Dalam acara podcast Abraham Samad, Eep Saifullah Fatah mengatakan bahwa sesungguhnya survei elektabilitas calon presiden bukanlah proyeksi, melainkan kenyataan per hari ini. Sebagai orang yang sudah jatuh bangun dalam tradisi mengetahui perilaku pemilih, perkataan Eep tersebut menunjukkan dua hal, pertama, kecepatan metode survei mengetahui peristiwa yang sedang terjadi. Kecepatan bisa jadi ketepatan, tetapi bisa jadi juga sebaliknya. Kedua, metode survei bukanlah aksioma dari sebuah peristiwa sosial atapun politik. Metode survei, sebagaimana metode lain dalam dunia akademik, merupakan salah satu upaya untuk memahami tentang gejala sosial yang sedang terjadi. Kesalahan kita adalah menempatkan survei sebagai sebuah metode tanpa cacat dan paling benar.
Hal tersebut yang dikritik oleh Muhajir Al Fairusy dalam esainya mengenai konflik sosial di Bitung, Sulawesi Utara. “Indeks survey toleransi yang disusun di Indonesia dibangun atas tiang yang rapuh,”tulis Fairus pada kalimat pembuka esainya itu. Kalimat pertama tersebut merupakan argumen utama dalam bangunan esainya itu. Baginya, pekerjaan survei selama ini seperti menjejak “… di atas air yang tidak meneropong isi lautan.”
Baca: Rapuhnya Tiang Indeks Survey Toleransi di Indonesia
Apa yang diketengahkan oleh Muhajir Al Fairusy merupakan persoalan serius karena bisa jadi selama ini, kita membangun kesimpulan tentang toleransi dan tidak di atas bangunan pondasi yang keropos. Bagaimana metode survei dapat menjelaskan sebuah wilayah yang indeks toleransinya tinggi ternyata menyimpan amarah laten. Artinya, selama ini, metode survei tidak mampu menangkap, meminjam frasa dari Fairus, “isi lautan.”
Oleh karena itu, absah belaka jika ada orang mulai membangun persepsi bahwa hasil survei yang menunjuk wilayah yang indeks toleransinya berada pada angka rendah merupakan sesuatu hal yang tidak menjelaskan situasi yang sesungguhnya terjadi, seperti yang tampak di Bitung tersebut.
Keadaan ini memaksa kita untuk lebih terbuka dengan berbagai pendekatan, baik itu etnografi, fenomenologi, studi kasus, dan lainnya. Jangan sampai, karena merasa paling bebas nilai dan kepentingan ideologi, metode survei selalu digunakan untuk menjelaskan berbagai gejala sosial yang sesungguhnya lebih rumit daripada yang disangka.
Gejala sosial tentunya tidak bisa dijelaskan dengan batasan bunyi angka dan persentase belaka. Bagaimana kita menjelaskan kesalehan seseorang hanya dengan memintanya menjawab deretan pertanyaan. Atau, secara lebih spesifik, bagaimana kita dapat mengukur seseorang itu toleran atau moderat hanya dengan menjawab pertanyaan demi pertanyaan, tanpa kemudian kita menempatkan adanya bias, asumsi, dan hal-hal yang bersifat hipotetik lainnya.
Apabila dua keberatan itu kita ajukan kepada pelaku survei, tentulah jawaban aksiomatik akan diberikan, “Survei merupakan data, bukanlah kumpulan opini.” Jadi, bisa dibayangkan, atas alasan keagungan data, opini dan deretan asumsi tidak dibenarkan untuk dihadirkan. Opini dan asumsi didorong di sudut yang hina. Opini tanpa data — tentu yang dimaksud adalah data dari metode survei — adalah dongeng di pagi buta.
Tidak hanya untuk kasus indeks toleransi seperti yang dikritik oleh Fairus itu, bahkan juga termasuk hiruk pikuk hasil survei Pilpres kali ini. Survei — betapa pun penting untuk memotret perilaku pemilih dewasa ini — dihadapkan pada dua masalah akut: tingkat kepercayaan masyarakat dan perilaku lembaga survei itu sendiri.
Masyarakat yang kini secara otonom dapat mengakses informasi selalu menjadi pengingat jalan bagi lembaga survei. Bahkan, kemampuan masyarakat, yang kini disapa sebagai netizen, berbeda dengan keadaan dua puluh tahun lalu ketika untuk pertama kalinya diperkenalkan. Saat itu, media sosial belumlah eksis sehingga lembaga survei memiliki privilage yang lebih luas untuk menjelaskan segala temuannya yang sudah dianggap taken for granted.
Di saat yang lain, lembaga survei — terutama dalam agenda elektoral tahun depan — tidak hanya mengerjakan pengumpulan opini publik, tetapi mereka juga menjadi bagian daripada tim pemenangan pasangan calon sebagai konsultan politik. Secara etik, hal ini dipersoalkan karena nantinya dianggap akan ada konflik kepentingan antara sesuatu yang objektif (pengumpulan opini publik) dan subjektif (nasihat politik kepada pasangan calon). Tampak rumit. Tetapi, demikianlah dunia berkerja.