Pebisnis ikan dan lobster di Pulau Banyak merugi puluhan juta akibat boat tidak dapat melintas dan merapat ke pelabuhan Singkil karena pendangkalan.
“Kami bisa rugi puluhan juta jika air laut surut ketika kapal boat menuju Singkil membawa dagangan ikan dan lobster kami yang akan dikirim ke Medan.” Begitulah ungkapan Ari (32), salah seorang pengusaha ikan di Pulau Banyak, Aceh Singkil, pada pekan keempat April 2024.
Ari menggambarkan bagaimana rumit keadaan bisnisnya ketika harus menerima kenyataan puluhan kardus lobster miliknya terancam mati dan membusuk akibat tidak bisa langsung dikirim ke Kota Medan.
Hal itu karena kapal boat rute Pulau Banyak-Singkil yang mengangkut hasil tangkapan nelayan dan puluhan penumpang tidak dapat bersandar di pelabuhan (tangkahan) akibat pendangkalan air laut di jalur masuk teluk menuju tangkahan. Jika dipaksakan, kapal akan berisiko kandas dan berpotensi tenggelam.
Perjalanan melalui kapal boat yang tadinya hanya membutuhkan waktu 3 jam untuk rute Pulau Banyak – Singkil, kini harus menghabiskan waktu hingga 8 jam karena harus menunggu pasang naik terlebih dahulu untuk bisa bersandar di tangkahan.
Ancaman Bagi Nelayan dan Pengusaha Ikan di Pulau Banyak
Umumnya, para nelayan menjual hasil tangkapannya kepada tauke di waktu sore dan pagi hari. Karena itu, untuk menjaga kualitas hasil tangkapan tersebut, tepat pukul 14.00 WIB hasil tangkapan nelayan tersebut oleh tauke dimuat dalam kapal boat untuk dikirim dari Pulau Banyak menuju Singkil dengan target tiba maksimal pukul 18.00 WIB untuk selanjutnya dibawa ke Medan dengan transportasi darat yang menempuh perjalanan 8 – 9 jam.
Sayangnya, selama pendangkalan, akses masuk ke tangkahan belum dilakukan tindak lanjut berupa pengerukan, maka kualitas hasil tangkapan nelayan Pulau Banyak akan terancam. Bagaimana tidak, untuk tiba di Medan, hasil laut tersebut khususnya lobster harus dapat bertahan lebih dari 12 jam. Jika tidak, lobster terancam mati.
Bagaimana pula jika terkendala pendangkalan? Belum lagi risiko macet panjang dalam perjalanan Singkil – Medan yang rawan longsor. Tentu saja, ini akan berdampak pada gagalnya transaksi jual-beli antara pengusaha ikan di Pulau Banyak dengan penampung/pembeli di Medan. Kerugian yang dialami pengusaha ikan tersebut pun akan berdampak pada penurunan harga beli lobster/ikan bagi nelayan sehingga dapat mempengaruhi roda perekonomian masyarakat setempat yang sebagian besar hidup dari hasil laut.
Baca juga: Foto: Koloni Eceng Gondok Serbu Tepian Danau Lut Tawar
Ancaman Bagi Pelaku Wisata
Dampak pendangkalan tersebut juga sering menimpa para pelancong yang berwisata di Pulau Banyak. Bagaimana tidak, mereka yang bahkan baru pertama kali menaiki transportasi laut harus menghadapi permasalahan pendangkalan di Pelabuhan Singkil. Mereka juga harus menunggu hingga pukul 21.00 WIB di tengah laut menunggu pasang naik.
Atau mereka ikut menaiki kapal boat kecil (jika ada) yang menjemput penumpang dari kapal boat utama menuju tangkahan dengan tambahan tarif lagi tentunya. Meski dengan kapal boat kecil, risiko kandas di tengah jalan juga terkadang tidak dapat terelakkan. Akibatnya, wisatawan yang ingin berkunjung ke Pulau Banyak bisa saja enggan karena akan kesulitan mencapai destinasi yang mereka inginkan.
Lebih jauh, kondisi ini akan berdampak pada penurunan jumlah wisatawan yang kemudian mempengaruhi penghasilan masyarakat di wilayah tersebut.
Kapal Ferry yang Belum membantu
Dalam konsep perekonomian modern, kepuasan konsumen adalah prioritas sehingga para pengusaha semakin sadar untuk menginvestasikan uangnya guna memperpendek proses pengiriman barang dan jasa (Ridwan & Sudrajat, 2020: 189).
Maka, dalam konteks pengiriman ikan, pengusaha setempat lebih memilih kapal boat sebagai modal transportasi pengiriman ikan mereka karena pertimbangan efisiensi dan efektivitas mobilitas yang ditawarkan kapal boat. Efisien, karena lebih murah dari pada kapal ferry. Efektif, karena menggunakan kapal boat lebih cepat satu jam dari pada kapal ferry.
Karenanya, pengabaian terhadap persoalan pendangkalan akses kapal boat ini dapat memaksa para pengusaha ikan di Pulau Banyak memilih alternatif kapal ferry yang memiliki tarif lebih mahal dari pada kapal boat.
Tentu saja, hal ini dapat mengurangi pendapatan mereka karena harus menanggung biaya transportasi yang lebih besar. Akibatnya, harga ikan/lobster hasil tangkapan nelayan mau tidak mau harus ditekan. Dan, lagi, masyarakat kecil khususnya para nelayan yang akhirnya menanggung dampak pendangkalan tersebut.
Upaya Pemerintah Daerah
Merujuk pada keterangan masyarakat setempat, sekitar 10 tahun yang lalu Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil melalui Dinas Pekerjaan Umum sempat melakukan pengerukan pada lokasi pendangkalan akses menuju tangkahan. Tentu saja, penanganan berupa pengerukan tersebut sangat membantu kelancaran proses mobilitas barang dan jasa rute Pulau Banyak-Singkil, begitu pun sebaliknya.
Namun, seiring dengan perubahan iklim (kenaikan suhu laut, peningkatan kadar CO2, dan curah hujan), proses alami (erosi, arus laut, dan gerakan gelombang), dan pengaruh dari aktivitas manusia (penambangan pasir, pembangunan dermaga); lokasi akses rute menuju tangkahan tersebut kembali mengalami pendangkalan, dan hingga saat ini belum mendapatkan penanganan dari otoritas setempat.
Persoalan Mendasar di Pulau Banyak
Tahun 2020 lalu, Pulau Banyak sempat di gadang-gadang akan menjadi lokasi investasi triliunan rupiah dari Uni Emirat Arab (UEA) di sektor pariwisata. Kementerian/Lembaga terkait dan Pemda setempat mulai sibuk menyiapkan segala hal untuk menyambut kedatangan investor termasuk persiapan pembangunan pelabuhan, bandar udara, hingga rencana penambahan armada kapal Singkil -Pulau Banyak.
Tak dinyana, semakin redup isu rencana investasi itu semakin tenggelam pula mimpi-mimpi pembangunan dan pengembangan aksesibilitas Singkil – Pulau Banyak. Bahkan, isu pendangkalan pun terkesan diabaikan. Padahal, ini adalah persoalan yang sangat mendasar yang sangat membutuhkan perhatian Pemerintah karena kelancaran aksesibilitas ini akan menentukan nasib perekonomian masyarakat khususnya di Kepulauan Banyak.
*Jurnalis Warga