Trio anak muda dari warna politik berbeda. AHY, Sandiaga Uno, dan Erick Thohir. Ketiganya sempat diwacanakan menjadi pemain penting pada Pilpres 2024. Tapi, kini trio itu telah terhempas.
Nasib paling tragis dialami oleh AHY, Ketua Umum Partai Demokrat. Dia yang digadang-gadang akan menjadi pendamping Anies Baswedan sebagai cawapres, akhirnya memilih mundur dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) setelah Surya Paloh menetapkan Muhaimin Iskandar sebagai wakil Anies Rasyid Baswedan pada Pilpres 2024.
Partai Demokrat meradang luar biasa. Kadernya mengamuk. Mereka mengungkit ragam kisah pembentukan KPP yang dimulai pada 14 Februari 2023. Tapi Surya Paloh bergeming. Demikian juga Anies. Mereka tetap menjalankan misi menuju Pilpres 2024.
Baca: Dulu Anies Ajak AHY Jemput Takdir, Kini Ia Berpaling
Demokrat merajuk, SBY ikut “turun gunung” bicara ke media. Menyebut Anies sebagai musang berbulu domba. Kemudian mereka sowan ke Gerindra. Bermaksud ingin menjadi bagian dari koalisi gemuk yang dibangun oleh Gerindra, Golkar, PAN, PBB, Gelora, Partai Garuda. Mereka diterima, tapi bukan penentu arah.
Sial, di tengah jalan, Mahkamah Konstitusi memberikan ruang kepada siapa saja yang pernah menjabat bupati/walikota/gubernur, dapat maju sebagai bakal calon pada Pilpres 2024.
Bukannya nama lain yang muncul. Justru nama Gibran Rakabuming Raka yang muncul ke permukaan di dalam koalisi gemuk. Setelah Golkar mengumumkan dukungannya untuk paslon Prabowo-Gibran (Pagi), selanjutnya Prabowo juga mengumumkan keputusan yang sama.
Di sisi lain, PDIP yang menjagokan mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, menunjuk Mahfud MD sebagai pasangan. Duet Ganjar-Mahfud menambah semarak proses seleksi politik.
Erick Thohir yang saat ini Menteri BUMN cum ad interim Menko Marves, tidak dilirik. Demikian juga Sandiaga. Meski keduanya tidak menjadi gelandangan politik, tapi gagalnya trio politisi muda itu ke puncak, menjadi signal bahwa para bohir sedang menjalankan misi lain meski tujuan akhirnya tetap saja sama; menguasai sumber daya alam Indonesia.
PDIP dan Jokowi hadap-hadapan. Munculnya Gibran ke tengah gelanggang menandakan Jokowi sedang menyatakan perang dengan gaya Solo. Dia menyatakan secara tersirat “I am a President, not you, Mega!”
Meskipun trio tersebut saat ini sedang berada pada semangat on fire, tapi panggung tidak sedang disiapkan untuk mereka.
Baca: KIM Resmi Usung Gibran Cawapres Prabowo
Gerenasi trio itu cukup diwakili oleh Anies, anak muda sekaligus perwakilan Jokowi diwakili oleh Gibran. Politik tua diwakili oleh Prabowo, PDIP yang marhaenis diwakili oleh Ganjar, sedangkan politik jalan tengah ala NU diwakili oleh Mahfud MD dan Cak Imin.
Pernyataan politisi muda asal Aceh Fauzan Febriansyah dalam komentar Facebook, Senin (23/10/2023) cukup menarik. Dia menyebutkan no bohir no party.
Politik kekinian Indonesia juga menampilkan fakta baru, bahwa sikap mencla-mencle akan merusak peluang. Gaya politik Partai Demokrat yang serba tak pasti bersikap dalam koalisi, telah memakan diri mereka sendiri.
Sedangkan kisah politik –saat ini—Erick Thohir dan Sandiaga Uno memberikan pelajaran penting bahwa terkadang uang bukan jaminan. Karena memiliki partai politik jauh lebih penting.
Kisah trio juga menjawab mengapa ramai-ramai pengusaha mendirikan partai politik sendiri. Menjadi bohir di partai sendiri. Suara ketum partai merupakan keputusan final.
Demokrasi Indonesia semakin ke sini bertambah liberal. Partai politik tidak lagi berbeda dengan perseroan terbatas. Tempat segala peluang bisnis dibicarakan. Negara hanyalah alat.
Melihat pola politik nasional, maka tidak penting siapa yang akan menang. Hal terpenting bagi yang tidak punya partai politik, berada di gerbong pemenang. Karena pemenanglah yang akan menentukan arah negara ini.
Akademisi telah lama mati. Agamawan telah sepenuhnya terjun dalam politik. Mereka berada di berbagai grup peserta konstestasi. Kini rakyat jangan lagi tergerus kepentingan sesaat para pemain pameran Pilpres 2024. Harus punya sikap sendiri demi membela daerah masing-masing, supaya tetap berada dalam hitungan para pemenang.