Aceh Dagang; dari Perbatasan Hingga ke Kalimantan

Moenawar Lhok menulis tentang Aceh dagang yang telah menjadi trade mark orang Aceh. Foto: Dok. penulis.
Moenawar Lhok menulis tentang Aceh dagang yang telah menjadi trade mark orang Aceh. Foto: Dok. penulis.

Aceh dagang merupakan trade mark.Demikian salah satu kesimpulan Zulfadli Kawom, dalam tulisannya berjudul Dari Aceh Meuprang ke Aceh Dagang, yang tayang pada rubrik opini di Komparatif.id, tanggal 29 Januari 2023.

Penyusunan artikel ini juga terinspirasi dari opini etnografi yang ditulis oleh seniman tersebut. Bagi saya apa yang disampaikan oleh Zulfadli Kawom, merupakan hal yang patut diberitahu kembali, karena kita telah terlalu jauh dari mata rantai niaga-niaga besar yang pernah dilakukan oleh saudagar Aceh, dengan kantor pusatnya mulai dari Aceh hingga ke Singapura.

Tahun 2015 saya pernah bertugas di Pulau Borneo (Kalimantan) sebagai Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). Tempat tugas saya di Kalimantan Barat.

Di sana saya bertemu dengan perantau dari Aceh yang membangun usaha di Kalimantan. Mereka—seperti yang ditulis oleh Zulfadli—memilih berniaga sebagai cara membangun ekonominya.Artinya trade mark Aceh dagang masih up to date.

Di Kota Ngabang, ibukota Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, yang berjarak 149 kilometer dari Kota Pontianak, terdapat sebuah kedai kopi Aceh yang sangat ramai pelanggannya. Warkop itu buka sampai dinihari, dan konsumennya tetap berjubel. Padahal yang dijual di sana hanya kopi dan kue-kue khas warkop.

Masih di kota yang sama, saya menghitung ada lebih dari dua toko fashion yang juga dimiliki oleh orang Aceh. Ukuran tokonya mungkin tak tergolong besar namun terletak  sangat strategis di jantung kota yang terkenal penghasil intan tersebut. Saya sempat bertanya kepada owner toko tersebut, kenapa mereka memilih untuk berdagang nun jauh di tengah bumi kaum Dayak dan Melayu. Jawaban mereka serupa seperti apa yang disampaikan Zulfadli yaitu “kamoe na dasar meukat.” (kami punya keahlian alami untuk berdagang).

Alasan yang serupa juga saya temukan ketika bertemu perantau Aceh yang membuka kedai aksesoris kecil di samping rumahnya di kecamatan Jelimpo, ke arah hulu jalan lintas Pontianak-Entikong. Baginya keahlian berniaga bukan hanya memberikan kehidupan tapi merupakan legacy yang di bawa dari Aceh. Peluang di rantau boleh beragam namun bagi orang Aceh dagang adalah gagasan utama. Para perantau Aceh yang ada di bagian hulu Kalimantan Barat ini memiliki koneksi yang kuat dengan jaringan dagang di bagian hilir khususnya kota Pontianak, contohnya seperti orang Aceh yang berdagang membuka sebuah warung mie Aceh di Pontianak Selatan, langsung mengenali ketika saya menyebutkan nama-nama orang Aceh yang bermustautin di Landak.

Aceh Dagang yang Mengakar

Jaringan dagang Aceh juga mengakar di seputaran perbatasan Aceh sendiri. Di Aceh Singkil, jaringan dagang orang Aceh juga wujud dalam rantai ekonomi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti kelontong, fashion, material bangunan maupun kuliner khas Aceh seperti kopi sanger, kuah beulangong atau nasi gurih.

Di daerah yang mempunyai dua etnik utama yaitu etnis Singkil di tepian sungai Lae Soraya dan etnis Jamee di pesisir pantai samudera Hindia, sebaran dagang orang Aceh kebanyakan  beririsan dengan perantau dari Aceh Selatan maupun Aceh Barat Daya.

Irisan Aceh dagang tersebut selain karena geografis, juga administratif. Singkil sebelum dimekarkan merupakan bagian dari Aceh Selatan.

Sebaran perantau Aceh dari kabupaten Aceh lainnya yang berdagang di dua kota utama kabupaten Aceh Singkil yaitu Rimo sebagai peredaran ekonomi maupun Singkel sebagai pusat pemerintahan juga bisa ditemukan dengan mudah. Sama seperti di Kalimantan Barat, jaringan dagang Aceh di wilayah dengan salah satu potensi wisata terbesar se-antero Provinsi Aceh ini juga saling terhubung satu sama lain.

Dari Aceh Singkil jika kita beranjak berpergian melewati perbatasan Sumatera Utara menggunakan angkutan umum di malam hari ke kota Medan, besar kemungkinan armada yang kita tumpangi akan singgah di sebuah rumah makan mie Aceh yang ramai di jalan lintas pegunungan berhawa dingin Merek, tepian danau Toba kabupaten Tanah Karo. Di tempat ini saya melihat aneka plat kendaraan BK-BL bercampur baur terparkir dengan pengunjung yang memenuhi kursi di larutnya malam. Sekali lagi, berdagang adalah salah satu tujuan utama bagi perantau Aceh. Lagi-lagi trade mark Aceh dagang terpampang dengan jelas.

Minggu lalu saya mengirimkan link tulisan bang Zulfadli tersebut kepada seorang saudara saya keturunan Aceh di Pulau Pinang, Malaysia. Ia membalas pesan saya dalam Bahasa Aceh campur Melayu seperti ini “sino (di sini) kalau sebut Aceh, persepsi pertama adalah pandai berniaga, nyan yang lon deungo (itulah yang saya dengar)”.

Ia pernah bercerita kalau abangnya yang juga mampu berbahasa Aceh pernah bergurau dengan perantau Aceh di sebuah kedai runcit di Kuala Lumpur,  yang sedang berdebat manakah yang benar sebutan antara cabai dan lada dengan menyebutkan ada juga sebut campli.

Cerita kemasyhuran saudagar Aceh di kedai runcit Malaysia di Chow Kit, Sungai Buloh dan lainnya tentu sudah lebih dari cukup melengkapi testimoni tersebut karena kebanyakan orang Aceh datang ke semenanjung memang untuk berdagang baik dulu sampai sekarang. Anthony Reid dalam bukunya “an Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatera” menulis bahwa sampai awal rentang 1900an, Pulau Pinang dijadikan oleh orang Aceh sebagai pusat untuk berhubungan dengan dunia, termasuk berdagang.

Seperti diksi dalam tulisan Zulfadli, alasan orang Aceh memilih menjadi pedagang supaya tidak menjadi pion ekonomi. Hal ini seringkali sudah tertanam awal di alam bawah sadar kebanyakan orang Aceh. Salah seorang teman dan kolega dekat saya dari Beureuneun, Pidie, juga mengatakan akan membuka toko. Jawaban itu dia sampaikan Ketika saya bertanya apa yang akan dia lakukan tiga bulan ke depan. Saya salut, dan menandakan bahwa trade mark Aceh dagang bukan semata isapan jempol. Semangat itu telah menjadi bagian dari dalam aliran darah manusia Aceh.

Sebagai penutup, Ada sebuah hadih maja yang cukup untuk menyimpulkan gagasan Aceh dagang, yaitu bloee siploh publo sikureueng, lam ruweueng tacok laba. (beli sepuluh jual sembilan, dalam celah (pasti) ada laba”).

Artikel Sebelumnya7 Provinsi di Indonesia di Awal Kemerdekaan yang Telah Bubar
Artikel SelanjutnyaMesut Jaga Jenazah Putrinya yang Tertimpa Bangunan
Moenawar Lhok
Seorang sarjana kependidikan. Sekarang bermukim di Singkil.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here