Dua hari setelah pernyataannya bergelinding liar, akhirnya Ketua DPW Aceh Partai NasDem Taufiqul Hadi, meminta maaf dan menarik kembali ucapannya. Agak sedikit mengecewakan, sebab kita semua barangkali sedang mengambil ancang-ancang untuk menyaksikan kembali para politisi bergumul dalam tarung gagasan, menampilkan argumentasi yang sarat intelektualitas dalam masing-masing pendapatnya dan mengembalikan kewibaan politisi yang selama ini dikenal sering konyol dan terlihat bak pelawak.
Hanya Tuhan yang tahu, keberanian macam apa yang tengah merasuki Taufiqul Hadi, saat mengeluarkan pernyataan yang cukup menghentak itu. Ia meminta Pemerintah Pusat memprakarsai agar bank konvensional kembali ke Aceh. Permintaan itu didasari oleh pertimbangannya terhadap tiga realitas, yaitu pertumbuhan ekonomi Aceh yang berada di bawah rata-rata nasional, tingginya inflasi, dan agar terciptanya kompetisi antar bank yang kemudian turut mendorong setiap bank termasuk bank syariah untuk meningkatkan kualitas pelayanannya yang selama ini dikenal buruk.
Baca juga: Teungku & Santri Jangan Gegabah Bela Qanun LKS
Pernyataan yang menghentak ini memang cukup mengejutkan banyak pihak. Sebab meski sebagian besar politisi, cendekia dan pengusaha di Aceh tidak sepakat dengan terusirnya bank konvensional, akan tetapi mereka tidak memiliki keberanian untuk bersuara. Mereka hanya berani menggumam di kamar mandi, berbisik-bisik di meja kopi saat teman mereka berdebat tentang isu ini.
Semua takut. Bagi sebagian politisi, isu ini tidak populis, dan mereka takut kehilangan konstituen karena akan dianggap antisyariah. Justru sebagian “petualang” politik kerap kali menunggangi isu ini, memanfaatkannya agar dapat mendekat kepada alim ulama, dan kemudian membangun branding sebagai tokoh yang peduli syariat. Meski dalam kenyataannya seringkali kita menemukan para “pemain sirkus” politik ini sebenarnya menggunakan isu tersebut untuk menaikkan elektabilitas partai, menambah perolehan kursi, dan menjadikan syariat sebagai ekspresi ritual-simbolik, alih-alih mengeluarkan kebijakan yang sarat dengan ruh dan nilai-nilai substansial syariat.
Baca juga: Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Hanya Sibuk Menghukum
Begitu pula dengan sikap cendekia, tak pernah kita dengar para pakar ekonomi tampil ke muka publik untuk menyampaikan kebenaran lewat ilmu ekonomi tentang penting atau tidaknya keberadaan bank konvensional dan peran sentralnya dalam ekosistem ekonomi modern, koneksitas ekonomi global dan gemuruh pembangunan saat ini. Barangkali para cendekia juga didera kekhawatiran, takut kehilangan posisi strategis sebagai dewan pengawas syariah atau khawatir tidak mendapat dukungan pada jabatan komisioner di lembaga-lembaga publik oleh pemegang otoritas sosial-agama.
Hanya sebagian pengusaha yang berani mengutarakan pendapatnya tentang keadaan ekonomi yang sebenar-benarnya sebagai akibat dari hengkangnya bank konvensional. Akan tetapi suara mereka kalah nyaring, dan sayup-sayup menyusut lalu hilang ditelan oleh kampanye massif para pendengung dan pemuja perbankan syariah.
Respon atas pernyataan Taufiqul Hadi pun seperti yang kita ketahui bergulir dengan begitu deras. Masyarakat terbelah, ada yang mengkritik dengan keras, ada pula yang ikut mendukung. Lini masa media sosial di Aceh kemudian ramai oleh perdebatan sengit, memunculkan pro dan kontra atas pernyataan Taufiqul Hadi. Akan tetapi yang paling berbahaya di tengah-tengah polemik ini adalah mengemukanya tuduhan antisyariat, yaitu sebuah framing nirmoral yang digunakan untuk membungkam siapapun yang hendak mengkritik perbankan yang katanya bersyariah itu.
Tuduhan ini tentu saja cukup berbahaya. Sebab dapat memicu persekusi sosial terhadap tiap-tiap masyarakat Aceh yang ingin memperbaiki paradigma dan persoalan-persoalan teknis dalam formalisasi syariat Islam. Tuduhan inilah yang mengarah langsung ke hadapan Taufiqul Hadi, atau siapapun yang kerap mengkritisi buruknya pelayanan perbankan yariah. Justru tuduhan-tuduhan ini serta dampak berbahaya yang timbul di kemudian hari, merupakan wujud paling nyata dari pelanggaran terhadap nilai-nilai syar’i. Dalam dalil maupun pendapat ulama manapun, Islam menolak bahkan memusuhi tiap-tiap perilaku yang mencerminkan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, fanatisme dan disorder sosial.
Tuduhan-tuduhan antisyariat ini jika terus dibiarkan dan menjadi kebiasaan, dapat meruntuhkan tatanan masyarakat. Orang akan takut berbicara, melakukan kritik dan memberi masukan. Padahal kemampuan membangun argumentasi dan kritisisme merupakan pranata penting yang harus dimiliki oleh nalar. Dan masyarakat yang hidup dalam tradisi penalaran yang kuat adalah tipikal masyarakat beradab. Namun di sisi lain maraknya tuduhan-tuduhan antisyariat dapat pula menumbuhkan kekacauan dalam masyarakat. Pihak-pihak tertentu dapat saja menggunakan sentimen antisyariat untuk melakukan persekusi massal kepada warga Aceh yang kritis. Artinya MPU selaku pemegang otoritas sosial-agama di Aceh bertanggung jawab melakukan pemblokiran sarana (Sadd al-Zara’i), bahwa respon berlebihan ini bisa saja dicari pembenarannya sebagai bentuk kecintaan terhadap Islam. Namun tetap saja respon ini lahir karena fanatisme yang tak terkendali dan berpotensi menimbulkan kekacauan, maka aksi atau tuduhan-tuduhan antisyariat harus segera dihentikan untuk mengantisipasi lahirnya kemudharatan yang lebih besar.
Jika pernyataan Taufiqul Hadi dilihat kembali dengan jujur dan jernih, maka kita akan menemukan suatu spirit dan usaha untuk menarik Aceh dari kubang kemiskinan dan kemerosotan ekonomi. Sesuatu yang seharusnya diberi apresiasi. Tidak ada satu pun bagian dari pernyataannya yang layak dianggap sebagai cerminan antisyariat. Justru yang dilakukannya bahkan turut memperkuat rajutan tenun syariat Islam yang tengah diperjuangkan oleh ulama Aceh. Bahwa ia misalnya mendukung pemulangan bank konvensional, tidak serta merta dapat dianggap sebagai anti syariat Islam.
Mengapa? Pertama, bahwa hingga saat ini keberadaan bank konvensional dengan segenap perannya yang kompleks, tidak hanya dalam peran simpan pinjam, masih diperdebatkan status hukumnya, apakah riba atau tidak, oleh para ulama di seluruh dunia. Sebagian mengatakan riba, sebagian tidak. Makanya hingga hari ini, tidak ada satupun negara Islam di dunia yang memberlakukan sistem perbankan tunggal seperti di Aceh.
Kedua, kembalinya bank konvensional di Aceh akan memacu bank-bank syariah untuk tidak lagi berada di zona nyaman monopolinya, sehingga mereka akan dengan cepat memperbaiki kualitas dan produk pelayanannya. Belakangan ini rasanya tidak ada hari yang masyarakat Aceh tidak berteriak tentang buruknya pelayanan bank syariah. Para pemuka agama, tokoh masyarakat bahkan pejabat publik juga sudah bersuara, meminta bank-bank syariah memperbaiki pelayanannya. Akan tetapi karena bank-bank Syariah ini percaya bahwa masyarakat tidak punya pilihan lain selain sistem mereka, maka sebanyak apa pun kritik, pelayanan mereka tetap sama dan tidak beranjak kemana-mana; tak berani ambil risiko pada sektor kredit rakyat, nihil inovasi dan miskin kreatifitas.
Meski pernyataannya sudah dicabut, namun apa yang disampaikan oleh Taufiqul Hadi, dan warga Aceh lainnya terkait polemik perbankan ini, perlu dilihat secara adil dan objektif. Respon yang berlebihan dan tidak pada tempatnya hingga tuduhan-tuduhan antisyariat yang tidak berdasar harus dienyahkan dari percakapan sehari-hari kita selaku masyarakat yang ingin hidup secara bermartabat dalam nilai-nilai keagungan Islam.