Dunia pendidikan Indonesia dihebohkan oleh laporan Tempo yang memberitakan terkait sKandal Guru Besar —profesor abal-abal— yang terjadi di salah satu kampus di Indonesia. Hal ini cukup miris mengingat hal-hal manipulatif dan amoral seperti ini justru terjadi tepat di tempat yang seharusnya nilai-nilai moral itu diajarkan.
Guru besar yang seharusnya menjadi pengajar dan penegak nilai-nilai moral untuk terus menyinari dan memperbaiki kehidupan umat, justru terlibat dalam praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang diajarkan olehnya.
Konon dikisahkan, setelah wafatnya Nabi Besar Nabi Muhammad SAW, di tengah umat Islam muncul beberapa orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi seperti layaknya Nabi Muhammad SAW yang mendapat mandat dari Tuhan untuk memimpin umat.
Dengan kedok moralis tersebut mereka ingin mendapatkan apa yang didapatkan oleh nabi yang sebenarnya, mereka ingin dimuliakan, mereka ingin dihormati, mereka ingin ditaati dan didengarkan.
Demikian halnya dengan guru besar abal-abal yang baru-baru ini heboh, mereka melakukan langkah-langkah manipulatif untuk mendapatkan gelar guru besar, yang nantinya akan mendapatkan posisi mulia di tengah kehidupan umat.
Mereka dengan kepalsuannya ingin didengar, dihormati, disegani, ditaati plus mendapat berupa-rupa insentif materi lainnya dengan bermodalkan kepalsuan tersebut.
Penguasa yang korup, hakim yang culas, aparat penegak hukum yang tebang pilih memang sudah teramat sering kita dengar di negeri ini. Tapi itu terjadi jauh dari tempat nilai-nilai moral diajarkan seperti perguruan tinggi.
Apa yang terjadi dengan guru besar palsu adalah sebuah kesalahan yang jauh lebih besar dari yang dilakukan oleh koruptor, manipulator dan predator lainnya. Guru besar palsu justru menyesatkan umat di saat mereka seharusnya bekerja menyelamatkan umat dari kesesatan.
PPDB curang, pengangkatan kepala sekolah yang tidak objektif, pemilihan kepala dinas melalui fit and proper test yang manipulatif juga sudah teramat sering kita dengar di negeri ini. Tapi guru besar abal-abal adalah kesalahan yang jauh lebih dahsyat dari itu. Meski sama-sama bersentuhan dengan dunia pendidikan, tapi apa yang terjadi dengan guru besar palsu sungguh akan menimbulkan kerusakan yang jauh lebih besar.
Baca juga: Pilkada DKI Jebakan Batman Untuk Anies Baswedan?
Dengan kedok guru besar, punya peluang yang lebih besar untuk menyesatkan lebih banyak orang. Akan terjadi penurunan kualitas pendidikan di tempat ia mencari uang dengan kedok akademisi.Dengan kepalsuannya, tentu mereka yang menyandang gelar profesor [palsu] tidak punya kualitas, tidak memiliki kapasitas –selain menipu– dan tentu tidak mempunyai pikiran yang cemerlang di luar keahlian menipu.
Bayangkan, bila guru besar itu kemudian diangkat sebagai penasihat pemerintah,apa nasihat yang akan ia berikan? Tata cara menipu yang baik yang benar? Kemudian pemerintah melakukannya karena telah memiliki “garansi akademik” dari professor [tengil] itu.
Guru besar palsu sama bahayanya dengan ulama palsu, konon lagi nabi palsu. Di Jawa sekarang ini telah muncul Mama Ghufron yang merupakan pengasuh Pesantren Uniq di Surabaya.
Dia benar-benar tidak memahami Islam, tapi diberikan izin buka pesantren. Yang tengilnya lagi, di berceramah ke sana kemari. Ghufron –nama palsu—bukan saja tidak tahu apa-apa tentang Islam, tapi ia sudah mencemari Islam dengan topengnya bahasa Suryani palsu.
Kembali ke soal guru besar, ia yang seharusnya penegak moral dan integritas di bidang keilmuannya, justru melakukan hal-hal manipulatif yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai integritas yang seharusnya dijunjung tinggi.
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Bila guru mengajarkan hal-hal yang tidak benar, maka potensi murid melakukan hal yang tidak benar, semakin besar. Bila sudah demikian, untuk apa lagi sekolah tinggi-tinggi? Pun demikian, kita tetap harus sekolah.