Benarkah Kombatan Tidak Boleh Berpolitik?

Kombatan
Khairil Miswar. Foto: Dok. Pribadi.

Ekses dari upaya revisi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang sempat digagas oleh Ketua DPR Aceh yang notabene adalah mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menggelinding jauh.

Seorang ulama muda, demikian beberapa orang menyebutnya—memberi respons—dengan menuding tindakan tersebut sebagai sebuah bentuk ketidakpahaman mantan kombatan dalam berpolitik. Dia bahkan membandingkan sikap para kombatan di Aceh dengan sosok Jenderal Besar Soedirman, legenda perang kemerdekaan—yang menurut ulama tersebut lebih memilih menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno pasca Agresi Militer Belanda. 

Ulama muda itu menambahkan bahwa penyerahan kekuasaan yang dilakukan oleh Soedirman kepada Soekarno pasca perang adalah bentuk sikap tahu diri dari Panglima Besar tersebut, sehingga dia tidak pernah berniat mengambil laba dari perjuangan yang telah dia lakukan. Harusnya kombatan GAM bisa meniru langkah ini—menyerahkan politik kepada ahlinya, dan lalu mengamankan dirinya, di mana semua kebutuhan mereka nantinya akan dipenuhi semisal istri, uang dan seterusnya; kira-kira demikian harapan ulama muda tersebut.

Baca: Kombatan [GAM] Tak Perlu Masuk Politik

Menyimak pernyataan ulama muda tersebut, ada beberapa poin yang mesti dilihat lebih holistis dan cermat agar pernyataan itu tidak merusak realitas sejarah atau mungkin melahirkan distorsi yang lebih parah.

Pertama, pernyataan bahwa Soedirman tidak berpolitik harus dilihat dari beberapa sisi. Adalah benar bahwa Soedirman tidak menjadi anggota DPR, menteri atau pun duta besar pasca perang. Namun, kenyataan ini tentu tidak terlepas dari kondisi kesehatan Soedirman yang saat itu menderita sakit yang amat parah, di mana dia kemudian meninggal pada 1950, tidak lama setelah Indonesia memperoleh kedaulatannya dari Belanda. Andai saja, Soedirman tidak menderita sakit paru-paru kala itu atau dengan kata lain dia berumur panjang, maka tidak ada yang bisa menjamin bahwa Soedirman tidak akan terjun dalam dunia politik, sebab terjun dalam dunia politik bukanlah sikap tercela. 

Kedua, selama bergerilya, seperti diceritakan dalam seri buku tokoh militer yang ditulis Tempo (Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir, 2012), Soedirman sangat menentang perundingan dengan Belanda, termasuk Perundingan Roem Royen. Ketidaksetujuannya pada hasil perundingan tersebut ditunjukkan Soedirman ketika dia dibujuk untuk menemui Soekarno di Yogyakarta, di mana saat itu Soekarno memeluk Soedirman. Namun, pelukan itu tidak dibalas Soedirman, di mana dia hanya berdiri kaku karena masih merasa marah kepada Soekarno yang telah berunding dengan Belanda. Kita tahu bahwa perundingan adalah salah bentuk negosiasi politik. Dengan demikian, penolakan atau penerimaan terhadap perundingan adalah sikap politik. Dalam hal ini, Soedirman sebagai tokoh militer dan juga kombatan memiliki sikap politik yang berbeda dengan Soekarno. Karena itu, menyebut Soerdiman sebagai (sama sekali) tidak berpolitik adalah naïf.

Ketiga, sikap Soedirman yang siap menjalankan keputusan politik (meskipun tidak setuju) harus dipandang sebagai bentuk pengakuan militer terhadap supremasi sipil yang kala itu dijalankan Soekarno. Artinya, Soedirman sangat menjunjung supremasi sipil. Sikap demikian sama sekali tidak mengindikasikan bahwa—sebagai kombatan—Soedirman tidak paham politik dan lalu meninggalkannya begitu saja.

Keempat, ulama muda juga menyatakan bahwa Soedirman menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno. Pernyataan ini tentu tidak benar, sebab posisi Soedirman saat Agresi Belanda adalah sebagai panglima tentara, bukan kepala pemerintahan sehingga Soedirman tidak memiliki kekuasaan politik. Lagi pula, meskipun dipilih, Soekarno-lah yang melantik Soedirman sebagai Panglima Besar. Bagaimana mungkin orang yang dilantik oleh Soekarno bisa memiliki kekuasaan di atas Soekarno dan kemudian menyerahkan kekuasaan itu kepada Seokarno? Kesimpulan semisal ini tentu absurd dan terlalu mengada-ngada.

Baca: Masrul Aidi Terlalu Tendensius

Kecuali itu, dalam hal ini, ulama muda juga terlalu parsial melihat sejarah, di mana istilah kombatan hanya dikaitkan dengan Soedirman dan menafikan tokoh-tokoh lain. Bagaimana dengan Nasution, Soeharto dan tokoh-tokoh militer setelah mereka? Apakah mereka tidak berpolitik hanya karena mereka mantan kombatan? Sebagai mantan kombatan, Soeharto bahkan mampu memimpin Indonesia selama lebih dari tiga puluh tahun. Hal demikian juga ditunjukkan dengan kehadiran sederetan tokoh militer lainnya di Indonesia yang kemudian menjelma sebagai tokoh politik. Soesilo Bambang Yudhoyono, Wiranto dan Prabowo adalah beberapa contoh dari mereka.

Dalam konteks yang lebih luas kita tentu mengenal Muammar Khadafi, Gamal Abdul Nasser, Mustafa Kamal Attaturk, de Gaulle dan masih banyak lagi kombatan yang kemudian menjadi tokoh-tokoh politik yang disegani di negaranya. Kenyataan ini membuktikan bahwa klaim mantan kombatan sebagai orang yang tidak mengerti politik, sebagaimana disebut ulama muda adalah tidak masuk akal dan bertentangan dengan fakta-fakta yang ada. 

Keliru Memahami Mantan Kombatan

Dalam hal ini, ulama muda sepertinya juga tidak bisa membedakan antara junta militer dan pemerintahan sipil. Dalam konteks demokrasi, kita tentu menolak pemerintahan militer yang didirikan oleh para kombatan, sebab kita menghendaki supremasi sipil. Namun, bukan berarti kita harus menolak mantan-mantan militer dan mantan kombatan masuk dalam ruang politik, karena ketika mereka menjadi purnawirawan (bagi militer) atau “veteran” perang (bagi kombatan), pada prinsipnya mereka telah kembali menjadi sipil sehingga tidak ada halangan bagi mereka untuk berpolitik.

Ada pun terkait dengan kapasitas intelektual adalah hal lain, di mana para politisi dari non kombatan juga tidak selamanya memiliki kualitas intelektual yang memadai. Bahkan politisi yang berasal dari kalangan intelektual sekali pun kerap membuat kekonyolan-kekonyolan. Hal demikian tentu sangat tergantung pada pribadi mereka masing-masing politisi sehingga tidak bisa disimpulkan bahwa semua kombatan tidak mengerti politik.

Dengan demikian, hampir dapat disimpulkan bahwa pernyataan ulama muda terhadap eksistensi kombatan dalam pentas politik adalah sikap tendensius dan bahkan politis, di mana pernyataan itu muncul hanya karena adanya gagasan revisi Qanun LKS. Dalam hal ini, ulama muda seolah-olah ingin memosisikan Qanun LKS sebagai “berhala”—sehingga siapa pun yang memiliki pandangan berbeda atau pun ingin mengoreksi qanun akan ditafsirkan sebagai kontra-syariat—karena itu mesti dilawan, meskipun dengan argumentasi yang absurd dan bahkan destruktif.

Pada prinsipnya kita sangat menghargai pernyataan yang disampaikan oleh ulama muda sebagai bagian dari cara kita berdialektika. Namun, memosisikan pendapat beliau sebagai sesuatu yang absolut hanya karena pendapat itu berasal dari kaum agama tentu tidak bisa diterima karena hal demikian adalah bagian dari otoritarianisme. Sebab, pendapat yang dipaksakan justru bisa memicu anarkisme. Kita tahu bahwa anarkisme sama sekali tidak memiliki korelasi apa pun dengan syariat, untuk tidak menyebut bertentangan. Karena itu membela produk politik semisal Qanun LKS yang notabene adalah tafsir syariat (bukan syariat) dengan cara-cara “anarkis”—sampai-sampai melarang kombatan untuk berpolitik—adalah tindakan yang lumayan konyol. Wallahul Musta’an.

Artikel SebelumnyaPreview Final Piala FA 2023: MU Masih Punya Harapan?
Artikel SelanjutnyaPak Polisi, Pahamilah Masyarakat
Khairil Miswar
Seorang esais dan juga penulis sejumlah buku bertema kritik sosial. Salah satunya buku berjudul: Demokrasi Kurang Ajar, yang diterbitkan oleh Zahir Publishing, 2019.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here