Robohnya Mimbar Masjid Raya Baiturrahman

Mimbar Masjid Raya Baiturrahman
Miswar Ibrahim Njong. Ketua Rabithah Thaliban Aceh. Foto: Dok. Pribadi.

“Di atas mimbar Masjid Raya Baiturrahman Anies-Imin melakukan hal paradoks. Seolah-olah akan menjadi oposisi pemerintah. Di sisi lain Imin terus melakukan pendekatan menjadi mitra koalisi Prabowo-Gibran.”

Sehari setelah ditunjuk menggantikan Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab muncul secara publik untuk menyampaikan pidatonya untuk yang pertama kali sebagai khalifah baru umat Islam di atas mimbar Masjid Nabawi, Madinah.

Sesaat berdiri di sana, pandangannya menyapu seluruh para sahabat yang hadir. Situasi hening bercampur tegang. Umar yang dikenal sebagai sahabat dengan karakter yang cukup keras dan kaku, melakukan gerak gerik yang menimbulkan tanda tanya hadirin.

Baca: Mengapa PAS Aceh Belum Menang?

Sebelum menyampaikan sepatah kata apapun, Umar yang masih berdiri di atas mimbar bertangga itu turun satu langkah. Sebentar saja di tangga kedua, Umar juga masih ragu. Tak lama, ia pun turun ke anak tangga yang ke tiga. Di situlah Umar merasa nyaman menjejakkan kakinya dalam menghadapi situasi nan menggetarkan kala itu.

Sebelum para sahabat dan kaum muslimin yang hadir riuh oleh tindakannya, Umar lalu mengawali pidatonya dengan mengatakan bahwa dirinya gusar jika harus berdiri pada maqam, posisi di mana Rasulullah SAW biasa menyampaikan wahyu yang datang langsung dari Allah SWT. Saat turun ke anak tangga kedua, ia juga ragu sebab inilah tempat lazimnya Abu Bakar Shiddiq berkhutbah, sahabat yang paling dipercaya oleh Nabi SAW sekaligus sosok tempat Umar berguru dalam banyak kebijaksanaan dan keputusan ijtihadi.

Lantas saat Umar turun ke anak tangga yang ketiga, ia merasa itulah tempat di mana dirinya seharusnya berada untuk berpidato. Umar merasa tidak pantas berpijak di bekas Rasul dan Abu Bakar Shiddiq berdiri. Umar yang dikenal pemberani dan juga telah dipastikan masuk surga oleh Nabi SAW dihinggapi kegentaran, dan merasa tak punya adab serta etika jika harus berpidato di posisi Nabi dan Abu Bakar biasanya berbicara.

Setidaknya etika itulah yang diperlihatkan manusia sekaliber Umar, sekaligus menunjukkan betapa terhormatnya keberadaan mimbar masjid dalam sejarah kewahyuan dan peradaban Islam. 

Siapapun yang berbicara di atas mimbar masjid, apakah ia pendakwah atau calon presiden yang gagal terpilih atau bahkan presiden konstitusional sekalipun, harus memiliki kesadaran iman dan etika, bahwa ia sedang menjejakkan kakinya di posisi sakral, tempat di mana sekali-kali ia tidak boleh membicarakan atau pun bahkan memiliki niat yang dapat menguntungkan kepentingan duniawi kelompok dan personalnya.

Politik Anies-Imin di Atas Mimbar Masjid Raya Baiturrahman 

Namun demi melihat pemandangan di Masjid Raya Baiturrahman sesaat setelah prosesi ibadah Salat Jumat usai (03/05/2024), dengan segera saya dilanda oleh suatu kemasygulan dan perasaan malu yang tak terelakkan sebagai muslim dan orang Aceh, terutama manakala Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menaiki mimbar Masjid Baiturrahman.

Hampir tak pernah dalam sejarah Aceh, bahkan mungkin di sejarah dunia manapun, terdapat dua orang sekaligus berdiri dan berpidato di atas tempat sesakral mimbar masjid, yang membicarakan agenda politik elektoral pula. Akan tetapi Anies dan Cak Imin melakukannya dengan gamblang, dengan gestur seorang penakluk, tanpa perasaan sungkan seperti yang ditunjukkan oleh Umar bin Khattab.

Di atas mimbar Masjid Raya Baiturrahman –masjid kebanggaan orang Aceh– Anies dan Cak Imin secara bergantian mengucapkan rasa terima kasihnya atas dukungan masyarakat Aceh pada pilpres kemarin. 

Cak Imin bahkan berjanji akan terus melanjutkan perjuangan dan perjalanan mereka hingga kiamat. Suatu pernyataan yang cukup paradoks mengingat pada saat yang sama partai-partai pengusung mereka berdua sedang membangun komunikasi dan lobi agar dapat masuk dalam pemerintahan yangd imenangkan oleh lawan politik mereka, Prabowo-Gibran. Namun tetap saja, kalimat yang diucapkan oleh Anies dan Cak Imin itu disambut oleh pekik takbir dan amin dari jamaah.

Sepanjang keberadaan Anies dan Cak Imin di atas mimbar Masjid Raya Baiturrahman, para jamaah yang belum pulang berdesakan memadati area depan dan pinggir tempat khatib biasa memberikan khutbah itu sambil mengacungkan kamera handphone.

Dua orang fotografer menyusul Anies dan Cak Imin menaiki mimbar untuk kemudian mengabadikan momentum demi momentum bersejarah itu. Saya menyaksikan mimbar masjid dan suasana kerumun di sekelilingnya itu tak ubahnya seperti podium politik sebuah pasangan yang sedang habis-habisan berorasi dalam suatu parade kampanye jalanan.

Peristiwa ini memang berlangsung tidak begitu lama untuk ukuran sebuah agenda politik. Akan tetapi ini akan menjadi tonggak sejarah baru dalam kebudayaan Aceh. Ya, Anies dan Cak Imin telah berhasil membuat sejarah baru itu, dengan melucuti salah satu nilai paling transendental dalam kehidupan orang Aceh yaitu sakralitas.

Mimbar Masjid Raya Baiturrahman dan mimbar-mimbar masjid lainnya di Aceh merupakan salah satu simbol sakralitas orang Aceh sebagai muslim. Ia tak pernah digunakan selain pada momentum-momentum paling penting dan genting. 

Siapapun yang berdiri di sana, jika ia bukan munafik dalam agama dan beriman dengan sepenuh jiwa dan hatinya, pasti ia akan merasakan getar kehadiran Tuhan dan Nabinya. Sehingga orang Aceh yang haus terhadap pengakuan akan keberanian sekalipun kadang mesti mundur jika disuruh berbicara di atas mimbar masjid. Hampir tak pernah ada politisi besar Aceh yang punya nyali menggunakan mimbar masjid untuk kepentingan politiknya.

Dengan menggunakan mimbar Masjid Raya Baiturrahman untuk menyampaikan orasi politiknya, Anies dan Cak Imin telah berhasil menghancurkan salah satu benteng sakralitas orang Aceh yang bahkan tak bisa ditembus oleh penjajah manapun kecuali dengan propaganda dan penyamaran seperti yang dilakukan Snouck saat berceramah di Masjid Raya. 

Dengan demikian, Anies dan Cak Imin bahkan berhasil membentuk mental dan kesadaran baru bahwa mimbar masjid hanyalah hal-hal yang bersifat profan, yang tak memiliki pertalian apapun dengan Tuhan.

Mengapa Anies sampai memiliki keberanian macam begini? Jika ia kerap memakai dalil etika saat menyerang Prabowo-Gibran dalam debat, bahkan juga ia gunakan dalam gugatannya di Mahkamah Konstitusi, harusnya ia insaf bahwa menggunakan mimbar masjid untuk membicarakan agenda politik juga sama tidak beretikanya.

Namun agaknya Anies mengabaikan persoalan itu belaka. Di samping ia telah terbakar oleh perasaan dan citranya sendiri sebagai sosok yang menjadi simbol oposisi nasional, Anies juga menganggap Aceh sudah menjadi rumahnya, dan ia adalah Abah, kepala keluarga di rumah itu. Dengan demikian ia dapat bersikap, bahkan menetapkan standar etik sesukanya. 

Sementara Cak Imin? Ia selalu bertindak dengan ketajaman instingtif, momentum dirinya tampil di atas mimbar Masjid Raya Baiturrahman menjadi salah satu upaya untuk menjaga nafas politik agar partainya bisa memenangkan ingatan masyarakat sekaligus merawat kesuksesan elektoral di Aceh.

Oleh Miswar Ibrahim Njong, Ketua Umum Rabithah Thaliban Aceh.

Artikel SebelumnyaKapolda Minta Personel Polres Bireuen Berikan Pelayanan Terbaik
Artikel SelanjutnyaIswanto Pimpin Upacara Peringatan HUT Jantho ke-40
Miswar Ibrahim Njong
Direktur Program Pascasantri Aceh.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here