Komparatif.ID, Idi— Masalah penurunan dan penggelembungan suara dalam proses pemilihan umum (Pemilu) di Kabupaten Aceh Timur menjadi sorotan tajam setelah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten setempat memberikan rekomendasi kepada Komisi Independen Pemilihan (KIP) terkait potensi kecurangan yang terjadi.
Kasus ini menyentuh berbagai tingkatan, mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK), Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), hingga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) serta Pemilihan Presiden, yang menimbulkan kekhawatiran akan keberlangsungan demokrasi di daerah tersebut.
Berdasarkan informasi yang diungkapkan oleh Bawaslu Aceh Timur, kasus penggelembungan dan penurunan suara ini tidak hanya terjadi secara sporadis, melainkan masif dan sistematis.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian menegaskan rekomendasi dari Bawaslu harus menjadi prioritas bagi KIP Aceh Timur agar integritas dan kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu dapat dipertahankan.
Misalnya, terdapat kasus dimana suara caleg DPR RI dari tingkat kecamatan sebanyak 3669 suara, namun jumlahnya melonjak menjadi 34292 suara setelah pleno tingkat kabupaten. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang asal muasal suara yang tercatat oleh KIP.
Baca juga: Oleh-oleh Jelang Pemilu
“Dalam lampiran surat Bawaslu, terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah suara hasil pleno tingkat kecamatan dengan hasil pleno tingkat kabupaten. Misalnya, suara seorang calon anggota DPR RI di tingkat kecamatan sebanyak 3.669 suara, namun di tingkat kabupaten tiba-tiba melonjak drastis menjadi 34.292 suara. Ini menimbulkan dugaan kuat akan praktik penggelembungan yang tidak wajar,” ungkap Alfian pada Jumat (8/3/2024).
Menurutnya, praktik kecurangan semacam ini tidak hanya merugikan proses demokrasi, tetapi juga merongrong kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pemilu.
MaTA menekankan bahwa perbaikan atas kecurangan semacam ini tidak boleh hanya sebatas administratif, namun harus ditindaklanjuti secara hukum sesuai ketentuan yang berlaku.
Menurut MaTA, praktik kecurangan semacam penggelembungan dan penurunan suara telah menjadi perhatian serius dalam pemilu 2024. Bukan hanya sebatas perbaikan teknis, namun jika dibiarkan, hal ini dapat berujung pada tindakan pidana pemilu.
Karena itu, penegakan hukum menjadi sangat penting sebagai langkah preventif agar lembaga penyelenggara pemilu tidak terkooptasi oleh kepentingan tertentu dan mempertahankan integritasnya.
Alfian berharap KIP dan Bawaslu menindaklanjuti kecurangan ini, sehingga lembaga penyelenggara pemilu tidak mudah dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Hal ini penting untuk menjaga integritas lembaga penyelenggara dan mencegah praktik korupsi.
“Penyelenggara KIP harus menjadi garda terdepan dalam memastikan integritas dan kejujuran dalam setiap tahapan pemilu. Kecurangan yang terjadi saat ini harus diungkap dan diberikan sanksi yang tegas agar proses pemilu mendatang dapat berjalan lebih baik. Namun jika hal ini diabaikan, maka akan menjadi ancaman serius bagi demokrasi, terutama dalam pelaksanaan Pilkada di masa depan,” pungkas Alfian.