malas, Aceh takkan pernah punya kegemilangan masa lalu,” sebut eks kombatan tersebut.
Orang Aceh Anak Tiri Pembangunan
Itu satu hal, ada perkara lain yang jauh lebih serius. Aceh negeri yang kaya sumber daya alam. Berapa persen putra-putri Aceh yang memiliki kemampuan mengelolanya? Bila suatu ketika industri ekstraktif kembali maju di Aceh, berapa persen tenaga kerja lokal dapat diserap ke dalamnya, mulai dari level manajerial hingga buruh kasar?
Selama ini orang-orang lokal–pemilik kedaulatan sumber daya alam– kerap disematkan dengan label-label negatif: bodoh, malas, tidak berintegritas, sibuk “menuhankan kebudayaan” dan label-label lainnya yang menyudutkan. Seakan-akan kapasitas otak orang tempatan berada sedikit di atas manusia purba.
Pemerintah dan pemilik modal eksploitasi ketika masuk ke tanah air orang lokal membuat serangkaian kegiatan sosial yang tidak jauh-jauh dari semangat “menjaga kearifan lokal” seperti menyelenggarakan kenduri, membagikan sedekah, menggelar sunatan massal.
Mereka mendekati tokoh-tokoh lokal, menyanjungnya, memberi hadiah, dan menyediakan berbagai atribut kemegahan, dengan tujuan memerangkap para tokoh, sehingga merasa nyaman yang akhirnya melahirkan rasa tidak enak di hati para tokoh lokal.
Anak-anak muda lokal yang tidak memiliki keahlian sesuai dengan kandungan SDA di bawah rumahnya, diberdayakan melalui turnamen bola, lomba nyanyi, dan disediakan dana meuleumak (kenduri masak kari ayam, dll–pada hari-hari tertentu.
Selebihnya, mereka akan jadi penonton, menyaksikan orang luar keluar masuk kampung mereka dengan baju seragam industri ekstraktif, sembari mengagumi betapa hebatnya orang luar, punya uang sekolah tinggi bidang industri. Sedangkan mereka di kampung hanya anak-anak bangsa yang bodoh, tak pantas, dan tak mungkin punya kesempatan masuk dan bekerja di sana.
Bila ada yang sedikit kritis mempertanyakan mengapa orang lokal tak dilibatkan? Maka datanglah orang-orang berpangkat, dengan mata melotot menggertak anak muda kampung. Serta mengancam mereka dengan KUHP yang terkadang di pengancam sendiri masih kurang paham.
Saya beberapa kali diprotes, dituding primordial, diejek tak berpandangan luas, karena pernah berkali-kali mempersoalkan seberapa serius pemerintah dan pemilik modal membuka ruang kepada calon tenaga kerja lokal supaya dapat terlibat dalam industri-industri ekstraktif besar yang kelak akan kembali ada di Aceh.
Saya dituding jumud, tidak ilmiah, dan mengidap primordial akut. Bahkan ada yang menuding kekritisan saya karena tidak terlibat di dalam mega industri tersebut.
Anggap saja demikian. Karena selalu ada alasan supaya nalar kritis berjalan. Tapi ini bukan soal karena saya tidak berada di dalamnya.
Label orang Aceh malas merupakan racun. Karena sejatinya orang Aceh tidak malas. Tapi telah dipaksa menjadi pemalas karena hal-hal yang sudah saya sampaikan di atas. Orang Aceh berulang kali ditipu, atau dipaksa mengikuti si penipu dengan berbagai alasan.
Di sisi lain, orang Aceh saat ini tidak lagi seperti orang Aceh yang bertumbuh dewasa pada dekade 80-an. Dulu, meskipun mereka tidak memiliki pendidikan formal tinggi, tapi masih terlalu luas rimba Ilahi yang dapat dikelola kapan saja.
Sekarang? Semua hutan telah dikapling-kapling oleh pemerintah, dibagikan kepada korporasi baik sebagai wilayah tambang maupun HGU. Akhirnya, generasi kelahiran 80-an dari yang buta huruf hingga yang berpendidikan tinggi tidak memiliki lahan untuk menyambung hidup. Mereka beralih dari masyarakat agraris menjadi buruh harian lepas. Dari masyarakat pertanian menjadi kuli kasar.
Anak-anak muda perkotaan, juga demikian, terjebak pada rutinitas yang menghabiskan sumber daya keluarga. Terpinggirkan dari kesempatan bersaing, dan banyak yang memilih menunda menjadi pengangguran dengan cara memilih kuliah di perguruan tinggi. Setelah tamat, tak tahu harus ke mana. Akhirnya di Banda Aceh sudah sangat mudah dijumpai kelompok pemuda yang menyediakan jasa unjuk rasa asal bayarannya sesuai dengan isu yang diangkat. Dulu, kelompok pendemo bayaran hanya kita lihat di luar Aceh. Tapi sekarang telah ada di Serambi Mekkah.
Sebagai insider saya berpegang teguh pada satu pemahaman bahwa orang Aceh bukan pemalas. Perilaku-perilaku yang bermunculan hari ini karena telah terlalu lama menjadi anak tiri pembangunan. Menjadi penonton tanpa tiket pengerukan SDA di kampungnya; yang sembari menonton, diiringi hinaan bahwa orang Aceh malas.
Lalu, adakah jalan keluar? Tentu ada! Berikanlah kesempatan kaum muda Aceh. Kirim mereka sebanyak-banyaknya ke lembaga vokasi yang bonafit. Ajari mereka keahlian-keahlian yang berkorelasi dengan SDA di kampungnya. Bila itu dilakukan, percayalah tidak ada lagi yang berlama-lama berpangku tangan. Tenaga-tenaga terampil akan cekatan, berintegritas, dan tentunya akan menghadirkan multiplier effect kepada orang sekitarnya.
Bila itu dilakukan, di masa depan, generasi Aceh akan sangat mudah ditemukan kuliah di Harvard, dan universitas-universitas lainnya yang berkaliber dunia. Bila kelak mereka pulang kampung, akan menjadi trigger komunal, yang mampu menciptakan keajaiban untuk dunia.
Tulisan ini tidak bertujuan melahirkan kerusuhan. Tidak juga ingin mengingkari berbagai terobosan yang telah dilakukan. Tulisan ini sekadar ingin mengajak kita semua berpikir dan bertindak secara lebih luas, supaya Aceh yang hanya dihuni 5 juta manusia, menjadi masyarakat dunia maju. Tujuan besar lainnya, supaya perang bersenjata yang berulang akibat kekecewaan tidak lagi terjadi di Serambi Mekkah.