Pengungsi Rohingya di Aceh dan Tantangan Kemanusiaan

Rohingya di Aceh dan Tantangan Kemanusiaan Forum konsultasi masyarakat sipil di Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pidie, Sigli pada Selasa (2/7/2024). Foto: Komparatif.ID/Harmadi.
Forum konsultasi masyarakat sipil di Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pidie, Sigli pada Selasa (2/7/2024). Foto: Komparatif.ID/Harmadi.

Komparatif.ID, Sigli— Keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh menjadi topik utama dalam forum konsultasi masyarakat sipil yang diadakan di Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pidie, Sigli, Selasa (2/7/2024).

Diskusi tersebut dipandu oleh Kepala Kesbangpol Pidie, Teuku Iqbal bersama akademisi Universitas Malikussaleh, DR Amrizal J Prang SH, dan Ketua Forum Kebangsaan Umat Beragama (FKBU) Tengku Junaidi Usman SHI.

Pidie dipilih sebagai lokasi pelaksanaan diskusi ini karena wilayah tersebut menjadi salah satu lokasi pendaratan pengungsi Rohingya sejak Desember 2023.

Diskusi dibuka Asisten III Setdakab Pidie Sayuti, ia menjelaskan jumlah pengungsi Rohingya di Pidie saat ini mencapai 406 orang yang tersebar di dua lokasi: 277 orang di kamp penampungan Mina Raya dan 179 orang lainnya di Kulee.

“Saat ini jumlah pengungsi Rohingya di Pidie sebanyak 406 orang. Mereka tinggal di dua lokasi yang disediakan pemerintah setempat, yakni 277 orang di kamp penampungan Mina Raya dan 179 orang lainnya di Kulee. Pemerintah Kabupaten Pidie termasuk cukup aktif membantu penanganan mereka,” ujar Sayuti.

Sayuti menyebut Pemerintah Kabupaten Pidie aktif membantu penanganan pengungsi dengan merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang pengungsi dari luar negeri.

Namun, ia menjelaskan tidak dapat mengalokasikan dana untuk penanganan pengungsi karena secara aturan tidak ada ruang bagi pemerintah daerah untuk menangani pengungsi secara finansial. Sejauh ini, penangan pengungsi Rohingya dilakukan secara gotong royong atas dasar kemanusiaan.

Kepala Kesbangpol Pidie Teuku Iqbal menyebut kehadiran pengungsi Rohingya di Aceh sempat menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat.

Ada yang menolak dengan alasan perilaku pengungsi yang dinilai tidak terpuji, sementara yang lain menerima mereka atas dasar kemanusiaan.

“Kehadiran pengungsi Rohingya di Aceh sempat memunculkan perdebatan di masyarakat. Ada beberapa yang menolak tapi banyak pula yang menerima atas dasar kemanusiaan. Kelompok yang menolak merasa keberatan karena menilai pengungsi itu banyak yang berperilaku tidak terpuji,” terang Iqbal.

Baca juga: 16 Rohingya Padang Tiji Dipindahkan Ke Makassar

Menyikapi penolakan tersebut, Tengku Junaidi Usman mengingatkan masyarakat agar tidak menggeneralisasi perilaku buruk beberapa pengungsi kepada seluruh komunitas. Menurutnya, sangat tidak etis untuk menyakiti mereka yang sudah menderita.

“Jangan hanya karena ada yang berperilaku buruk, langsung disalahkan semua pengungsinya. Mereka orang yang menderita. Sangat tidak etis menyakiti mereka hanya karena ada yang berperilaku tidak baik,” kata Junaidi.

Ia juga menekankan meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB 1951 tentang pengungsi, negara tetap memiliki tanggung jawab berdasarkan Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia tahun 1990 yang menekankan pentingnya bantuan kepada pengungsi korban kekerasan.

“Kita harus ingat, ada Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia tahun 1990 yang disepakati organisasi Negara Islam Internasional (OKI). Indonesia termasuk di dalam organisasi itu,” lanjut Junaidi.

Junaidi menyebut penolakan sebagian masyarakat terhadap pengungsi seringkali dipengaruhi oleh hoaks. Ia mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dalam menerima informasi mengenai pengungsi Rohingya.

“Aceh ini termasuk wilayah yang tinggi penyebaran hoaksnya. Masyarakat sebaiknya hati-hati mencerna informasi soal Rohingya. Mereka itu sedang dalam kesulitan karena tidak ada negara yang mengakui mereka. Sebaiknya kita bantu,” kata Junaidi.

Senada dengan Junaidi, hal yang sama juga disampaikan Amrizal J Prang. Ia menegaskan meskipun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi PBB 1951, negara memiliki Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Perpres Nomor 125/2016 yang menjelaskan norma-norma dalam menangani pengungsi konflik. Karena itu menurutnya tidak semestinya Indonesia menolak kehadiran pengungsi Rohingya.

“Kita punya Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Perpres Nomor 125/2016 yang didalamnya dijelaskan norma dalam menangani pengungsi konflik. Jadi tidak seenaknya kita harus memulangkan mereka,” imbuh Amrizal.

Artikel SebelumnyaProjo Dukung Mualem Pada Pilkada Aceh 2024
Artikel SelanjutnyaBustami Masuk Radar NasDem Sebagai Calon Gubernur Aceh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here