Komparatif.ID, Lhokseumawe— Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea Cukai Aceh KPPBC Tipe Madya Pabean C Lhokseumawe memusnahkan 290.000 batang rokok ilegal berbagai merek dan jenis, Jumat (3/5/2024).
Kepala Bea Cukai Lhokseumawe Agus Siswadi menjelaskan ratusan ribu batang rokok non-cukai yang dimusnahkan itu berasal dari pengungkapan peredaran rokok ilegal di daerah Simpang Rambong, Gampong Seumirah, Kecamatan Nisam Antara, Kabupaten Aceh Utara.
“Berdasarkan informasi yang diterima dari masyarakat, Kantor Bea dan Cukai Lhokseumawe berhasil melakukan penindakan terhadap upaya peredaran rokok ilegal di daerah Simpang Rambong, Gampong Seumirah, Nisam Antara, Aceh Utara,” terang Siswandi.
Dalam penindakan tersebut, Bea Cukai Lhokseumawe berhasil mengamankan 298.000 batang rokok ilegal berbagai merk dan jenis. Modus operandi yang dilakukan dengan menjual atau menyediakan untuk dijual Barang Kena Cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya. Barang tersebut hendak dipasarkan di daerah Aceh Tengah dengan perkiraan nilai barang mencapai Rp107.600.000.
Kerugian yang ditimbulkan dari peredaran rokok ilegal ini tidak hanya berupa kerugian materil, yaitu potensi penerimaan negara yang tidak tertagih dari pajak rokok dan cukai sebesar Rp390.255.800.
Baca juga: 9 Juta Batang Rokok Ilegal Dibakar Bea Cukai Aceh
Pelaku tindak pidana cukai ini terancam hukuman penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar, sesuai Pasal 54 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.
Dalam upaya mengedepankan hak-hak terpenuhinya Penerimaan Negara, Bea Cukai Lhokseumawe menyebut mencoba menerapkan prinsip Ultimum Remedium (penggunaan hukum pidana sebagai sebuah jalan akhir dalam penegakan hukum hukum perdata).
Namun, para pelaku menolak pembayaran sanksi administratif berupa denda sebesar empat kali nilai cukai yang seharusnya dibayar, sehingga proses penyidikan tetap berlanjut.
Penerapan asas Ultimum Remedium (UR) atas pelanggaran pidana di bidang cukai sejalan dengan konsep penegakan hukum di bidang perpajakan berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Hal ini juga mendukung pendekatan keadilan restoratif yang lebih objektif untuk merestorasi kerugian negara yang ditimbulkan oleh para pelaku. Kepala Bea Cukai Lhokseumawe menyebut proses penyelesaian tindak pidana di bidang cukai pun menjadi lebih cepat dan efisien dengan penerapan asas Ultimum Remedium (UR), serta memberikan efek jera karena keuntungan yang didapat tidak sebanding dengan denda yang harus dibayar.
“Namun para pelaku menolak menggunakan Asas Ultimum Remedium (UR) tersebut sehingga proses penyidikan yang berlangsung tetap dilanjutkan,” pungkas Siswandi.