Komparatif.ID, Tapaktuan— Tim Peneliti Sejarah dan Budaya Jalur Rempah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Teungku Dirundeng Meulaboh, yang diketuai oleh Dr. Inayatillah, M.Ag, bertemu dengan Pemkab Aceh Selatan.
Dalam audiensi yang berlangsung pada Jumat (19/8/2022) STAIN Teungku Dirundeng dan Pemkab Aceh Selatan sepakat melakukan penguatan jalur rempah sebagai warisan budaya pantai barat.
Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Selatan, Akmal AH, S.P, yang disampingi Kabid Budaya, Hendri, menyebutkan studi jalur rempah pantai barat Aceh telah dilakukan selama tiga bulan oleh tim peneliti STAIN Meulaboh, dan menemukan ragam data jejak rempah yang cukup membanggakan.
Arkeolog STAIN Meulaboh Jovial Pally Taran, yang pernah melakukan eskavasi Sejarah Islam di Maladewa menyebutkan berdasar temuan di lapangan, pantai barat Aceh pantas dimasukkan dalam destinasi pusat rempah Aceh.
“Di sini terjadi tiga peristiwa sejarah penting dalam konteks perdagangan lada. Seperti adanya negeri seperti Singkel Lama, Trumon sebagai penghasil lada terbesar abad ke-17 M, Susoh dan Kuala Batee yang pernah berseteru dengan Amerika Serikat karena persoalan rempah lada,” kata Jovial.
Antropolog STAIN Meulaboh-Muhajir Al-Fairusy menyebutkan penelitian jejak rempah penting dilakukan, guna membuktikan barat selatan Aceh sebagai salah satu jalur rempah yang cukup penting, selain kawasan pantai timur utara Aceh maupun Banda Aceh dan Aceh Besar.
Tak hanya rempah, pantai barat Aceh harus memaikan peranan penting dalam konteks peradaban Islam di Aceh melalui corak khasnya; tasawuf. Rempah dan agama memainkan peran serius di Kawasan tersebut.
“Karena itu, sehubungan pula dengan program Pemerintah Pusat mencanangkan jalur rempah Nusantara sebagai bagian dari warisan dunia yang ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2024, pantai Barat Aceh harus masuk salah satu destinasi sejarah rempah.
Dengan adanya penguatan ini maka akan berdampak terhadap berbagai sisi kehidupan, seperti pemberdayaan ekonomi, konservasi situs sejarah dan melestarikan tradisi lokal khususnya dalam penanaman kembali lada hitam dan rempah-rempah Aceh lainnya.”
Dalam rangka penguatan studinya mengenai jalur rempah, STAIN Meulaboh melibatkan tiga rumpun pengetahuan; historiografi, arkeologi dan antropologi.
“Sumber daya manusia di STAIN Meulaboh mencukupi kebutuhan ilmuan untuk mewujudkan misi jejak rempah pantai barat Aceh,” sebut Inayatillah.
Kepala Bidang Kebudayaan Disdik Aceh Selatan, Hendri, dalam pertemuan itu menjelaskan misi jejak rempah perlu kolaborasi antara Pemkab dan kampus, dan dalam konteks tersebut STAIN Meulaboh.
Potensi pantai barat bukan hanya jejak rempah dalam arti sempit, tapi juga banyak sekali objek budaya tinggalan masa lalu yang perlu dirawat, yang sampai saat ini juga belum dimasukkan ke dalam daftar resmi cagar budaya di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dari temuan 117 baik berupa budaya kebendaan maupun budaya tak benda, baru 15 objek budaya yang terdaftar. Sisanya masih belum menjadi perhatian.
Untuk itu ia berharap dengan kehadiran perguruan tinggi seperti STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, dapat membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya jejak peninggalan masa lalu baik yang berupa tangible (kebendaan) maupun intangible (ide/gagasan).
“Aceh Selatan kini memegang status sebagai juara umum Pekan Kebudayaan Aceh terakhir (VII) tahun 2018. Sudah sepatutnya mencerminkan kesadaran pemerintah dan masyarakatnya dalam merawat seni dan budaya yang ada.”
Dalam pertemuan tersebut STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Selatan, sepakat bekerjasama untuk memperkuat jalur rempah pantai barat sebagai jejak rempah nusantara.
Sebagai bagian dari kerjasama, kedua instansi barat selatan ini juga akan berkolaborasi menerbitkan hasil penelitian jalur rempah pantai barat Aceh baik dalam bentuk booklet maupun buku referensi.