
Komparatif.ID, Banda Aceh— UMKM merupakan tulang punggung ekonomi yang tak terpisahkan dari geliat bisnis di berbagai sektor. Semakin banyak aktivitas ekonomi, semakin besar pula peluang bagi UMKM untuk tumbuh dan berperan aktif.
Hal tersebut disampaikan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Aceh Safuadi pada diskusi publik yang digelar saat peluncuran Task Force UMKM Diaspora Global Aceh (DGA) secara daring pada Sabtu (17/5/2025).
“Makin banyak aktivitas bisnis, makin besar peluang keterlibatan UMKM. Besar kecilnya tergantung seberapa besar keinginan kita untuk ambil peran,” ujarnya.
Mengambil contoh negara-negara seperti Vietnam dan Tiongkok, Safuadi memaparkan bagaimana transformasi ekonomi bisa dicapai dalam waktu singkat jika ada komitmen kuat dan strategi tepat.
Ia menyinggung capaian Vietnam yang berhasil meraih pendapatan nasional dari sektor durian sebesar Rp53,6 triliun, jauh mengungguli Indonesia yang justru menjadi produsen utama buah tersebut.
Dalam paparannya, Safuadi menyoroti pentingnya membangun sistem konglomerasi terintegrasi untuk UMKM di Aceh. “UMKM Aceh selama ini bekerja terpisah. Jika tidak kita satukan dalam skema konglomerasi yang terstruktur, kita akan terus tertinggal,” ungkapnya.
Namun tantangan di Aceh tidak hanya terletak pada sistem dan pasar. Safuadi juga menyinggung hambatan psikologis dan sosial yang masih membayangi pasca-konflik bersenjata.
Baca juga: Jumlah UMKM di Aceh Capai 624.521 Unit, Mengapa Ekonomi Aceh Stagnan?
Menurutnya, meski situasi keamanan telah stabil, iklim investasi belum sepenuhnya kondusif karena masih tersisa rasa tidak nyaman dalam berusaha dan berinovasi. Ia menyebut pentingnya menciptakan kenyamanan yang mendalam—bukan sekadar aman—agar investasi dan kreativitas dapat tumbuh subur di Aceh.
“Aceh aman, tapi belum nyaman. Nyaman untuk investasi, nyaman untuk berinovasi. Itu yang harus kita ubah,” ujarnya.
Momentum ini, menurut Safuadi, menjadi titik tolak bagi Aceh untuk bangkit dan melakukan re-engineering terhadap sistem ekonomi lokal.
Dalam penjelasannya, Safuadi juga menyoroti pentingnya sinergi antara akademisi, pelaku bisnis, dan pemerintah atau yang ia sebut sebagai kolaborasi ABG (Academics-Business-Government).
Ia mencontohkan keberhasilan Asiri Research Center (ARC) dari Universitas Syiah Kuala (USK) yang telah dua kali berhasil mengekspor 200 kilogram nilam ke Prancis, hasil kerja sama konkret antara peneliti dan pelaku usaha.
Tak kalah penting, ia menyoroti keunikan komoditas Aceh seperti kopi Gayo, nilam, hingga tembakau fermentasi dari dataran tinggi Gayo yang mulai dilirik pasar internasional, termasuk produsen cerutu Kuba.
Komoditas ini, menurutnya, harus menjadi kekuatan ekspor berbasis nilai tambah, bukan hanya bahan mentah seperti yang selama ini terjadi. Masalah kualitas juga menjadi sorotan tajam.
“Kita belum konsisten dalam menjaga mutu produk. Ini alasan kenapa harga pinang kita kalah jauh dari Jambi meski sama-sama penghasil utama,” ujarnya.
Mengakhiri paparannya, Safuadi berharap inisiatif Task Force UMKM jadi titik balik kebangkitan ekonomi Aceh. Ia mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama membangun sistem yang berpihak pada potensi lokal dan mendorong UMKM agar tidak hanya menjadi penopang, tetapi penggerak utama ekonomi daerah.