
Komparatif.ID, Banda Aceh— Lima keuchik dari Aceh menggugat Pasal 115 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan uji materi tersebut dimohonkan oleh lima kepala desa yakni Venny Kurnia, Syukran, Sunandar, Badaruddin, dan Kadimin.
Diwakili kuasa hukum Febby Dewiyan Yayan, mereka meminta masa jabatan keuchik di Aceh berlaku sama seperti aturan nasional, yaitu delapan tahun dan dapat kembali dipilih satu kali.
Saat ini, berdasarkan UUPA, keuchik dipilih secara langsung oleh masyarakat untuk masa jabatan enam tahun dan hanya bisa menjabat dua periode.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani pada Senin (28/4/2025), Febby Dewiyan Yayan, menilai ketentuan UUPA tidak lagi sejalan dengan perkembangan hukum nasional, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024.
Febby mengatakan bahwa pengaturan dalam UU Pemerintahan Aceh saat ini telah menghilangkan hak konstitusional para pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Baca juga: Gaji Keuchik di Aceh Besar Kini Dibayar Setiap Bulan
Ia mengacu pada Putusan MK Nomor 92/PUU-XXII/2024 yang menegaskan perubahan masa jabatan kepala desa berlaku secara nasional. Menurutnya, Aceh sebagai bagian dari wilayah hukum Indonesia seharusnya tidak terkecuali, apalagi ketika lembaga legislatif dan eksekutif daerah tidak menunjukkan keberatan.
“UU Nomor 3 Tahun 2024 dan Putusan MK Nomor 92/PUU-XXII/2024 berlaku secara nasional, termasuk untuk Aceh, sejak diundangkan. Namun, pemberlakuan masa jabatan tersebut terganjal oleh ketentuan Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh,” ujar Febby.
Febby menyampaikan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Pemerintah Aceh masing-masing telah mengirimkan surat resmi yang pada prinsipnya menyatakan tidak keberatan terhadap pemberlakuan UU Desa di Aceh.
Namun, Febby menegaskan selama Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh belum dicabut atau dinyatakan tidak berlaku oleh MK, maka ketentuan tersebut tetap mengikat secara hukum.
Ia menambahkan kewenangan untuk menyatakan suatu norma undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepenuhnya berada di tangan MK.