Komparatif.ID, Banda Aceh—Praktisi dunia pendidikan Jailani Yusti, memberikan perhatian serius pada fenomena munculnya Tiktoker Aceh yang gemar memaki. Kehadiran mereka dengan segenap sumpah serapahnya, mendapatkan dukungan luas di Tiktoker Aceh. Fenomena tersebut memberikan gambaran bahwa ada yang salah dalam pola pengasuhan keluarga di Aceh.
Pandangan tersebut disampaikan Jailani Yusti, Sabtu (17/8/2024) di Kyriad Muraya, Banda Aceh, pada diskusi dengan tema “Fenomena Rusaknya Generasi Aceh di Tiktok, Dari Agam Teumeunak, Wanita Live Mandi Lumpur Hingga Buka Aurat”
Acara diskusi yang dihadiri oleh ratusan orang tersebut, digelar oleh Tastafi Banda Aceh, dengan pemateri Prof. Syamsul Rizal, Jailani Yusti, Teungku Habibie Waly, dan Teungku Rusli Daud.
Baca: Beredar Rekaman Audio Abu Laot Menangis Usai Ditahan
Jailani Yusti yang juga Kabid SD pada Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh, dalam paparan pandangannya menyebutkan saat ini masyarakat menghadapi tantangan luar biasa terkait perubahan perilaku sebagian generasi Aceh.
Di media sosial khususnya TikTok begitu mudah ditemukan Tiktoker Aceh yang mengumbar aurat, memaki, bertindak konyol, berbicara dengan tema jorok dan menggunakan kalimat-kalimat tak etis. Diskusi-diskusi di room TikTok seringkali dipenuhi dengan fitnah, umpatan, hingga namimah.
Menurut Pak Jai –demikian pria asal Sawang, Aceh Selatan dipanggil—perubahan perilaku dari sopan menjadi barbar, disebabkan oleh dua hal; ekonomi dan broken home. Kemiskinan dan percecokan di dalam rumah tangga, telah menyebabkan anak-anak Aceh yang kini bertumbuh besar, diasuh dalam kondisi tidak normal.
Mereka yang tumbuh besar dalam kemarahan, kekecewaan, tak berdaya, tak dihargai, terpinggirkan, begitu mendapatkan wahana, segera meluapkannya dengan sangat vulgar.
“Mereka [tiktokerAceh] mudah terpengaruh dengan hal-hal yang dianggap keren padahal tidak sesuai dengan norma dan etika. Tiktoker Aceh yang dibesarkan dalam pengasuhan yang kurang baik, mudah dimasuki oleh orang orang yang ingin membantu tetapi pada prinsipnya ingin membawa mereka ke jalan yang lain,” sebut Jailani Yusti.
Kehadiran media sosial, menyebabkan timbulnya rasa independent dalam diri tiap manusia. Merasa tidak perlu hidup dalam aturan, dapat mengekspresikan semuanya sesuai selera. Kondisi ini bila dibiarkan, akan bertambah parah. Karena TikTok merupakan media sosial paling populer di kalangan akar rumput.
Mulai anak SD hingga sarjana tahu dan aktif di TikTok. Siapapun dapat berinteraksi dengan siapa saja. Tak ada sekat sosial.
Jailani berpesan, orangtua harus lebih proaktif. Wajib bekerja lebih keras mengontrol putra-putri mereka di media sosial. Peran pengasuhan keluarga sangat penting, karena saat ini, seseorang bisa saja sangat pendiam di ruang nyata, tapi sangat liar di ruang maya.
Di tingkat satuan pendidikan, para pendidik juga punya peran penting dalam melakukan pengasuhan, pemberitahuan, hingga pengawasan. Sebelumnya, setiap siswa dilarang membawa telepon genggam ke sekolah. Juga dilakukan razia-razia isi telepon genggam. Dari sana ditemukan bahwa ternyata ada anak yang saling mengirim video porno kepada teman-temannya.
Pun demikian, smartphone saat ini juga menjadi wahana mencari ilmu. Oleh karena itu tidak mungkin dilarang sama sekali. Dengan demikian, perlu pengawasan yang lebih intens.
Termasuk mengontrol tontonan apa saja yang dilakukan anak selama berselancar di TikTok. Jangan-jangan mereka selama ini asyik menonton Tiktoker Aceh yang gemar teumeunak dan berbicara cabul.
Sebagai bentuk dukungan penataan moral, Jailani mengimbau supaya siapa saja tidak menonton video-video yang berisi makian, cabul, dan fitnah-memfitnah. Karena bila ditonton, apalagi sampai dibagikan, maka algoritma akan bekerja menampilkan hal serupa ke beranda media sosial milik si empunya telepon pintar.
Kemudian, bila ditemukan akun-akun yang gemar teumeunak, mengumbar aurat, dan melakukan hal-hal yang melanggar norma, alangkah baiknya bila di-report ke TikTok. Tidak perlu sungkan melaporkan akun-akun yang merusak mental generasi Aceh. Mereka tak perlu diberi ruang kreasi.
“Akun Tiktoker Aceh yang gemar teumeunak memang viral. Ini menjadi signal tidak sehat. Ternyata penggemar mereka cukup banyak. Mereka tanpa perlu membayar apa pun, bahkan mendapatkan bayaran dari gift-gift penonton, dapat merusak moral anak-anak kita. Ini jangan dibiarkan lagi,” sebutnya.
Tiktoker Aceh Teumeunak, Ada Masalah
Guru Besar Filsafat Islam UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. H. Syamsul Rizal, pada acara yang sama mengatakan makian merupakan ekspresi verbal seseorang yang mengandung tiga unsur. Yaitu amarah, kebencian, dan penghinaan.
Ada orang karena amarahnya yang tidak dapat dikendalikan, mudah sekali terpancing untuk memaki. Makian lahir dari sifat insaniah yang dimiliki oleh manusia, yang ditambah dengan unsur kebencian.
Kebencian seringkali tak memerlukan alasan. Melihat orang itu sudah muncul rasa benci pada dirinya. Atau karena mendapatkan informasi keliru tentang seseorang, tidak melakukan tabayyun, dan langsung membenci.
Akan tetapi, apa pun yang menjadi latar belakang, makian dan kata kasar merendahkan martabat orang lain. Orang yang gemar memaki dilihat dari persepektif syariat, nilainya nol. Dia tidak memiliki nilai apa pun selain wajah buruk. Orang-orang demikian disebut manusia amoral.
“Orang Islam tentu punya pedoman dalam bertindak. Ada ayat di dalam Quran yang memerintahkan manusia supaya mengendalikan diri. Ada perintah supaya manusia berpuasa, demi dapat mengendalikan hawa nafsu angkara,” kata Profesor Syamsul Rizal.
Untuk mengendalikan Tiktoker Aceh supaya tidak memaki, maka mereka harus dikembalikan ke tatanan syariat. Mereka perlu diperbaiki dan tidak boleh lelah memperbaikinya.
Syamsul Rizal menjelaskan manusia tidak diperintahkan berdoa menjadi orang suci, tetapi diperintahkan memohon supaya dapat menyucikan diri.
Agama Islam tidak memberikan ruang pembiaran kepada manusia untuk berlama-lama dalam kesalahan. Ada perintah taubat yang harus diikuti, dan apabila tidak ditaati, maka ada risiko yang harus diterima.
Manusia bertindak baik dan buruk, bukan semata dipengaruhi oleh keluarga. Tapi turut dipengaruhi oleh lingkungan. Termasuk dalam mengeluarkan kata-kata. Semakin buruk kualitas keluarga dan lingkungan, semakin buruk pula kualitas manusianya.
Pada kesempatan itu, Guru Besar Filsafat tersebut mengajak semua pihak bekerja keras, menyelamatkan moral generasi Aceh. Tiktoker Aceh yang gemar memaki dan berperilaku tidak pantas lainnya, supaya diberikan peringatan. Tiktoker Aceh yang telah menyimpang moralnya harus dinasihati.
“Budaya Aceh tidak memberikan ruang untuk hal-hal tersebut. Meskipun ada lakap-lakap tertentu untuk nama alias seseorang, tapi sifatnya memberi asosiasi pada sesuatu yang positif. Orang Aceh sendiri juga tidak suka bila dipanggil dengan sebutan anjing, babi, meuruwa, keubeu, leumo,” kata Syamsul Rizal.