“Jika Saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara Anda, karena kita pasti akan kalah. Tapi, jika Saudara cukup dan puas mengemukakan kebenaran Saudara, saya mau menjadi pembela Saudara.”
Yap Thiam Hien, pria Tionghoa kelahiran Peunayong, Banda Aceh, Hindia Belanda pada 25 Mei 1913, merupakan sosok yang langka. Dia tidak menggunakan nama besarnya untuk mengumpulkan kekayaan, bahkan bila ada orang yang ingin menggunakan jasanya, tarif yang harus dibayar Rp5 sampai 10 juta. Padahal kala itu, rate pengacara ternama Rp40 juta.
Sejak kecil Yap sudah terlihat unggul. Ia kutu buku yang sangat mencintai literasi. Menurutnya, tanpa membaca, seseorang tidak akan mengetahui apa-apa.
Ketika menempuh pelajaran di sekolah rendah berbahasa Belanda Europeesche Lagere School (ELS) Kutaraja (Banda Aceh-pen) Yap dengan mudah menyesuaikan diri. Dia menguasai bahasa Belanda dengan baik, dan mampu menangkap pelajaran dengan baik.
Sekolah ELS tempat Yap menimba ilmu dan lulus tahun 1926 saat ini telah diambil untuk Markas Komando Daerah Militer Iskandar Muda (Kodam IM), letaknya di sisi sebelah kiri Jembatan Pante Pirak bila dari arah Masjid Raya Baiturrahman. Pas di tepi Krueng Aceh.
Ketika melanjutkan pendidikan, Yap memilih Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Batavia, meskipun di Banda Aceh juga ada MULO tapi dia memilih ke Kota Jayakarta dengan alasan ingin menyusul sang ayah, Yap Sin Eng.
Lulus sekolah guru Hollandsche Chineesche Kweekschool di Batavia, Yap mulai mengajar. Setelah menjadi guru di HCS Cirebon, dia dipecat secara halus karena dinilai tidak religius. Ketika guru lain ke gereja pada hari Minggu, Yap bermain badminton, naik gunung, nongkrong. Dia dipindah ke sekolah lain, tapi Yap menolak.
Jiwa kemanusiaanya baru tumbuh ketika menjadi Direktur HCS Wilden Scholen, sekolah Kristen untuk orang Cina. Tapi Pemerintah Hindia Belanda tidak mengakuinya, sehingga tidak ada subsidi untuk sekolah itu.
Meski direktur, gaji Yap di sana hanya 75 gulden, sebuah angka yang sedikit, konon lagi dia masih membiayai sekolah adiknya, Yap Thiam Bong. Tapi di sinilah Yap bersentuhan dengan hati nuraninya, karena Yap muda setiap hari melihat langsung penderitaan masyarakat.
Di sekolah tempat Yap menjadi direktur, perbedaan kelas antaretnis Cina sangat kentara. Penindasan terhadap yang miskin dan lemah, membuat Yap terganggu. Ia pun mulai kritis, meninggalkan sikap masa bodo.
Kuliah Hukum
Berbekal uang tabungan, pakaian secukupnya, mesin tik–hasil menulis di Sin Po– dan sepeda, dia berangkat ke Belanda. Tujuannya Universitas Leiden. Ia ingin masuk kuliah di Fakultas Hukum.
Karena pernah kuliah di Rechtschogeschool selama dua tahun di Batavia, maka ketika tiba di Belanda, dia hanya perlu kuliah satu setengah tahun. Maklum Universitas Leiden dan kampus di Batavia itu punya kerjasama kesetaraan. Dengan modal beasiswa pinjaman dari Pemerintah Hindia Belanda, akhirnya dia lulus pada 26 September 1947, dengan skor nilai 6 dalam skala 10.
Demi Keadilan
Yap Thiam Hien, dengan gelar meester in de rechten, sebenarnya dapat memanfaatkannya untuk menjadi alat mengumpulkan materi duniawi. Tapi, perjalanan hidupnya dari satu tempat ke tempat lain, mengikis insting niaga yang diwarisi dari sang ayah, berubah menjadi sarjana hukum yang memilih menjadi salah seorang pembela kebenaran.
Yap, dengan segala ruang yang dapat dimanfaatkannya, dipergunakan untuk menjadi Tionghoa asal Aceh yang menjadi pendekar hukum, memilih jalan tak populer di tengah berbagai kesempatan emas.
Dia memilih jalan idealis, di tengah terbuka lebar jalan menuju pilihan liberal.
Banyak yang menilai, Yap sangat berbeda dengan Kwik Kian Gie, Menko Ekonomi, Keuangan dan Industri Indonesia ke-7, yang menolak ajakan Presiden BJ Habibie bergabung dalam Kabinet Reformasi. Kwik menyebutkan bila duduk di kabinet itu, dia bisa gila.
Penolakan Kwik oleh sejumlah orang dinilai sebagai pilihan oportunis, menyelamatkan diri padahal negara sedang membutuhkannya.
Yap, meskipun Cina, Kristen, minoritas, tapi berjuang atas nilai universal yaitu HAM. Maka dalam karirnya dia pernah membela orang yang sangat membenci Cina, Rachmat Basoeki, terdakwa pengeboman BCA. Lelaki itu diancam hukuman mati. Tapi berkat kerja keras Yap dkk, dia hanya dihukum 17 tahun.
Dalam menjalankan profesi pengacara, Yap yang ikut mendirikan LBH Indonesia, seringkali membela klien tanpa bayaran. Yap tidak mungkin mengambil biaya dari orang miskin, bila tak dibantu juga tak mungkin, karena mereka butuh bantuan hukum.
Hanya saja Yap selalu menyampaikan satu hal kepada kliennya, “Jika Saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara Anda, karena kita pasti akan kalah. Tapi, jika Saudara cukup dan puas mengemukakan kebenaran Saudara, saya mau menjadi pembela Saudara.”
Lelaki Cina itu memang unik. Sosok yang berhasil menjadi manusia Indonesia, yang tidak meninggalkan kekristenannya, ketinghoaannya, dan sekaligus keindonesiaannya.
Lelaki pejuang HAM itu meninggal dunia pada 1989 di Brussel. Saat itu dia dan 22 aktivis HAM Indonesia sedang ada pertemuan International Forum for NGOs of Indonesia.
Zainal Arifin Mochtar, akademisi Fakultas Hukum UNiversitas Gadjah Mada dalam kolomnya berjudul ‘Hidup-Mati’-nya Yap Thiam Hien, menulis:
Harus diingat, Yap hidup di saat belum ada kewajiban pro bono. Tapi hampir semua kasus yang ia tangani adalah kasus besar dengan model yang nyaris pro bono. Uang adalah bukan tujuan yang tak dikedepankan dan karenanya tak kunjung datang.
Yap berjibaku dengan semangat nasionalisme yang kuat. Tanpa perlu embel dan simbol yang macam-macam , ia mencintai republik ini. Republik yang juga mencatatkan pola diskriminasi atas etnis Yap.
Disadur dari Yap Tiam Hien, Sang Pendekar Keadilan. Seri Buku Saku Tempo: Penegak Hukum.