Komparatif.ID, Jakarta— Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diminta untuk mengkaji ulang Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 terkait penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 mendatang.
Hal tersebut disampaikan anggota DPR RI, Jiddan, pada rapat kerja Komisi XI dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Gedung Nusantara 1, Senayan, Jakarta, pada Rabu (13/11/2024).
“PPh 21 yang cukup tinggi perlu dianalisis kembali. Kita melihat fenomena saat ini banyak pabrik yang tutup dan terjadi PHK massal di berbagai tempat. Ini menunjukkan adanya kenaikan beban yang tajam,” ujarnya.
Ia khawatir kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang dinilai terlalu tinggi dan berpotensi menyebabkan banyak perusahaan menutup operasionalnya serta memicu peningkatan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia.
Menurut Jiddan, tingginya tarif PPh 21 berdampak langsung terhadap beban perusahaan, yang pada akhirnya berdampak pada keputusan untuk menutup pabrik atau mengurangi tenaga kerja.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mengalami kenaikan dari 5,86 persen pada Agustus 2023 menjadi 6,12 persen pada Agustus 2024.
Di sektor manufaktur, laporan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan bahwa sekitar 1.200 pabrik harus tutup pada tahun ini, mengakibatkan lebih dari 150.000 pekerja kehilangan pekerjaan.
Jiddan mempertanyakan apakah kondisi tersebut dipicu oleh beban upah pegawai, mengingat upah minimum regional (UMR) atau upah minimum provinsi (UMP) tidak mengalami kenaikan signifikan selama beberapa tahun terakhir.
Baca juga: PPN 12 Persen Tetap Mulai Berlaku 1 Januari 2025
Politis NasDem itu juga menyoroti dampak dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Menurut survei Apindo, lebih dari 70 persen pengusaha merasakan bahwa kenaikan PPN ini memperberat beban operasional mereka dan mengurangi daya saing produk dalam negeri di pasar global.
Selain itu, kondisi ekonomi global yang tidak stabil turut berkontribusi pada tekanan di sektor manufaktur, terutama terkait dengan fluktuasi nilai tukar rupiah yang menyebabkan kenaikan biaya bahan baku impor.
Menurut analisis dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, selain pajak, pelemahan nilai tukar rupiah dari Rp14.900 per dolar AS pada Januari menjadi Rp15.600 pada November 2024, turut memperburuk situasi di sektor ini.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen tetap akan diberlakukan pada tahun depan, tepatnya mulai 1 Januari 2025.
Kebijakan ini merupakan bagian dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang sudah disahkan sebelumnya.
Sri Mulyani menegaskan bahwa meskipun kenaikan tarif PPN sudah ditetapkan, penting bagi pemerintah untuk memberikan penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat agar mereka memahami alasan di balik kebijakan ini.