Komparatif.ID, Banda Aceh— Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menyebut PT. Sawit Panen Terus (PT. SPT) belum mengantongi izin perizinan apapun termasuk land clearing untuk membuka perkebunan sawit di Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah (Sekda) Subulussalam Sairun mengatakan PT. SPT sudah memiliki surat hak milik (SHM) dengan mengganti rugi lahan milik masyarakat.
“Terkait dengan Penguasaan Alas Hak, PT. SPT itu sudah memiliki SHM yang dilakukan dengan cara ganti rugi kepada Masyarakat,” kata Sairun mengutip rri.co.id di kantor Walikota Subulussalam, Kamis, (27/6/2024).
Sairun juga mengatakan berdasarkan surat yang diterbitkan UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah VI, areal PT. SPT berada di luar kawasan hutan.
Namun, keterangan Sairun tersebut dibantah Walhi Aceh. Kadiv Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Acal mengatakan berdasarkan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha Nomor: 30052410211175002 milik PT. SPT, luas lahan yang diizinkan mencapai 1.275,3 hektar yang dikeluarkan pada 30 Mei 2024. Namun, aktivitas land clearing sudah berlangsung lebih dari satu tahun, meskipun belum ada dokumen izin apapun.
“Luasnya mencapai 12.750.331,45 Meter Persegi atau setara dengan 1.275,3 hektar yang dikeluarkan pada 30 Mei 2024. Sementara aktivitas land clearing sudah berlangsung sekitar satu tahun lebih, padahal belum ada dokumen izin apapun,” terang Acal dalam siaran resmi Walhi Aceh yang diterima Komparatif.ID, Senin (1/7/2024).
Berdasarkan analisis spasial WALHI Aceh, titik koordinat dalam dokumen tersebut menunjukkan aktivitas land clearing telah dimulai sejak Maret 2023. Acal mengatakan kondisi hutan belum parah sebelum pembukaan yang semakin masif pada akhir 2023 lalu.
Pada awalnya, kondisinya belum terlalu parah, hanya terdapat di beberapa titik saja. Namun, pembukaan lahan semakin masif hingga akhir 2023.
“Berdasarkan titik koordinat yang tertera di dokumen, aktivitas land clearing sudah berlangsung sejak Maret 2023 lalu. Saat itu, kondisinya belum terlalu parah, hanya terdapat di beberapa titik saja. Selanjutnya pembukaan lahan semakin masif di lokasi titik koordinat hingga akhir 2023 lalu,” lanjutnya.
Berdasarkan pantauan citra satelit, Walhi menyebut kondisi semakin parah dan masif terjadi pembukaan tutupan hutan memasuki 2024, yaitu sejak Januari hingga April. Luas yang sudah terbuka mencapai lebih dari 1.706 hektar.
WALHI Aceh menduga hal ini menjadi faktor penyebab pencemaran air di beberapa sungai di Kecamatan Daulat, Kota Subulussalam. Dari peta satelit yang dipantau WALHI Aceh, Daerah Aliran Sungai (DAS) Lae Beski yang berada di beberapa desa di Kecamatan Sultan Daulat hulunya langsung berada di lokasi land clearing yang dilakukan oleh PT SPT.
Aliran dari DAS tersebut mengalir ke beberapa alur lainnya hingga ke sungai di Desa Singgersing yang sempat viral beberapa waktu lalu.
“DAS Lae Beski yang berada di beberapa desa di Kecamatan Sultan Daulat hulunya langsung berada di lokasi land clearing yang dilakukan oleh PT SPT. Lalu, dari DAS tersebut mengalir ke beberapa alur lainnya hingga ke sungai di Desa Singgersing yang sempat viral beberapa waktu lalu,” ungkap Acal.
Ironisnya, aktivitas yang dilakukan oleh PT SPT selama hampir satu tahun itu tidak memiliki dokumen izin apapun. Walhi mengungkapkan Surat Hak Milik (SHM) yang dibeli oleh perusahaan sebagaimana disampaikan oleh Sekda Subulussalam bukanlah izin untuk membuka perkebunan sawit.
Acal mengatakan SHM hanya menjadi dokumen awal untuk pengurusan izin lainnya agar sebuah perusahaan dapat beraktivitas lebih lanjut. Dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha yang diperoleh WALHI Aceh baru diterbitkan dan dicetak pada 30 Mei 2024 atas nama Wali Kota Subulussalam Kepala DPMPTSP Kota Subulussalam yang ditandatangani secara elektronik.
Baca juga: Krisis Deforestasi di Abdya, WALHI Desak Penegakan Hukum Tegas
Hal Ini menurut Walhi Aceh menjadi bukti bahwa PT. SPT telah melakukan aktivitas tanpa izin dan beroperasi secara ilegal.
“Dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha yang WALHI Aceh peroleh baru diterbitkan dan dicetak pada 30 Mei 2024 atas nama Wali Kota Subulussalam. Ini semakin jelas menunjukkan, mereka (PT. SPT) melakukan aktivitas selama ini tidak mengantongi izin apapun dan dapat disimpulkan beroperasi secara ilegal,” imbuh Acal.
Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Shalihin meminta agar Sekda Subulussalam tidak asal bunyi, tidak menjadi humas perusahaan, dan memeriksa regulasi pembukaan perkebunan sawit.
“Jadi Sekda itu jangan asbun, jangan jadi Humas perusahaan dan cek dulu regulasinya,” ujar Ahmad Shalihin, Senin (1/7/2024).
Karena itu, Shalihin meminta pemangku kepentingan Kota Subulussalam tidak mengaburkan informasi dan menyampaikan pernyataan yang menyesatkan publik.
Ia menjelaskan perusahaan perkebunan sawit, terlebih Skala Usaha Besar harus melalui beberapa proses tahapan perizinan seperti Izin Usaha Perkebunan dan Budidaya (IUP-B), Izin Lingkungan yang mencakup Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) yang harus disetujui oleh pemerintah.
Jika lahan yang akan digunakan adalah lahan berhutan, perusahaan juga perlu mengantongi Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) untuk penebangan pohon. Setelah semua dokumen tersebut dipenuhi, perusahaan sawit baru dapat mengajukan Hak Guna Usaha (HGU) untuk penggunaan lahan selama periode tertentu.
HGU biasanya diberikan izin penggunaannya minimum 25 tahun dan maksimum 35 tahun, setelah itu HGU dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan hasil evaluasi pemerintah.
“Bila belum ada semua dokumen tersebut, perusahaan sawit tidak boleh melakukan land clearing, kalau ada yang melakukan, berarti itu ilegal,” tegasnya.