Demokrasi dan Tantangan Pembangunan Aceh

demokrasi dan tantangan pembangunan Aceh. Rizalul Akbar. Foto: Ho for Komparatif.ID.
Rizalul Akbar. Foto: Ho for Komparatif.ID.

Hiruk pikuk warung kopi di Aceh kerap disertai hembusan ungkapan “Aceh sedang tidak baik-baik saja.” Kondisi ini yang mendorong naluri untuk menggali mengapa frasa tersebut membuncah di tengah menjamurnya warung kopi di Aceh. Satu sisi, kehidupan urban tampak glamor dan pembangunan Aceh terus digenjot.

Di sisi lain, rumor dan wacana kemiskinan di pinggiran Aceh justru mengisi obrolan di setiap kedai kopi, ada apa dengan Aceh, apakah demokrasi di Aceh tidak selaras dengan laju pembangunannya, bukankah Aceh dikenal dengan semangat keislaman yang seharusnya menurut Nurcholis Madjid, tak ada persoalan antara demokrasi dan Islam, kondisi ini memantik kegelisahan dan upaya pencarian mengapa Aceh masih merangkak dari sisi demokrasi dan pembangunan.

Memang, selama ini demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya berjalan maksimal. Beberapa studi menyebut jika demokrasi dan pembangunan lingkungan misalnya masih menjadi satu persoalan. Jakarta sendiri sebagai basis pembangunan Indonesia yang ditengarai memiliki indeks demokrasi tinggi, justru kualitas pembangunan lingkungannya bermasalah. Di saat bersamaan, di provinsi lain, kualitas lingkungan baik, pun demikian demokrasi identitas masih menjadi persoalan utama pembangunan. Termasuk Aceh, indeks pembangunan manusia dan demokrasi berbasis keagamaan hari ini terkesan merangkak.

Di Aceh sendiri demokrasi tak berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Studi BPS menempatkan Aceh sebagai provinsi papan bawah di Indonesia dalam indeks kemiskinan. Padahal, otonomi khusus di Aceh mengalir deras pundi rupiah, pertanyaannya, apakah ada yang salah dalam demokrasi dan pembangunan di Aceh?

Dari catatan sejarah, beberapa studi menyebutkan, jika pasca perang dunia kedua hingga sekarang hubungan demokrasi dan pembangunan menjadi salah satu perbincangan yang hangat. Sejatinya, demokrasi dapat mendukung proses pembangunan dan menunjang proses demokratisasi baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal. Demokrasi telah menjadi pilihan negara bangsa, bahkan salah satu pilar demokrasi ada partisipasi yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan.

Konsep pembangunan yang komprehensif menekankan pada aspek manusia, manusia merupakan subjek dan objek di dalam pembangunan, keikutsertaan atau partisipasi masyarakat di dalam pembangunan menyebabkan hasil pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di dalamnya. Selain itu, muncul pendapat bahwa proses pembangunan yang komprehensif dapat mendukung proses demokratisasi (Siti Watianti, 2016).

Baca juga: Curhat Seorang Anggota Dewan (1)

Pembangunan manusia di Aceh, sejatinya mampu meningkatkan taraf hidup manusia dari sisi ekonomi. Apalagi, Banyak studi pembangunan kerap dikaitkan dengan demokrasi, beberapa kajian pembangunan dari segi prosesnya, seperti transparansi atau keterbukaan dalam pembangunan, partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dan akuntabilitas dalam pembangunan, serta penegakan hukum dalam pembangunan dan lain sebagainya. Hasil dari pembangunan pada kenyataannya tidak selamanya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat di dalam suatu negara terutama di negara berkembang, termasuk Aceh.

Masalah Pembangunan Aceh

Problem mendasar ternyata sistem demokrasi kerap digebuk oleh persoalan korupsi dan nepotisme. Penangkapan beberapa elit di Aceh menunjukkan lemahnya kontrol demokrasi dalam konteks kejujuran dan keadilan yang seharusnya menjadi prinsip hidup orang Aceh yang telah mengikrarkan diri sebagai basis dari penegakan hukum Islam.

Kesejahteraan dan pembangunan bahkan kerap hanya dirasakan oleh segelintir elite saja, apa yang diistilahkan dengan trickle down effect, artinya tidak terjadi pemerataan hasil pembangunan. Sehingga hal inilah yang menimbulkan reaksi ketidak percayaan masyarakat Aceh terhadap elitnya. Tak hanya di level instansi pemerintah, bahkan di level Mukim saja, pemerintah terkesan tidak serius dalam pembangunan secara adil. Pembangunan pada akhir-akhir ini lebih dipusatkan pada infrastruktur. Model pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered) justru terabaikan, termasuk di dalamnya budaya dan adat yang sejatinya menjadi penopang demokrasi.

Budaya dan adat Aceh telah memberikan bukti empiris mampu meningkatkan kualitas manusia dalam berbagai aktivitas kehidupan untuk mendorong terciptanya kegiatan produktif yang bernilai tinggi. Tapi, kini diabaikan secara serius.

Pemilukada 2024 menjadi ajang penting dalam pembangunan demokrasi di Aceh. Stiglitz dalam studi Siti Watianti (2016) mengemukakan bahwa pembangunan memerlukan adanya perubahan cara berpikir, dimana perubahan tersebut tidak hanya dapat diperintah atau dipaksa dari luar, akan tetapi perubahan itu harus datang dari dalam masyarakat itu sendiri.

Pembangunan tersebut harus mengakar di masyarakat melalui diskusi terbuka di ruang publik dan harus partisipatoris di dalam prosesnya. Partisipasi dalam hal ini dimaksudkan untuk menjadikan masing-masing rakyat turut menentukan kebijakan pembangunan. Partisipasi masyarakat juga dibutuhkan agar perubahan ekonomi yang terjadi tidak menghilangkan hak-hak sipil dan akses rakyat dalam mempengaruhi kebijakan yang menyangkut hidupnya. Maka, pemilihan harus benar-benar demokratis, intimidasi politik harus disingkirkan. Aceh mesti bangkit dari keterpurukan.

Terakhir, untuk mewujudkan pembangunan berbasis demokrasi yang baik di Aceh, maka partisipasi masyarakat perlu digenjot, sehingga proses perumusan kebijakan tidak hanya dibuat oleh segelintir elit di pemerintah yang menyebabkan pembangunan di Aceh tidak merata dan tidak terarah, proses perumusan kebijakan harus bersifat bottom up.

Desentralisasi harus menjadi alternatif dalam demokratis, desentralisasi dianggap penting membawa kebijakan pembangunan lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, lingkungan, pasar lokal, perusahaan-perusahaan swasta, dan struktur pemerintah lokal harus selalu sama dan berjalan beriringan. Produk kebijakan sentralisasi harus lebih bervariatif dalam pembangunan Aceh dengan basis demokrasi yang mapan.

Artikel SebelumnyaSetiap Tahun 15 Ribu Wanita Indonesia Terkena Kanker Serviks
Artikel SelanjutnyaWarkop di Aceh Hanya Boleh Buka Hingga Pukul 12 Malam
Rizalul Akbar
Pengamat Demokrasi Mukim Aceh dan Peneliti Lheesagoe Press

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here