Menikah di malam hari? Tapi itulah syarat yang harus dipenuhi bila Dulah ingin memperistri Siti, perempuan jelita yang pertama kali ia jumpai sedang mencuci di tepi sungai.
Pada suatu ketika di tahun 1830-an, Dulah menelusuri tepian Krueng Peusangan, untuk mencari ikan keureuling. Entah mengapa sampai berhari-hari lamanya ikan itu tak kunjung memakan mata pancing pemuda berusia 18 tahun itu.
Meski lelah, Dulah tidak menyerah. Dirinya terlampau mencintai ibunya. Dia tidak pulang karena dia sudah berjanji kepada ibunya, akan pulang setelah membawa keureuling besar.
Baca:Arwah Perempuan di Gudang Tua Aceh Tamiang
Semakin jauh dia melangkah, semakin dalam dia memasuki rimba. Di tiap lubuk yang ia singgai, Dulah mengayunkan joran bambu ke arah sungai. Lagi-lagi, meski ikan termakan pancingan Dulah, tapi bukan ikan keureuling.
“Duhai keureuling meutuah, makanlah umpanku. Ibu sangat menginginkan engkau dimasak asam keu-eung. Aku tak mungkin pulang bilamana taka da seekor dari kamu yang bisa kubawa pulang,” gumam Dulah setengah berbisik di keheningan rimba.
Karena kelelahan dan bosan menunggu, akhirnya Dulah terlelap di tepi lubuk.
Baca: Abu Din dan Hantu di Turunan Jalan
***
Satu butir buah beringin jatuh menimpa wajah Dulah. Dia terbangun dari tidur. Matahari telah berada di pucuk pohon raksasa di ujung barat.kilau emas menerpa wajah Dulah.
Pria muda itu mengucek matanya.Hari jelang Magrib. Dia melihat pancingnya belum membuahkan hasil. Ia mengehla nafas.
Sembari mengurut-urut bahunya yang terasa kebas, lamat-lamat Dulah mendengar suara perempuan. Suara itu sangat lembut.
Dulah memasang telinganya dengan baik. Dia fokus mendengar alunan nada nan indah.
“Juloh-juloh ie mon blang Pidie tujoh pucok jouk keu taloe tima, haloh-haloh hai di kudidi……,”
Ia mengalihkan pandangan kea rah suara. Dulah terkejut. Di bawah sebatang pohon tingkeum besar, dia melihat seorang gadis, dengan memakai kain sarung yang diikat sebatas atas buah dada, sedang mencuci baju. Rambutnya sebahu. Kulitnya kuning langsat.
“Lha kok ada gadis di tengah rimba begini?” tanya Dulah pada dirinya sendiri.
Awalnya dia mengira perempuan itu dedemit penjaga sungai. Bulu kuduknya berdiri. Sambil mengendap-endap dia mendekat. Sial, dirinya menginjak batu licin dan terjatuh.
Perempuan muda itu kaget. Dia menjerit.
“Siapa kamu wahai lelaki asing?” tanya wanita itu.
“Tenang, jangan takut. Saya hanya seorang lelaki yang sedang memancing ikan. Nama saya Dulah. Saya tidak bermaksud jahat,” katanya mencoba menjelaskan.
Perempuan itu tetap memasang pandangan curiga.
“Jangan mendekat! Aku akan berteriak!” katanya mengancam.
Dulah menghentikan langkahnya.
“Aneh, masa di tengah rimba begini ada perempuan cantik seperti kamu. Pasti kamu hantu ya?” tanya Dulah.
“Asal aja kamu ini ngomong. Kok rimba, lihat tuh, jejeran rumah itu. Ini kampungku,” jawab gadis itu sambil menunjukkan sebuah perkampungan.
Aneh. Kok dari tadi aku gak melihat ada perkampungan di sini? batinnya.
“Ngapain kamu kemari. Dari mana asalmu? Aku belum pernah melihat wajahmu sebelumnya?” tanya gadis itu.
“Aku dari kampung hilir. Jauh dari sini. Maaf, bila kehadiranku mengganggu dirimu. Aku hanya sedang mencari ikan keureuling. Ibuku sangat ingin memakan gulai ikan itu,” jawab Dulah jujur.
“Oh, ikan keureuling. Mana kailmu? Coba pasang di lubuk itu.”
Lelaki itu segera balik badan untuk mengambil kailnya yang sudah ditambang sejak tadi pagi. Dia kemudian menyerahkan ke gadis itu. Si gadis kemudian memasang di sebuah lubuk.
Tidak lama kemudian kail itu ditarik kuat-kuat oleh sesuatu. Dulah nampak gembira. Dalam sekali sentakan, seekor ikan jurung sebesar paha manusia dewasa terangkat dari air.
“Alhamdulillah. Luar biasa,” kata Dulah kegirangan.
“Sekarang pulanglah. Antarkan ikan ini kepada ibumu. Dia pasti sudah berhari-hari merindukan ikan ini,” katanya sambil tersenyum.
“Terima kasih atas semua jasamu wahai gadis cantik. Siapa namamu?”
Gadis itu nampak tersipu. wajahnya bersemu merah.
“Siapa namamu wahai Cempaka madu?”
“Siti,”
“Siti? Hanya itu saja?”
“Siti. Hanya itu,”
Usai menjawab itu, si gadis tersebut langsung bergegas pulang. Sebelum dia melangkah keluar dari sungai, Dulah bertanya “Bolehkah aku kembali ke sini pada kesempatan lain?”
“Boleh saja. Asal mau menjaga sopan santun,” jawab Siti dengan tersenyum. Kemudian dia pamit.
***
Pertemuan dengan Siti membuatnya tidak bisa tidur bermalam-malam lamanya. Bila rindu hendak bertemu, dia akan duduk di tepian sungai. Ia meniup seruling bambu. Irama buluh perindu mengalir mengikuti aliran.
“Duhai juwita di hulu Peusangan. Betapa hati hamba merindukan akan sosok dirimu. Bilakah rasa ini diperkenankan, bolehkah aku menemuimu sekali lagi. Sungguh batin ini telah merana. Kini, hanya kembang mu yang ada di dalam sanubariku,”
Hingga suatu malam yang penuh siraman cahaya purnama, ia nekat menyusuri tepian Peusangan. Dua hari kemudian, menjelang magrib dia tiba di tempat yang dituju.
Jodoh memang tak kemana, begitulah umpama yang tepat. Siti sedang mandi seorang diri. Dulah sempat berpikir nakal. Dia hendak mengintip. Namun suara Siti membuat dirinya membatalkan niat itu.
“Jangan nakal. Jangan melihat sesuatu yang belum boleh engkau lihat,” katanya sambil membilas rambutnya dengan air jeruk purut.
“Kok kamu tahu kehadiranku?” tanya Dulah.
“Bau tubuhmu saja aku sanggup mengendusnya, ” jawabnya sambil tersenyum.
Tanpa terasa mereka mengobrol sekian lama. Hingga Dulah ingat bahwa mereka sudah memasuki larut malam.
“Eh aku lupa. Bilakah nanti orang tuamu mencari dirimu? Ataukah orang kampung menemukan kita? Apakah yang terjadi?”
“Ibu dan bapak sudah ke Takengon menjumpai keluarganya yang musibah. Sedangkan penduduk kampung di sini, semuanya sudah terlelap di peraduan masing-masing. Aku sangat paham kondisi di kampung ini.
Lelaki itu sedikit lega.
“Siti, semenjak bertemu dengan dirimu, sebenarnya aku tidak ingin lagi kembali ke kampungku. Ada semacam perasaan aneh di dalam hatiku,” kata Dulah.
“Mulai deh. Apakah malam ini cukup dingin sehingga membuat perasaan aneh timbul di pikiranmu? Ah, dasar lelaki hilir. Merayu pasti ada maunya,” jawab Siti.
“Jangan engkau berkata demikian. Tahukah dirimu bahwa malam-malam ku di hilir sana selalu gelisah memikirkan dirimu?”
“Gombal ah!”
“Jujur, aku jatuh cinta padamu. Bilakah purnama malam ini merestui, bolehkah aku meminangmu?”
“Ih, Kamu ya. Baru kenalan udah ajak nikah?”
“Daripada ku ajak kawin sebelum nikah,”
“Jangan ulangi lagi kata-kata itu. Aku tidak suka,” jawab Siti ketus.
“Maaf deh. Kan kamu yang mulai?”
***
Tiga hari kemudian Dulah menemui orang tua Siti. Tidak butuh waktu lama untuk meyakinkah kedua orang tua itu.
“Kamu tidak perlu membawa keluarga mu ke sini. Kami percaya akan ketulusan dirimu. Saya akan mengatur semuanya. Paling lambat lusa kalian sudah bisa bersama,” kata ayah Siti.
“Kok bapak buru-buru sekali? Biar saja kita bertemu dulu dengan kedua orang tua Dulah. Anak semata wayang kok mau diserahin sama orang asing?” timpal ibunya Siti dengan wajah agak cemberut.
“Tenang, Bu. Jangan panik. Ini anak, keduanya kulihat sudah kadung jatuh cinta. Bila saja kita tidak beragama, mungkin keduanya sudah dalam satu bilik sejak kemarin. Kegigihannya untuk tidak menakali Siti kuhargai. Padahal kita tiga hari tidak di rumah.
Nak, Bapak setuju kalin berumah tangga. Kulihat ada aura ketulusan di matamu. Siti pun sudah mengatakan siap menjadi istrimu. Sesuai tradisi di sini, semua proses dilakukan malam hari setelah pukul 22.00. Ini syarat mutlak. Tidak ada tawar menawar,” kata ayah Siti dengan nada tegas.
***
Syahdan, hiduplah mereka berdua dengan penuh kebahagiaan. Selama satu bulan lamanya mereka berbulan madu. Selain bertamu ke sanak saudara Siti, mereka juga berkesempatan berduaan di Danau Lut Tawar.
Kemana pun mereka pergi selalu diantar oleh gerobak pedati.
Hingga pada suatu hari Siti melahirkan. Sebelum istri tercinta melahirkan, Dulah harap-harap cemas. Namun dia bertambah cemas ketika Siti siap melahirkan dan ternyata wajah bayinya sangat mengerikan.
“Kenapa dengan anak kita, Siti? Kenapa wajahnya seperti ini, buruk sekali?”
Siti menunduk. Rona wajahnya seketika berubah sedih. Dia membantin, mungkin kali ini sudah tiba waktunya Dulah tahu. Kemudian dia menceritakan semuanya.
“Apa? Kamu bukan manusia? Kamu kuntilanak? Kenapa bisa kita menikah dan terlihat hidup normal?”
“Entahlah. Dunia iblis sempat guncang ketika kita menikah. Namun aku mampu meyakinkan bahwa manusia dan dunia gaib bisa bersatu. Mungkin ini kesalahanku. Akhirnya aku sadar bahwa engkau takkan siap menerima kenyataan ini,”
“Kenapa ini engkau lakukan padaku, Siti? Apa salah diriku padamu?”
“Jangan salahkan aku. Salahkan waktu kenapa mempertemukan kita? Aku tidak memintamu hadir ke wilayah ini. bahkan aku tidak pernah berdoa sebelumnya. Kau hadir bagai genderuwo,” jawab Siti.
Dulah menangis. Apalagi ketika Siti menunjukkan wajah aslinya. Dia menjadi takut luar biasa.
“Jangan takut, suamiku. Walau berwujud iblis, tetapi hatiku tidak seburuk manusia. Manusia bisa saja membunuh manusia lainnya bila rahasianya terbongkar. Namun bangsa kami tidak seburuk itu.
Sebagai wanita, walau dari bangsa iblis, aku tetap punya kasih sayang, apalagi kepada seorang lelaki yang benar-benar mencintaku secara tulus, walau setelah mengetahui kenyataan, dirinya mulai mengutuk keadaan.”
Pria itu luruh. Perasan ngeri masih membayanginya. Doa selamat dia panjatkan berkali-kali.
“Sudahlah, Bang. Bila memang kita tidak bisa kembali bersama. Kuikhlaskan dirimu untuk pulang. Namun satu hal yang harus engkau pahami, bahwa dirimu sudah terlalu lama di sini. Ibumu sudah tidak ada lagi. Kampungmu sudah terbakar dan menjadi debu saat perang antar manusia,”
“Sudah berapa lama aku di sini?”
“50 tahun,”
“Begitu lamakah?”
“Iya,”
Pria itu pasrah pasrah. Rasanya baru setahun dirinya membina rumah tangga dengan iblis wanita itu. Ah, betapa sesuatu yang gaib telah mempermainkan dirinya. Ia terkejut kala melihat ke cermin, ternyata wajahnya telah menua. Rambutnya telah dominan perak.