Jauh sebelum Bung Karno mempopulerkan kopiah sebagai simbol nasional, Aceh sudah memiliki kopiah khas yang dikenal dengan nama Kopiah Riman, sebuah warisan budaya dari masa Sultan Iskandar Muda yang terus bertahan hingga kini.
Komparatif.ID, Banda Aceh— Kopiah, atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan peci, sudah lama menjadi salah satu simbol penting bagi masyarakat Indonesia. Tidak hanya sebagai penutup kepala, kopiah juga memiliki makna mendalam sebagai simbol kepribadian bangsa yang tak dimiliki oleh negara lain.
Ketika berbicara tentang kopiah, nama Bung Karno sebagai bapak peci nasional pasti langsung terlintas. Sosok proklamator ini dikenal kerap mengenakan kopiah dalam berbagai kesempatan, baik di dalam maupun luar negeri, menjadikannya sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah dan lambang kepribadian bangsa Indonesia.
Namun, jauh sebelum Bung Karno lahir dan mempopulerkan kopiah sebagai simbol nasional, Aceh sudah memiliki kopiah khas yang dikenal dengan nama Kopiah Riman, sebuah warisan budaya dari masa Sultan Iskandar Muda yang terus bertahan hingga kini.
Kopiah Riman bukan sekadar penutup kepala biasa. Kopiah ini memiliki sejarah panjang yang bermula sejak abad ke-17, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, penguasa Kesultanan Aceh Darussalam.
Pada masa itu, Kopiah Riman hanya dikenakan oleh kaum bangsawan Aceh, menjadikannya simbol status sosial yang tinggi. Kopiah ini dibuat dengan bahan alami dari serat pohon aren yang melimpah di daerah Aceh.
Tidak hanya digunakan sebagai aksesori, Kopiah Riman juga dihargai sebagai karya seni yang memiliki nilai estetika tinggi, berkat motif-motif khas Aceh yang menghiasi permukaannya.
Bentuk dari Kopiah Riman sendiri ada dua jenis, yakni bulat dan lonjong, yang masing-masing diberi motif tradisional Aceh. Setidaknya ada 20 motif berbeda yang telah dikembangkan, menjadikan setiap kopiah sebagai karya seni unik yang tidak hanya berfungsi sebagai penutup kepala, tetapi juga sebagai penanda identitas budaya.
Motif-motif tersebut menambah keindahan dan nilai jual Kopiah Riman, sehingga di masa lalu hanya bisa dimiliki oleh kalangan lelaki dari lapisan menengah ke atas.
Meskipun terlihat sederhana, proses pembuatan Kopiah Riman sangat rumit dan membutuhkan keterampilan khusus. Dibutuhkan kesabaran dan ketelitian, karena satu kopiah dapat memakan waktu hingga satu bulan untuk dibuat.
Baca juga: Nagari Pariangan, Desa Terindah di Dunia
Prosesnya dimulai dengan pengumpulan serat pohon aren oleh kaum lelaki, yang kemudian diolah lebih lanjut oleh kaum wanita. Mulai dari pemilihan serat hingga proses pewarnaan dilakukan secara manual dengan menggunakan bahan-bahan alami seperti lumpur dan daun-daunan lokal.
Pewarnaan ini memerlukan waktu dan ketelitian tinggi, karena serat-serat tersebut harus melalui beberapa kali proses perendaman dan perebusan sebelum siap digunakan untuk merajut kopiah.
Pembuatan Kopiah Riman dimulai dengan pengolahan serat menjadi benang. Proses ini memakan waktu sekitar seminggu, dan benang yang dihasilkan biasanya memiliki warna hitam dan kuning emas, yang menjadi ciri khas Kopiah Riman.
Proses pembuatan benang dari serat pohon aren sendiri melibatkan beberapa tahap yang cukup panjang. Setelah serat dikumpulkan dan dipisahkan berdasarkan tingkat kekasarannya, serat tersebut direndam dalam campuran daun-daunan dan lumpur, kemudian dijemur hingga kering sebelum digunakan untuk merajut kopiah.
Pewarnaan dilakukan dengan merebus serat dalam belanga yang berisi campuran daun keladi, daun bunga tanjung, dan putik kelapa selama 10 jam, memberikan warna alami yang indah pada benang tersebut.
Setelah proses pewarnaan selesai, benang-benang dari serat pohon aren tersebut dilumpurkan selama dua hari sebelum diangkat dan dicuci kembali. Proses perendaman dalam lumpur ini diulang hingga tiga kali untuk memastikan warna yang dihasilkan sempurna.
Setelah itu, benang-benang tersebut dirajut menjadi Kopiah Riman oleh para pengrajin. Setiap tahap dari proses ini memerlukan ketelatenan dan kesabaran, menciptakan produk akhir yang tidak hanya indah tetapi juga sarat akan makna budaya.
Meskipun pada awalnya Kopiah Riman hanya dibuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi, kerajinan ini kembali dihidupkan pada tahun 1985 seiring dengan meningkatnya permintaan.
Kini, Kopiah Riman tidak hanya menjadi aksesori budaya, tetapi juga menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat di Desa Dayah Adan, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie.
Desa ini dikenal sebagai pusat pembuatan Kopiah Riman, dan hampir setiap keluarga di sana memiliki keahlian dalam merajut kopiah ini. Keahlian ini diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikan Desa Dayah Adat sebagai salah satu penjaga warisan budaya Aceh yang berharga.
Kopiah Riman bukan sekadar penutup kepala, tetapi juga simbol kebanggaan dan identitas bagi masyarakat Aceh. Seiring dengan berjalannya waktu, kopiah ini tetap bertahan sebagai salah satu warisan budaya yang tak lekang oleh perubahan zaman.
Dalam setiap rajutannya tersimpan cerita tentang kejayaan masa lalu Aceh, sekaligus harapan untuk masa depan yang lebih baik. Dengan nilai estetika dan sejarah yang kuat, Kopiah Riman akan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Aceh, dan Indonesia secara keseluruhan.
Warisan Sultan Iskandar Muda ini terus hidup dan memberikan kontribusi bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Aceh hingga saat ini.